Mohon tunggu...
murdjani dada
murdjani dada Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nagari Sulit Air Lambang Anak Sayang Orang Tua

6 Mei 2016   10:07 Diperbarui: 6 Mei 2016   10:20 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah gaeang di Nagari Sulit Air, Sumatera Barat. foto murdjani Dada

Dizaman modern sekarang ini, mulai luntur hubungan antara anak dan orang tua, sehingga pepatah Kasih Ibu Sepanjang Masa, sedangkan kasih anak sepanjang hasta. Ini mengena, sebab, banyak anak yang sudah sukses melupakan ayah dan ibunya atau lebih banyak perhatikan isteri dan anaknya daripada ayah dan ibu yang sudah renta sakitan dan perlu biaya untuk pengobatan.

Nagari Sulit Air (Nagari itu maksudnya kecamatan dalam bahasa Indonesia) salah satu contoh anak sayang kepada kedua orang tuanya karena mereka merantau dan hasil dari kerja di rantau itu mereka kirimkan kepada kedua orang tua di Nagari ini, baik kepada yang kedua orang tuanya masih hidup atau kepada bapak atau ibu yang salah satunya hidup.

Saat meninjau ke Nagari Sulit Air kebetulan sedang merayakan ulang tahun jadi Nagari ini ke 195, pada 30 April 2016 bersama para pimpinan MPR Oesman Sapta Odang kebetulan hari yang sama di Lapangan Koto Tuo di tengah Nagara Sulit Air diadakan juga Sosialisasi Empat Pilar MPR dan bersamaan itu di ujung lapangan ada juga masak massal makanan khas nagara ini Samba Hitam (makanan rendang warna hitam) dengan 500 tungku dimasak oleh para wanita berhisab semua, dan memecahkan guinness book of record dengan diberi penghargaan oleh Museum Muri Indonesia (MURI).

Bayangan penulis, Nagari Sulit Air ini, keadaannya gersang seperti di daerah NTT, maklum deh, namanya juga pikiran lagi negatif aja karena tahu sendiri Sulit Air, tentunya kayak di Padang Pasir..

Perlu Sarana Transportasi dan Hotel

Ini yang penulis inginkan agar dua tahun kedepan sudah saatnya dipikirkan ada landasan pesawat perintis ke lokasi nagari ini. Mengingat tempat ini ada yang harus generasi muda tahu tentang Bukit Merah Putih, nanti deh, ceritanyanya...

Saat penulis dari Kota Padang mau ke Nagari Sulit Air, sarana yang ada mobil bus kecil, ya, maklum penulis datang bersama rombongan MPR RI untuk misi Sosialisasi Empat Pilar MPR (Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika).

Waktu tempuh perjalanan dari Padang ke Sulit Air sekitar 3,5 jam itu pakai Polreader, ya, jika normal sekitar 4 atau 5 jamlah.

Ditengah perjalanan sekitar satu setengah jam dari Kota Padang, mulai mobil berliuk-liuk menelusuri jalan seperti mau ke puncak turun naik. Memasuki di daerah Danau Singkarak, ada belokan kiri mau naik ke bukit ke arah Sulit Air.

Mendekati Sulit Air, ya, harusmenanjak bukit, disinilah perlu kekuatan bagi yang naik kendaraan sering mabuk, karena jalannya menantang, lebar jalan kecil hanya bisa ditelusuri bus ukuran tanggung jika di Jakarta itu Metromini dengan bagi mobil pribadi jika berselisihan yang mobil pribadi mengalah dulu.

Nah, saat menelusuri jalan ini kebetulan jam setengah sembilan pagi, wowww....di samping kiri bus yang ditumpangi banyak jurang, ya, bergidiklah bulu roma melihat samping mobil ke bawah dalam sekaliiii. Untungnya ada polisi di depan yang memandu, makanya bisa pelan dan lancar perjalanan.

Saat memasuki Nagara Sulit Air terjadi lagi kesabaran menelusuri jalan di desa ini, karena jalannya sempit, maklum belum terpikirkan daerah ini mau dijadikan daerah wisata budaya, sehingga kesannya tetap saja kampung.

Tapi, jangan dikira kampung ini tidak meninggalkan kesan bagi yang datang, saat memasuki kampung, terlihat ujung rumah khas Minangkabau tegak ke langit, seakan-akan kita menyaksikan kerbau raksasa berbaris di sekitarnya. Itulah rumah khas Rumah Gadang (bahasa Indonesianya rumah besar).

Di Sulit Air ini ada Rumah Gadang terpanjang 10 ruang (kamar). Kini sedang direnovasi untuk menarik para turis yang mau ke sini.

Nah, mulailah saat beberapa teman mau kebelet pipis, benar-benar susah mencari toilet, beberapa orang mau numpang di rumah penduduk, eh, tidak ada, kata mereka jika mau buang air besar di sungai....saat itu tidak diberitahu sungai mana.....

Ya, sarana yang paling tepat, ke mushola, tapi bukan untuk pipis dan pup saja, ya, sekalian shalat...Tidak kebayangkan jika para turis yang datang....

Memang ada di beberapa rumah gadang toilet untuk pengunjung tetapi jika saat mengunjung ke lokasi lainnya seperti ke Bukit Merah Putih atau ke jenjang 1.000 (maksudnya itu tangga) mau ke atas bukit, sekarang baru bisa terbangun 650 tangga, tidak ada toilet, jalannya sempit hanya ukuran satu bus tanggung dengan jalan, ya, ada berlubang dan berlumpur.....

Terlihat masih belum dibangun sarana penunjang jalan, toilet ke arah Bukit Merah Putih.

Lain lagi di tempat ini tidak ada hotel atau penginapan sarana untuk para turis luar negeri. Hingga kesannya, bisa ke sini datang pagi, pulang malam. Menginap bisa di Padang atau di Bukit Tinggi.

Kenapa Sulit Air ini lambang dari anak berbakti kepada orang tua? Karena di kecamatan ini para pemuda dan pemudinya setelah remaja merantau ke luar kampung, ada yang kuliah, bekerja dan jadi pengusaha besar. Sehingga, kampung ini sangat sedikit para remajanya.

Yang banyak terlihat orang tua, kadang nenek dan kakek yang mengisi hidupnya ada duduk di depan rumah, buka warung kecil-kecilan.

Beberapa orang tua yang penulis temui selalu mengatakan bahwa anak-anak merantau ke Jakarta, Bandung, Surabaya, Sulawesi, Kalimantan.

Bahkan ada sampai ke Australia.

Mereka ini agar selalu ingat kampung Sulit Air, punya organisasi seluruh Indonesia bahkan sampai luar negeri yaitu Sulit Air Sepakat disingkat SAS.

Nah, melalui inilah mereka bisa adakan sumbangan untuk Sulit Air, atau Pulang Basamo yang diagendakan dua tahun sekali.

Menurut beberapa penduduik, pulang Basamo ini seperti pesta tahunan yang sangat meriah karena semua perantau Sulit Air berkumpul di kecamatan ini.

Orang tua yang ada di Sulit Air ini ketika penulis tanyakan kemana saja anak-anak yang dewasa dan tua mereka mengaku semua merantau.

“Anak-Anak saya itu hanya kirim uang untuk biaya hidup saya. Jika tidak dari mereka, dari manalah...” kata Bundo Mala ketika ditemui sedang duduk di warung kecilnya.

Bukti lainnya, seorang anak menghormati orang tua ada pada Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang, yang kakek nenek serta orang tuanya hidup di kampung ini.

img03412-20160430-1350-572c09d1bc22bd27051e8019.jpg
img03412-20160430-1350-572c09d1bc22bd27051e8019.jpg
Datuk Bandaharo Sutan Nan Kayo Oesman Sapta Odang, juga Wakil Ketua MPR. foto dokpri.

Oesman Sapta Odang dikenal akrab OSO, benar-benar perhatikan orang tua bukan di sini saja tapi dimana saja dia berada. (Nanti ada tulisan khusus pembeberan isteri OSO soal suaminya yang menghormati orang tua).

Walaupun dia sudah masuk golongan Konglomerat dengan OSO Groupnya, tetapi dia orangnya jika bertemu dengan orang selalu hormat, sopan santun,  suara yang jika bercandanya bariton tinggi, tapi setelah bertemu dengan orang tua, bak anak yang sopan suara jadi rendah....

Nah, karena OSO ini peduli dengan Sulit Air, bahkan di luar negeri selalu mempromosikan Sulit Air, oleh para penghulu atau datuk di di tempat ini setelah melalui survei dan rapat para datuk ini akhirnya diberi gelar Datuk Bandaharo Sutan Nan Kayo.

Kenapa nama Sulit Air.... dan apa istimewanya Bukit Merah Putih... nanti deh disambung lagi.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun