Salah satu nilai moral yang perlu dan penting untuk dikembangkan adalah menolong orang lain. Kita hidup di dunia ini sebagai mahluk sosial, tidak akan mampu untuk hidup tanpa bantuan orang lain. Kita pasti akan memerlukan bantuan orang lain untuk menghadapi persoalan hidup yang sedang dihadapi. Pertanyaan yang mengemuka, pernahkah kita menolong orang lain yang sedang menghadapi kesusahan? Tidak perlu jauh-jauh untuk mengingat apa yang pernah kita lakukan. Pernahkah kita menolong tetangga dekat yang dilanda kesulitan? Kalau belum pernah, bagaimana jika kita sendiri yang mengalami kesulitan? Bukankah kita juga perlu bantuan orang lain? Nah, coba kita amati atau belajar dari perilaku anjing sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Ada banyak kisah tentang anjing yang dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi manusia untuk mengembangkan nilai moral menolong. Saya mencoba mengangkat kisah nyata yang terjadi di tahun 2006. Kisah ini saya cuplik dari buku Judirman Djalimin (2010: 39-41) yang banyak berkisah tentang dunia binatang. Dikisahkan, ada seorang pembalap petualang yang pernah menjadi juara dunia sebanyak dua kali, namanya Danelle Ballenge. Pada bulan Desember 2006, Danelle dan anjingnya yang bernama Taz pergi untuk berlibur dan berolahraga di daerah gurun Utah, Amerika. Ketika ia sedang berlari dan melewati lapisan es di tempat itu, ia terjatuh ke bawah jurang yang datar dengan kedalaman 18,3 meter. Jatuh di jurang yang begitu dalam, menyebabkan tulang panggulnya patah. Ia pun tidak bisa bergerak di dasar jurang.
Danelle tak mampu melakukan apa-apa di dasar jurang. Kebetulan saat itu sedang musim dingin, sehingga udara di malam hari terasa begitu dingin. Taz dengan setia menemani tuannya itu dan tidur di samping Danelle. Kondisi seperti itu terjadi selama 3 hari 2 malam. Taz berusaha menjaga agar Danelle tidak merasa kedinginan. Pada hari ketiga, Danelle mulai kehilangan kesadaran karena kondisi tubuhnya yang terus melemah. Ia sudah tidak mampu lagi untuk menggerakan anggota badannya dan sudah tidak tahan lagi dengan kondisi musim dingin yang semakin membuat tubuhnya semakin menggigil. Taz mulai menyadari kondisi tuannya itu dan segera mencari pertolongan. Ia berlari menuju tempat di mana Danelle memarkir truk.
Singkat cerita, regu penolong menemukan truk Danelle dan melihat Taz ada di dekat truk. Regu penolong berusaha menangkap Taz. Namun, ketika Taz hendak ditangkap, ia berusaha melarikan diri dan memancing para regu penolong agar menuju tempat di mana Danelle terbaring lemah tak berdaya. Sampai akhirnya, regu penolong pun menemukan Danelle dan segera memberikan pertolongan kepadanya. Danelle sungguh beruntung, karena jika Taz tak cerdik dan segera bertindak, mungkin ia sudah mati karena tidak tahan lagi dengan cuaca yang tidak bersahabat.
Kisah nyata yang menimpa Danelle ini menjadi sebuah kisah yang sangat menggetarkan siapa saja yang mengetahuinya. Seekor anjing yang memilki kesetiaan dan kecerdikan yang luar biasa dalam menyelamatkan tuannya. Berkat kecerdikannya itu, nyawa Danelle dapat terselamatkan. Menurut Danelle, sebelumnya Taz tidak pernah dilatih untuk melakukan hal seperti itu. Tapi memang sungguh luar biasa apa yang telah dilakukan Taz. Ia mampu melakukan penyelamatan dengan caranya sendiri. Atas perilakunya yang heroik itu, Taz mendapatkan penghargaan Anjing Pahlawan Nasional ke-25 oleh Society for the Prevention of Cruelty to Animals di Los Angeles. Danelle merasa bangga atas penghargaan itu. Taz rela mengorbankan hidupnya demi menyelamatkan nyawa Danelle. Taz tidak hanya menemani Danelle yang terluka, tapi ia juga berusaha untuk bertindak cerdas menyelamatkan nyawa tuannya.
Kisah tentang perilaku anjing Taz memberi inspirasi kepada kita untuk belajar tentang nilai moral menolong orang lain. Coba, kita bandingkan dengan perilaku manusia terhadap manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat? Seringkali kita masih egois, tidak mau mengalah, dan melakukan apa saja untuk kepentingan pribadi. Jauh hari, Plato sudah berteori bahwa kita adalah zoon politicon. Manusia adalah mahluk sosial yang selalu bergantung dan memerlukan keberadaan orang lain. Kita harus memiliki sifat untuk menolong orang lain, karena suatu saat pasti akan memerlukan bantuan orang lain. Kondisi seperti ini sangat terasa jika kita berada seorang diri di suatu komunitas yang jauh dari anggota keluarga (misalnya, di perantauan). Orang-orang di sekitar kita adalah orang pertama yang akan mampu memberi pertolongan. Bukan bapak atau ibu, bukan pula kakak atau adik yang akan pertama memberikan pertolongan tapi orang yang tinggal dekat dengan kita, dan mungkin tidak kita kenal sebelumnya.
Menolong harus dilakukan dengan ikhlas, tanpa harus berharap sesuatu dari apa yang telah dilakukan. Di mana pun berada, kepada siapa pun yang memerlukan pertolongan maka kita harus siap memberikannya. Setiap perbuatan baik yang dilakukan pasti akan kembali, baik langsung atau pun tidak langsung. Balasan terhadap perbuatan baik yang dilakukan dengan ikhlas akan datang di kemudian hari. Balasan itu bisa dalam beragam rupa. Bisa jadi langkah dan usaha yang kita lakukan, akan mudah untuk dikerjakan. Tujuan dan cita-cita juga akan mudah untuk digapai.
Di samping sifat egois dan mau menang sendiri yang selalu ada dalam diri manusia, seringkali juga muncul emosi yang tidak terkendali. Emosi semacam ini akan menghambat manusia dalam mencapai cita-cita. Jika orang tidak bisa mengendalikan emosi, maka sulit untuk berpikir jernih dalam mengambil suatu keputusan. Seringkali keputusan yang diambil justru akan merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Emosi perlu dikelola dengan baik, jangan sampai liar dan berdampak buruk. Orang yang mampu mengendalikan emosi akan bersikap lebih arif dan bijak. Ia terlihat tidak menggebu-gebu dalam bertindak, tapi lebih hati-hati dan santun.
Memberi pertolongan dianjurkan terhadap hal-hal yang baik. Tidak dibenarkan untuk tolong-menolong terhadap keburukan. Menolong sudah diajarkan sejak kita belajar di bangku Taman Kanak-kanak. Namun, lingkungan terkadang mementahkan apa yang sudah dipelajari di sekolah. Inkonsistensi tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) terhadap nilai-nilai moral yang diajarkan menyebabkan seorang anak ragu terhadap kebenaran nilai moral yang ia yakini. Oleh karena itu penguatan-penguatan nilai moral perlu dilakukan. Perlu diciptakan lingkungan yang memungkinkan nilai-nilai moral itu dapat berkembang dengan baik. Perlu keteladanan, dan terus berproses dalam belajar, termasuk belajar dari mahluk Tuhan yang lain seperti binatang. Belajar tidak harus membaca buku, karena membaca buku belum tentu belajar. Ada orang yang membaca buku berjam-jam tapi setelah ditanya apa isi buku tersebut ternyata dia tidak paham isinya. Belajar membaca alam ciptaan Tuhan justru menjadikan hasil pembelajaran kita semakin bermakna.
Salam Cinta Binatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H