Jilid kedua rusuh di Sidang Paripurna DPD RI terjadi lagi, pada Rabu (13/4/2016), ketika agenda mendengarkan laporan BPK. Saat pembukaan Sidang beberapa anggota DPD interupsi dan meminta agar Irman Gusman dan Farouk Muhammad tidak memimpin sidang.
Permintaan itu memicu yang lainnya interupsi untuk protes, dan terjadilah saling ngotot mempertahankan argumennya, alasan yang meminta Irman dan Farouk tidak memimpin sidang karena keduanya sudah disomasi. Sementara yang berberatan menyatakan Irman dan Faroek masih sebagai Ketua dan dan Wakil Ketua DPD.
Agar sidang bisa berjalan, karena yang berkeras meminta kedua orang ini tidak memimpin sidang akan walk out, sementara jika walk out yang menandatangan pernyataan somasi sudah banyak 74 orang dari 132 anggota DPD, rapat dipaksakan bisa bubar atau ditunda.
Jalan keluarnya, sidang diskors, pimpinan DPD, Irman, Faroek dan Ratu Hemas keluar ruangan untuk rapat kecil menentukan apakah bisa dipenuhi permintaan mereka yang kedua orang ini tidak memimpin sidang.
Akhirnya, ketika sidang dibuka, kedua orang ini mengalah yang memegang pimpinan adalah Ratu Hemas, sidang berjalan.
Selesai siang, Irman Gusman terlihat marah dengan nada agak tinggi menyatakan kepada wartawan, “Saya tidak akan mundur jika diminta, karena melanggar hukum!”
Begitu juga Faroek sebelum rapat dimulai diacara makan bersama wartawan parlemen di lantai 8, lantai tempat pimpinan DPD berada ikut damping Irman, sementara Hemas belum hadir karena masih di jalan. Dia menegaskan juga dia tidak akan mundur, bukan karena mempertahankan kekuasaan tapi secara konstitusi kurang benar.
“Mereka membuat perubahan karena ranah politik bukan ranah hukum. Saya ini orang abdi hukum, masa harus dipaksa melanggar hukum karena mundur dari wakil ketua. Ini harus diluruskan, jika dibiarkan akan terjadi ketidakstabilan dan dasar hukum menjadi lemah. Saya jika secara hukum diberhentikan akan berhenti karena tidak haus kekuasaan, tapi hukum di negara ini harus ditegakkan,” ujar Farouk dengan nada menahan marah.
Tahu sendiri Farouk dengan gelar Prof DR, merupakan Guru Besar bidang Kriminilogi dan Sistem Peradian Pidana, dia lahir di Bima, NTB 17 Oktober 1949.
Sedangkan kubu yang meminta pimpinan DPD segera menandatangani hasil sidang paripurna beberapa waktu lalu tentang masa jabatan pimpinan DPD tidak lagi 5 tahun, melainkan 2.5 tahun tetap berkeras dengan melihat pimpinan DPD tidak lagi pada posisi kuat karena munculnya pernyataan mosi tidak percaya awalnya ditandatangani 64 kini bertambah jadi 74 orang.
Hanya saja, mereka yang membuat mosi tidak percaya itu tidak berani menyentuh Ratu Hemas ada apa? Karena segan atau ada hal lain yang berkaitan dengan wibawa Keraton Yogyakarta, entahlah semua mungkin bisa menjawab. Perlu ditekankan saya tidak menduga ini permainan Ratu Hemas, mungkin karena mereka melihat Ratu Hemas masih mereka anggap punya wibawa dalam melaksanakan tugas sebagai pimpinan DPD.
Sebelum sidang paripurna hari Rabu kemarin dibuka, paginya, sempat beredar bahwa Ratu Hemas menandatangani surat hasil sidang paripurna yang mengubah masa jabatan pimpinan 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Saat Hemas di telepon Farouk untuk konfirmasi benar bahwa dia sudah menandatangani hasil rapat paripurna itu, dan suara hp dikeraskan semua wartawan dekatnya mendengar suara Hemas terdengar bunyi suara, “Tidak, tidak benar saya menandatangani itu. Saya lagi on the way dekat lagi sampai gedung.”
Irman sebelumnya menegaskan persoalan yang dihadapi sekarang ini jalan keluarnya uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi saja, sehingga secara koridor hukum akan jelas dan keputusannyapun secara hukum bukan politik. Jika berdebat terus, buang waktu.
DPD 2,5 tahun Jabatan Pimpinan. Pancing lembaga setara bisa diubah
Berhasilkah kelompok yang meminta ada perubahan masa jabatan pimpinan DPD bisa 2,5 tahun? Kita lihat saja setelah endingnya ada di MK dengan judicial review.
Persoalan yang muncul bisa jadi berbuntut panjang, gong dari DPD yang mengubah masa jabatan pimpinan itu bisa seperti virus akan merambah bisa dirubah ke lembaga setara dengan DPD, yaitu masa jabatan pimpinan DPR, MK, Mahkamah Yudisial, Mahkamah Agung, bahkan KPK.
Nah, tentunya bisa juga sampai ke arah diutak-atik masa jabatan presiden RI, bisa saja tidak lagi 5 tahun bisa 3 atau 4 tahun jika embrio di DPD itu terjadi ada perubahan masa jabatan pimpinan kelembagaan negara....hasilnya kapan kerja yang benar, yaa mengurus soal intern lembaga terussssss...sementara gaji jalan, eh urusan rakyat tersingkirkan....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H