Sekolahku berada di perkampungan yang cukup banyak bocil. Memang lokasi sekolah berada di jalan utama, jalan nasional.
Belakang sekolah  merupakan kampung yang masih asri. Tapi itu dulu, sekarang sudah ramai.  Terbangun kantor, sekolah, kampus, juga selalu saja rumah baru dibangun. Yang dulunya sangat sepi sekarang ramai. Tetap saja dari dulu selalu ada anak kecil yang meramaikan jalanan kampung di belakang sekolah.
Sesekali aktivitas suara anak bermain terdengar sampai mejaku. Bermain sepeda atau hanya berlari saling kejar, saling tangkap, saling pukul, akhirnya ada yang menangis, itu biasa. Emaknya sibuk merayu biar diam. Saya mengajak ke meja saya, ketika dia dan ibunya lewat depan sekolah sambil menggandeng bocilnya.
Terjadilah obrolanku bersama ibu si bocil.
"Tangismu meramaikan suasana. Kalau jatuh ya bangun lagi dek. Eh kamu tahu tukik enggak?" Aku menjawil si bocil.
Si bocil menggeleng.
"Sini, saya punya tukik."
Bocil kini dalam gandenganku, ibunya mengikuti dari belakang. Si anak menuju mejaku. Ibunya duduk di kursi tunggu yang ada dekat pintu gerbang.
Anak ini melupakan ibunya, mungkin dia pikir tukik itu makanan yang belum pernah dia makan. Sebab obrolanku tadi jadi menduga ke sana.Â
"Tadi kamu sama emak mau ke mana?"