Mohon tunggu...
MURDIANSYAH
MURDIANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMPN Satap 8 Baraka Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan.

"Jika kau diperhadapkan dengan beragam masalah, maka seduhlah kopi, cium aromanya, seruput perlahan lalu rasakanlah merdeka.”

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Deradikalisasi dengan Membumikan Pancasila

9 April 2021   22:44 Diperbarui: 10 April 2021   22:33 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pandangan Yudi Latif, Pancasila sebagai ideologi negara dapat dikatakan sebagai ideologi “integralistik” yang mengatasi partikulasi paham perseorangan dan golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama, dan golongan masyarakat), setiap perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas ideologi masing-masing. Namun, dalam wilayah publik kenegaraan, setiap perseorangan dan golongan itu harus menganut ideologi Pancasila sebagai titik temu.

Momentum bersejarah lainnya dalam proses perumusan dasar negara yang harus diketahui adalah kesepakatan perubahan piagam jakarta oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan tujuh kata setelah Ketuhanan yang awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak hanya itu, telah diubah pula klausul pasal pada batang tubuh UUD 1945 Pasal 6 ayat (1) tentang syarat presiden. Ayat ini mulanya mensyaratkan Presiden harus orang islam kemudian diubah menjadi “harus orang Indonesia asli”.

Kisah perubahan tujuh kata dalam piagam jakarta diabadikan oleh M. Hatta dalam memorinya yang menceritakan bahwa datangnya wakil-wakil dari Protestan dan Katolik melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) sebagai bentuk keberatan mereka terhadap tujuh kata yang tertera dalam piagam jakarta. Bagi mereka tujuh kata itu hanya mengikat orang Islam saja dan merupakan bentuk diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Keberatan yang disampaikan oleh wakil-wakil Protestan dan Katolik melalui opsir Kaigun didepan M. Hatta waktu itu ditanggapi serius oleh M. Hatta karena Jika bentuk diskriminasi itu ditetapkan, maka mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Potongan catatan memori M. Hatta sebagai berikut: “karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantikannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.” (Hatta, Mohammad, 1979).

Dengan semangat prinsip Pancasila, Indonesia memiliki pondasi sebagai pandangan hidup yang visioner. Seyogianya dalam prinsip bernegara, tidak ada lagi kelompok-kelompok tertentu yang menolak ideologi Pancasila. Pancasila harus mampu meredam segala bentuk penolakan dan paham radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan. Sangat disayangkan jika beberapa negara yang tidak berfilosofi Pancasila tapi mampu mengamalkan karakter dan nilai-nilai yang dikehendaki Pancasila, sementara Indonesia yang berjati diri asli Pancasila dan memiliki rumusan formal Pancasila kurang menyadari kesaktian Pancasila untuk dikembangkan dan diamalkan dalam setiap sendi kehidupan.

Belajar dari deretan sejarah dan berangkat dari rentetan masalah kemajemukan yang tengah dialami Indonesia, diharapkan menjadi bahan refleksi pemerintah untuk lebih memassifkan pendidikan Pancasila disetiap elemen masyarakat dalam upaya deradikalisasi. Terkhusus di semua jenjang pendidikan, Pendidikan Pancasila harus terus digalakkan dan tidak terputus hanya dijenjang tertentu. Nilai-nilai Pancasila harus diakarkan kepada generasi Indonesia sejak dalam kandungan. Dalam artian bahwa sebelum generasi lahir, orang tua dalam keluarga terkhusus ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya sudah mampu menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap ucap dan gerak tubuh.

Memaknai Pancasila berarti menegaskan komitmen bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan dasar dan ideologi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai konsensus bersama harus terafiliasi dan koheren dalam etika dan moral diberbagai aspek kehidupan Indonesia.

Dalam pandangan Yudi Latif, membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realitas, tak terhenti sekedar retorika dan ornamen di pentas politik. Oleh karena itu, Pancasila harus diradikalisasikan ke daratan realitas melalui Revolusi Pancasila untuk mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Lebih lanjut Yudi latif mengatakan, kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur. “Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan napas dan berani terjun menyelami samudera yang sedalam-dalamnya.”

Indonesia membutuhkan generasi-generasi Pancasila yang berjiwa patriot menggempur kelompok-kelompok ekstremisme yang mengancam keutuhan NKRI. Pastikan tidak ada tanah sejengkalpun tempat bersarang untuk terorisme di negeri ini. Mengutip ungkapan Soekarno, “Dalam menghadapi aral rintangan, kita tidak boleh menyerah dan patah. Terkadang kita harus bisa melenting untuk kemudian kembali ke haluan penuntun.”

Salam Edukasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun