Akhirnya sampailah mereka di Jakarta dan ikut melaksanakan aksi 212 di Monumen Nasional. Di aksi ini Ki Zainal sempat menghilang, Rahmat dan Abrar hampir melakukan perkelahian jika Yasna tidak melerai mereka, dan Rahmat juga sempat dikeroyok oleh beberapa peserta aksi yang mengetahui bahwa rahmat adalah jurnalis yang telah menjatuhkan islam.
Sampai pada menit-menit berakhirnya film, Rahmat terlihat ikut shalat Jumat berjamaah di kegiatan Aksi 212. Padahal Rahmat  sudah lama sekali tidak melaksanakan kewajiban shalatnya itu. Apakah Rahmat sudah tersadarkan? Lalu bagaimana reaksi Rahmat ketika pada  rakaat terakhir saat akan menjelang salam, Ki Zainal tiba-tiba tak sadarkan diri? Kalian bisa saksikan sendiri akhir cerita di film ini ya. Jangan lupa siapkan tissue. Sebab bisa jadi kalian akan menangis dan tissue tersebut akan sangat berguna.
Kelebihan dan Kekurangan Film:
Sesuai judul, Film 212 The Power of Love memberikan pesan kepada kita tentang kekuatan cinta dan kasih sayang. Meski terdapat kata 212 pada judul, film ini bukan mengisahkan tentang peristiwa aksi 212 sepenuhnya seperti bayangan saya sebelumnya, melainkan mengisahkan tentang hubungan keluarga ayah dan anak. Fauzi Baadila sangat cocok memerankan Rahmat, ekspresi wajah dan sikapnya tidak terlihat kaku. Secara garis besar, akting para pemain sudah cukup enak untuk dinikmati. Apalagi dengan hadirnya tokoh Adhin yang cukup menyegarkan dengan tingkah lucunya. Hanya saja sedikit dialog di awal film yang terdengar kaku dari Rara (Echi Yiexcel) saat rahmat, rekan kerjanya, dan pimpinan redaksi Majalah Republik sedang berdiskusi.
Dari segi pengambilan gambar, saya suka karena terlihat rapi dan feel-nya pas jika para tokoh memang sedang ada dalam aksi pada tanggal 2 Desember 2016 tersebut. Hanya cukup disayangkan ada beberapa bagian yang terlihat kasar saat menyatukan scene dengan potongan greenscreen. Mungkin untuk mendapatkan hasil yang benar-benar sesuai membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Jadi wajar-wajar saja.
Menurut saya pribadi, film ini sudah cukup layak menjadi film religi yang dapat menjadi pilihan untuk ditonton bersama keluarga. Saya terharu dan sempat ingin menitikkan air mata menonton film yang ceritanya ditulis oleh Helvy Tiana Rosa dan Benny Arnas ini.Â
Bagaimana tidak, kita menyaksikan seorang anak yang menganggap dirinya dibuang oleh keluarga sendiri, mendengar penuturan dari seorang ayah yang mengungkapkan perasaan bahwa ia teramat mencintai anaknya, hingga menyaksikan jutaan umat yang siap jiwa dan raga demi membela islam dan Al Qu'ran.Â
Semua kejadian itu cukup dilatarbelakangi oleh satu kata, yaitu cinta. Ya, cinta. Kekuatan dari kata penuh makna itu memang mampu mengubah segalanya. Termasuk mengubah kekerasan hati menjadi selembut sutra.
#212Movie