Mohon tunggu...
Murni Oktarina
Murni Oktarina Mohon Tunggu... Auditor - Inspektorat Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir

Lahir dan menetap di Palembang. Penulis Novel Merindumu, Novel Goodbye My Days, dan Buku Kumpulan Cerpen Penantian di Bawah Sakura

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Curhatan HP dan Al-Qur'an

5 Juni 2017   23:28 Diperbarui: 6 Juni 2017   00:26 1787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Semalam-entah jam berapa, aku terbangun oleh suara bisik-bisik di belakangku. Saat itu aku tidur menghadap sebelah kanan, seperti yang disunnahkan Rasulullah SAW.

“Apabila kamu hendak tidur maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk sholat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan.” (HR. Bukhari)

Sayup-sayup aku mendengar seperti suara dua orang yang sedang berbicara, namun dengan suara yang pelan sekali. Sebenarnya aku hendak segera membalikkan badan ke sebelah kiri, tapi hatiku mengatakan jangan.

Ah, ini suara apa? Aku berusaha mempertajam pendengaranku. Sembari berusaha meraba-raba ke sisi tempat tidurku untuk mencari HP, aku baru teringat kalau HP-ku sedang di-charge. Letaknya di atas meja, di sebelah kiriku. Tak mungkin aku membalikkan badan, jadi niat memainkan HP aku urungkan.

"Aku capek, An. Setiap saat aku dipaksa untuk beroperasi. Disentuh-sentuh, ditekan-tekan, hingga tenagaku habis. Giliran tenagaku habis, aku diomelin. Bahkan ketika ia marah, aku pernah dilempar hingga tubuhku berantakan. Aku gak pernah dibiarkan beristirahat, kecuali ia tertidur seperti saat ini. Rasanya nyawaku tidak lama lagi."

Teman yang dipanggilnya An, hanya diam mendengarkan. Wajahnya terlihat murung.

"Kenapa kamu yang terlihat bersedih, An?"

An menatap temannya sejenak lalu berkata, "Saudaraku pernah bercerita bahwa di masa-masa dulu, ia dan teman-temannya pernah merasakan begitu dekat dengan manusia, seperti kamu. Setiap saat dibawa manusia ke mana-mana, dipeluk, dijaga, dibaca, dipelajari, bahkan manusia-manusia dulu selalu menerapkan apa yang dikatakan saudaraku."

An menghela napas sebentar, lalu ia melanjutkan. "Kamu tau gak manusia saat ini sudah banyak sekali yang melupakanku dan saudaraku. Mereka lebih memilih dekat denganmu. Hanya kamu yang diingat. Hanya kamu yang ditanyakan. Hanya kamu yang dicari."

Al-Qur'an sudah tak mampu membendung airmatanya. Sementara HP memandangnya bingung.

"Setiap malam, sehabis maghrib atau isya aku selalu menunggu di atas meja ini. Aku maklum dari pagi sampai sore mungkin ia tak sempat bersamaku, aku hanya berharap di malam hari ia memiliki waktu bersamaku. Aku juga berharap akan dibawa kepangkuannya, dibacanya meski hanya beberapa menit. Tapi apa, sehabis shalat ia hanya mencari kamu, HP. Sambil tidur-tiduran, ia memegangmu, menyentuhmu, dengan wajah sumringah. Aku iri melihat keakraban kalian. Aku sedih karena sudah terlupakan. Padahal di akhirat nanti, aku bisa menjadi penolongnya, menjadi pembelanya. Apakah ia masih belum menyadarinya?"

"Maafkan aku, An. Aku telah merusak hubunganmu dengan dia. Akan tetapi aku juga tak menginginkan itu. Aku juga sedih melihat keadaan dunia seperti saat ini. Kebanyakan manusia telah salah memilih jalan. Perkembangan zaman telah membutakan sebagian besar kehidupan. Aku kadang berpikir, seandainya aku tidak pernah ada, mungkin keadaan menjadi lebih baik. Kecanggihanku malah berdampak buruk bagi sebagian manusia yang kurang keimanannya. Aku sangat menyesali itu."

Al-Qur'an dan HP saling berpelukan di dalam tangis mereka.

Diam-diam aku yang telah jelas mendengar percakapan mereka, turut berurai airmata. Kuberanikan diri membalikkan badan, namun aku tidak melihat Al Qur'an dan HP sedang bercakap-cakap. Mereka hanya tergeletak diam.

Kudekati mereka, kuusap Al Qur'an-ku dengan rasa penyesalan. Ya Allah, Al Qur'an-ku terasa seperti basah. Apakah ini airmata kesedihannya?

Dan kupegang HP-ku juga, ia terasa begitu panas namun seperti ada uap embun di layarnya. Apa mereka berdua benar-benar menangis?

Palembang, 05 Juni 2017


__________________________________________________

Cerita di atas adalah fiktif belaka. Semoga dapat bermanfaat untuk kita semua. 😊😊😊

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun