Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, adalah tokoh pemimpin keagamaan yang meninggalkan jejak besar di Indonesia. Sebagai ulama, pemikir, Gus dur juga Presiden ke-4 Indonesia, Gus Dur dikenal karena perjuangannya untuk demokrasi, toleransi, dan pluralisme. Artikel ini membahas perjalanan hidup, gagasan, dan warisan yang ditinggalkan Gus Dur.
Latar Belakang dan Pendidikan
 Lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya, KH Wahid Hasyim, adalah Menteri Agama pertama Indonesia, sementara ibunya, Nyai Sholehah, berasal dari keluarga pesantren. Karena lingkungan yang religius ini membentuk karakter Gus Dur sejak kecil. Pendidikan Gus Dur dimulai di pesantren dan dilanjutkan ke Universitas Al-Azhar di Kairo serta Universitas Baghdad di Irak. Ia juga mendalami berbagai literatur barat dan filsafat modern, yang memperluas wawasannya tentang agama dan kemanusiaan.
Kepemimpinan di NU
Pada 1984, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU. Ia membawa perubahan besar dengan mengembalikan NU ke khittah 1926, yakni fokus pada dakwah sosial-keagamaan, bukan politik praktis. Di bawah kepemimpinannya, NU menjadi organisasi keagamaan yang inklusif, melindungi kelompok minoritas, dan aktif dalam isu-isu kemanusiaan. Gus Dur juga dikenal sebagai pemikir progresif. Ia sering mengkritik rezim Orde Baru dengan tulisan dan pidato kritis, namun tetap mengutamakan humor dan kebijaksanaan dalam menyampaikan kritiknya.
Presiden Keempat Indonesia   Â
Pada Tahun 1999 Gus Dur menjadi Presiden , masa transisi dari Orde Baru ke era reformasi. Meski pemerintahannya hanya berlangsung 2 tahun, Gus Dur mengambil langkah penting, seperti mencabut larangan terhadap Konghucu, mengakui Imlek sebagai hari libur nasional, dan melindungi hak-hak minoritas lainnya. Keputusan ini menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi dan kesetaraan. Namun, berbagai tantangan politik dan konflik internal membuat masa kepemimpinannya berakhir pada 2001. Meskipun demikian, Gus Dur tetap dikenang sebagai pemimpin yang membela hak rakyat dan keberagaman.
Karier di Nahdlatul Ulama
Karier Gus Dur di NU dimulai pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1984, ia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Di bawah kepemimpinannya, NU mengalami transformasi besar. Salah satu langkah strategis yang diambil Gus Dur adalah mengembalikan NU ke khitah 1926, yaitu menjadi organisasi keagamaan yang netral dari politik praktis. Kebijakan ini membebaskan NU dari cengkeraman kekuasaan Orde Baru yang represif, sekaligus memperkuat posisinya sebagai motor penggerak sosial-keagamaan. Sebagai pemimpin NU, Gus Dur aktif memperjuangkan isu-isu keadilan sosial, kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap minoritas. Ia sering menekankan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam), sehingga tidak boleh digunakan untuk mendiskriminasi atau menindas pihak lain.
Toleransi dan Pluralisme
Sebagai pemimpin keagamaan, Gus Dur mengajarkan bahwa agama adalah alat untuk mempersatukan, bukan memecah belah. Ia sering berdialog dengan berbagai komunitas agama dan etnis, termasuk yang sering terpinggirkan. Bagi Gus Dur, kemanusiaan adalah nilai universal yang melampaui perbedaan agama, suku, dan budaya. Ia juga menentang keras kekerasan atas nama agama dan menekankan pentingnya memahami perbedaan sebagai kekayaan bangsa. Ajarannya tentang toleransi menjadikan Gus Dur ikon pluralisme di Indonesia.