Mohon tunggu...
Murni Du Di Dam
Murni Du Di Dam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bernama asli Murni Oktarina. Dari lahir hingga saat ini tetap tinggal di kota Palembang. Pegawai BLU di Universitas Sriwijaya ini memiliki hobi membaca dan menulis fiksi. Untuk berkenalan bisa menghubunginya di murni.dudidam@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gomen Nasai, Satoru

27 Februari 2015   21:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ohayou gozaimasu (Selamat pagi), Manami!” sapa Yumiko padaku yang baru saja selesai memarkir sepeda di parkiran depan.

Aku tersenyum pada Yumiko dan membalas sapaannya, “Ohayou gozaimasu, Yumiko!”

Sesaat Yumiko menatapku. Lalu ia berkata memujiku, “Hari ini Manami terlihat manis dengan bandana biru muda itu!”

“Ah Yumiko, bisa saja deh!” jawabku dengan wajah sedikit merah karena malu dipuji Yumiko, sahabat terdekatku yang berwajah amat cantik.

“Hahaha… begitu saja Manami sudah malu. Ayo, kita segera ke loker! Jika telat mengganti Uwabaki (sepatu khusus sekolah), kita tidak akan diizinkan Pak Daiki ikut pelajarannya,” seru Yumiko di sela-sela tawanya.

“Ayo! Kita lomba, ya. Siapa yang duluan sampai loker berarti menang dan boleh minta traktir Udon di Merogame Seimen, haha…!” teriakku yang langsung lari dengan kaki panjangku.

“Huuu…, itu sih pasti menang kamu, Manami! Tubuh tinggimu pasti bisa lari mendahuluiku. Aku tidak mau!” bantah Yumiko. Tapi, dia tetap lari juga menyusulku yang tertawa-tawa.

Aku dan Yumiko sudah bersahabat sejak satu tahun yang lalu. Kami berkenalan saat upacara penerimaan siswa baru di SMA-ku sekarang. Yumiko, gadis imut dengan wajah cantik, putih dan rambut lurus sebahu. Tubuhnya sedang dan langsing. Tubuh yang amat kuinginkan sejak dulu. Tahu kenapa? Aku, Manami Akane, gadis berusia hampir 16 tahun yang berbeda dari yang lain. Tinggi badanku melebihi anak-anak perempuan seusiaku. Rambut panjang yang kumiliki selalu dikucir dengan poni yang dijepit ke samping. Kulitku tidak putih karena sering bermain tenis di lapangan terbuka. Tak ada yang menarik dari penampilanku. Aku juga tak tahu apa kelebihanku. Ah, mungkin hanya di bidang tenis diriku ini cukup pandai dan bisa membanggakan.

Kembali pada Yumiko. Sebenarnya, jika bisa mengubah takdir aku ingin menjadi gadis secantik Yumiko. Dikagumi dan disukai banyak orang. Banyak orang? Setelah kupikir-pikir tidak juga, ya. Yumiko hanya disukai dan dikagumi oleh para kaum laki-laki saja. Kalau dari kaum perempuan sih, menurutku banyaklah yang tidak menyukai Yumiko. Mereka iri pada kecantikannya juga keanggunan dan kelembutan sifatnya. Itulah sebabnya, hanya aku yang mau bersahabat dekat dengan si cantik Yumiko.

Sekarang mulai memasuki minggu ke dua di bulan Agustus. Kyoto, masih dalam Natsu (musim panas). Beruntungnya aku bisa lahir dan besar di Kyoto karena di saat musim panas begini, masih ada bukit-bukit sejuk sebagai penawar musim panas. Di musim panas ini juga, sekolahku sering mengikuti perlombaan di bidang olahraga, terutama tenis. Aku, si gadis jangkung selalu dipilih guru untuk mewakili sekolah dalam turnamen tenis. Tak jarang, setiap habis pertandingan, aku selalu membawakan piala untuk sekolah. Para guru dan senpai (senior) bangga padaku. Aku bersyukur karena Tuhan masih memberikan satu kelebihan di balik banyaknya kekuranganku.

Keringat bercucuran membasahi kening dan leher. Kuletakkan raket di pinggir lapangan dan duduk di sana. Air mineral dalam botol kuteguk perlahan. Dari kejauhan, kulihat Kak Satoru bersama teman-temannya lagi berbicara dengan guru pelatih tenis yang baru. Kalau tidak salah dengar namanya Pak Arata. Senpai memang belum mengenalkan Pak Arata kepada kami. Wajar saja jika aku dan para kohai (junior) belum tahu nama pelatih baru itu

“Manami, kamu makin hebat, deh! Tadi aku hampir kewalahan menghadapi gerakanmu yang amat lincah,” puji Aika, lawan mainku beberapa menit yang lalu.

“Tidak juga, Aika. Aku mesti banyak belajar, nih. Biar bisa menembus pemain nasional sekalian go internasional, hehehe…” ujarku sambil tersenyum.

Aika membalas senyumku. “Pasti bisa. Manami kan jago di lapangan, tadi saja Aika kalah terus,”

Sudah sering kudengar pujian orang tentang permainan tenisku. Entah dari mana bakat bermain tenis ini ada padaku. Baru di kelas dua ini aku masuk klub tenis. Untung saja di awal tes masuk klub tenis, permainanku mengesankan sehingga bisa diterima. Kurang lebih dua bulan berlatih aku sudah pandai bermain tenis hingga pernah mengalahkan senpai.

Kak Satoru, cowok tinggi putih dengan rambut menutupi sebagian keningnya, telah berhasil mencuri hatiku saat kenaikan kelas dua kemarin. Setelah aku tahu pujaan hatiku itu adalah anggota inti dari klub tenis, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftarkan diri di klub tersebut. Awal mulanya kenapa bisa jatuh hati pada Kak Satoru karena aku menabrak dirinya ketika berlarian menuju kelas fisika. Kak Satoru terjatuh, lalu aku berniat meminta maaf padanya. Namun saat Kak Satoru mengangkat wajahnya dan menatapku, dengan cepat kupalingkan wajah dan meninggalkannya tanpa sempat meminta maaf. Aku terlalu gugup berhadapan dengan cowok cakep dan manis seperti Kak Satoru. Setelah itu, kuikrarkan di dalam hati jika mulai detik ini aku telah jatuh cinta padanya.

“Daaarrr…, melamun saja! Melamunkan apa sih?” tanya Yumiko yang tiba-tiba sudah berada di belakangku dan menepuk pundakku cukup kuat hingga membuatku terkejut.

“Tidak melamun, kok. Yumiko sudah selesai dari klub tatacara perjamuan minum teh?” jawabku dan balik bertanya pada Yumiko yang wajahnya kini terlihat sangat bahagia.

“Hai (Iya), Manami. Oh ya, senpai kalian yang bernama Satoru itu yang mana, ya?”

Aku terdiam sesaat ketika Yumiko menanyakan Kak Satoru.

“Manami, kenapa diam?”

“Lie (Tidak), itu yang sedang berdiri tepat menghadap guru pelatih yang mengenakan topi merah,” jelasku sambil menunjuk ke arah Kak Satoru.

“Aduh, cakep juga!” decak Yumiko kagum sambil terus mengamati Kak Satoru.

Dalam hati aku berdoa semoga Yumiko tidak jatuh cinta pada Kak Satoru. Jika iya, tentu aku akan kalah dengan Yumiko. Dengan penuh kepercayaan kupastikan Kak Satoru akan lebih memilih gadis seperti Yumiko dibanding diriku.

Hari Minggu yang damai. Kubuka jendela kamarku dan kusaksikan suasana pagi dengan mentari yang masih tersenyum memancarkan sinarnya untuk Kyoto. Masih seperti pagi-pagi sebelumnya, Kyoto dibungkus kehangatan dan dilapisi sakura-sakura nan cantik. Dari jendela kamar, aku bisa memandangi Philosopher’s Path. Kuakui Kyoto memang cantik dengan pesona Jepang kunonya, namun Philosopher’s Path saat Haru (musim semi) adalah salah satu tempat terindah dan teromantis. Ratusan pohon sakura berbaris di jalanan pinggir Kanal, membuat kuil-kuil yang berada di sekitar jalan tersebut terlihat makin indah. Sekarang pun saat musim panas, kecantikan sakura masih mewarnai Philosopher’s Path.

Haha (Ibu) terlihat sibuk memanggang roti di dapur. Kucium pipi kanan orang yang amat kucintai ini dengan tubuh masih basah sehabis mandi. Haha cuma bisa geleng-geleng kepala. Lalu dengan segera, aku naik kembali ke kamarku untuk mengeringkan badan dan merapikan diri.

“Manami keluar dulu ya, Bu!” teriakku berpamitan pada haha seraya mengambil satu lembar roti panggang di meja.

“Iterasshai (Hati-hati di jalan), Manami! Lebih baik makan rotinya di rumah!” nasihat haha sambil memandangiku yang terburu-buru.

“Tidak sempat, Bu!” seruku lalu melangkahkan kaki menuju pintu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun