Pembelajaran modul 2.3 yaitu tentang Coaching untuk Supervisi Akademik. Coaching merupakan sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee.Â
Paradigma berpikir coaching yaitu berfokus pada coachee yang akan dikembangkan, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang  kuat, dan mampu melihat peluang baru serta masa depan.Â
Prinsip coaching yaitu kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. Kemitraan artinya dalam proses coaching posisi coach terhadap coachee adalah mitra yang berarti tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Proses kreatif pada coaching dilakukan melalui percakapan dua arah yang memicu proses berpikir coachee, memetakan dan menggali situasi coachee untuk menghasilkan ide-ide baru. Memaksimalkan potensi berarti pada percakapan coaching perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh rekan yang dikembangkan (coachee).
Kompetensi inti coaching yaitu kehadiran penuh (presence) merupakan kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, sehingga badan, pikiran, dan hati selaras saat melakukan percakapan coaching. Mendengarkan aktif maksudnya yaitu seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan sedikit untuk berbicara, fokus dan pusat komunikasi adalah coachee sebagai mitra bicara. Mengajukan pertanyaan berbobot artinya pertanyaan yang diajukan dapat menggugah orang untuk berpikir, menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal baru, dan mengungkapkan emosi.Â
Percakapan berbasis coaching dengan alur TIRTA yaitu Tujuan dimana coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai oleh coachee pada suatu sesi coaching. Identifikasi merupakan proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee. Rencana Aksi dimana coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi coaching yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Tanggung Jawab merupakan komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.
Paradigma berpikir coaching pada kegiatan supervisi akademik  merupakan kegiatan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yang berpihak kepada siswa. Bebebrapa prinsip paradigma berpikir coaching pada kegiatan supervisi akademik diantaranya yaitu kemitraan pada proses antara supervisor dan guru, konstruktif yang bertujuan mengembangkan kompetensi individu, terencana, reflektif, objektif yang berarti data atau informasi diambil berdasarkan sasaran yang sudah disepakati, berkesinambungan, dan komprehensif yang mencakup tujuan dari proses supervisi akademik. Siklus yang terjadi pada kegiatan supervisi pada umumnya terdiri dari tahapan pra-observasi, tahapan observasi, dan pasca-observasi.
Selama mempelajari materi pada modul 2.3, saya sangat antusias karena keterampilan coaching sangat penting untuk bekal saya sebagai seorang pendidik dan juga orang tua di rumah.Â
Saya tertantang untuk lebih banyak melakukan praktik coaching bersama rekan sejawat, para siswa, maupun anak-anak di rumah. Semakin banyak melakukan praktik coaching maka akan semakin terasah kemampuan kita sebagai coach untuk hadir penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot.Â
Pada proses pembelajaran ini, saya merasa sudah mendapatkan pemahaman tentang konsep coaching yang langsung dipraktikkan sehingga tidak hanya sekedar teori tapi menjadi pemahaman yang bermakna bagi saya. Walaupun demikian, tetap saja ada hal yang perlu diperbaiki pada diri saya terutama yang berkaitan dengan kompetensu coaching untuk mengajukan pertanyaan berbobot kepada coachee. Keterampilan coaching sangat menambah dan mengoptimalkan kekuatan diri saya sebagai seorang pendidik dan juga orang tua yang dapat menjadi seorang coach bagi lingkungan sekitar. Dimana seorang pendidik harus mampu menjalankan peran sebagai among dengan filosofinya yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo-Ing Madya Mangun Karso-Tut Wuri Handayani. Menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan siswa menggunakan pendekatan coaching. Selain itu, juga menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan semua kekuatan diri pada siswa.
Bagaimana penerapan coaching pada  supervisi akademik? Nah melalui supervisi akademik, kegiatan pemberdayaan dan pengembangan kompetensi diri dalam rangka peningkatan performa mengajar dan mencapai tujuan pembelajaran, coaching dibutuhkan sebagai peningkatan kesadaran diri, motivasi, dan juga komitmen dari seorang guru sehingga kualitas pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru tersebut akan menjadi lebih baik, lebih berpihak kepada siswa.Â
Pada kenyataannya, sering kali supervisi akademik ini dilihat sebagai proses yang bersifat satu arah, dan banyak yang melaksanakan supervisi akademik ini hanya terjadi satu tahun sekali baik di awal tahun pembelajaran maupun menjelang akhir tahun. Supervisi menjadi sebuah tagihan atau kewajiban kepala sekolah sebagai tanggung jawabnya untuk mengevaluasi para guru.Â
Para guru pun menganggap supervisi sebagai bentuk penilaian dari kepala sekolah terhadap kepiawaiannya dalam menyelenggarakan pembelajaran di kelas. Padahal penerapan coaching pada supervisi akademik itu bersifat dua arah, dimana kepala sekolah sebagai supervisor berperan menjadi coach yang akan memberikan berbagai pertanyaan berbobot kepada guru yang di observasi (coachee) agar dapat menumbuhkan kesadaran diri sehingga guru tersebut dapat menemukan apa hal-hal yang sudah baik pada dirinya dalam menyelenggarakan pembelajaran di kelas beserta administrasinya, dan hal-hal apa saja yang masih harus diperbaiki sehingga guru tersebut dapat memperoleh ide-ide terbaru untuk menyelenggarakan pembelajaran yang lebih baik lagi, yang berpihak kepada siswa.
Coaching sebagai simbiosis mutualisme, Coaching menempatkan kedua belah pihak yang terlibat (antara coach dan coachee) memiliki posisi yang sama, dimana coach berperan sebagai pendengar yang aktif bagi coachee yang memiliki satu tujuan untuk dicapai. Sebagai pendengar aktif, coach menggali potensi coache dengan maksimal dalam rangka membantu coachee mewujudkan tujuannya, coachee memiliki kebebasan penuh dalam membuat keputusan yang akan diambil, coach tidak menginterfensi, melakukan judgement, dan memberikan asumsi apapun kepada coach. Tapi pada akhirnya baik coach maupun coachee mendapatkan keuntungan yang luar biasa, coachee medapatkan ide-ide cemerlang untuk mewujudkan tujuannya dan coach mendapatkan pembelajaran yang bermakna dari pengalaman coachee.
Sebelum mendapatkan materi tentang coaching, saat saya menangani siswa yang bermasalah maka saya selalu bersikap dominan untuk memberikan nasihat meskipun saya tetap memberikan kesempatan kepada siswa tersebut untuk mengungkapkan pendapat. Begitu pula saat saya berinteraksi dengan rekan sejawat yang sedang memiliki masalah, saya akan memberikan banyak masukan untuk membantu mencari solusi dari permasalah tersebut. Dengan adanya pendekatan coaching, maka interaksi dengan siswa maupun rekan sejawat akan menjadi lebih bermakna karena penemuan solusi dari permasalahan akan muncul dari pemilik masalah (coachee) yang didorong oleh peran coach dengan menerapkan kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan memberikan pertanyaan berbobot. Hal tersebut tidak hanya menguntungkan coachee saja karena coach juga mendapatkan banyak hal berguna, sehingga terjadi komunikasi dua arah.
Pada modul 2.1 dan 2.2 tentang pembelajaran berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE), jika dihubungkan dengan materi coaching maka akan memperoleh kesimpulan yaitu pada pembelajaran berdiferensiasi dimana guru harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa yang terdiri dari kesiapan belaajr, minat belajar, dan profil belajar siswa.Â
Nah untuk memetakan kebutuhan individu siswa tersebut, guru bisa berperan sebagai coach untuk melakukan proses coaching dengan siswa sebagai coachee. Hal tersebut mampu mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri siswa sehingga akan menemukan cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan individu siswa. Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) yang harus dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah untuk menumbukan kompetensi tentang kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab pada diri siswa. Proses coaching sejalan dengan PSE karena kompetensi sosial emosional tersebut dapat diterapkan oleh guru dalam proses coaching kepada siswa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI