Budaya dan toleransi  (logika, etika, estetika)
Sebuah negara itu, terbentuk tidak hanya berdasarkan hukum saja, tapi juga terbentuk oleh unsur budaya. Maka kalian para ahli hukum, pengacara, hakim, jangan terlalu pede, seakan-akan hukum adalah satu-satunya yang paling penting dalam bernegara. Terbukti sudah sekian lama, negara ini-Indonesia-diurusi oleh orang-orang hukum tidak juga kunjung benar dan beres. Korupsi masih di mana-mana, kriminal juga masih merajalela di indonesia. Begitulah kira-kira yang disampaikan oleh Sujiwo Tedjo dia adalah seorang budayawan-dalang dan komposer, meskipun generasi sekarang lebih mengenalnya sebagai Presiden Jancukers, pada sebuah acara yang disiarkan salah satu station Tv swasta di Indonesia.
Kata-kata mbah Tedjo ini, masih sangat relevan dibicarakan sekarang. Kata-kata itu sangat menarik, karena menggugah kesadaran kita, tentang realitas saat ini. "oh" benar juga, kenapa seakan selama ini kita hanya disibukan tentang tema hukum, undang-undang, sidang, dan lain sebagainya. Diakui memang selama ini, yang muncul menjadi elit pengatur negara, berdiri di depan panggung Republik ini adalah para orang-orang politik, yang sedikit banyak selalu bersinggungan dengan hukum maupun undang-undang. Para elit yang berjualan dengan jargonnya "Indonesia adalah Negara Hukum"
Negara yang terlalu berwatak hukum, maka yag tertampil pada wajahnya adalah kehidupan yang keras, dan biasanya terkesan materialism. Kehidupan masyarakatnya bergerak seperti halnya mesin dan robot, maka yang terjadi karakternya akan kaku, dangkal dalam penghayatan kehidupan, kering dan hampa. Maka nanti yang terjadi semacam moderenisasi hukum rimba, siapa yang kuat dia yang berkuasa. Watak ini, pada kasus setingkat Negara, dia yang kuat secara militer, maka dia akan menguasai dunia. Ini pula salah satu faktor yang membawa keinginan untuk menjajah yang lain.
Benar-benar dalam kekakuan ini, akan berujung pada minimnya sifat toleransi untuk menjalani hidup berdampingan sebagai individu maupun negara. Bukan berarti negara hukum itu jelek dan salah, hanya saja jika cuma perpangku dan menitik beratkan pada unsur hukum saja, negara tidak akan sempurna.
Dalam tradisi filsafat aksiologi dikenal dengan adanya pembagian derajat manusia berdasarkan pada "basic behavior"/basis perilaku. Yaitu tahap logika, tahap etika, dan yang terakhir adalah tahap estetika. Dari tiga tahab ini nanti akan dijumpai kesesuaian tentang hubungan hukum, budaya, maupun toleransi.
Tahab pertama logika, individu maupun masyarakat yang mendasarkan hidupnya dengan basis logika, itu biasanya berbicara tentang benar dan salah. Sifatnya sangat normatif, saklek, prosedural dan terkesan kaku. Jika melakukan hal yang benar maka akan aman, sebaliknya jika melakukan kesalahan maka akan mendapatkan sanksi/hukuman. Sifat itu, sangat bertepatan sekali karakternya dengan watak orang-orang hukum. Watak ini jika dibawa dalam tradisi islam, maka akan menjelma menjadi kengototan tentang harus diberlakukannya hukum syariah yang formalistik. Dan pasti yang diberbicarakannya seputar halal dan haram, dosa dan ganjaran.
Pertanyaanya apakah negara yang terpondasikan dari unsur utama logika tidak akan terjadi karakter toleransi? Sebenarnya bisa saja ada toleransi, tetapi toleransi yang terbangun adalah, toleransi yang bersifat terpaksa. Misalnya saja sikap seseorang tidak akan mengganggu orang lain, yang hanya karena bersandarkan ketakutan akan terkena sangsi hukum, penjara atau denda, atau yang hukuman lainya. Yang jelas karena terpaksa dan takut.
Kemudian yang kedua adalah derajat etika. Dalam tahap ini yang dibicarakan adalah tentang nilai baik atau buruk. Watak pondasi pijakannya adalah berbicara moral. Maka individu yang nantinya membentuk masyarakat, akan terasa sangat teratur dan lebih manusiawi. Meskipun pada dasarnya masalah moral dan keputusan yang menyangkut moral adalah keputusan yang bersifat pribadi-seperti yang disampaikan oleh penulis buku filsafat etika, K. Bertens- namun tetap saja akan menjadi keputusan yang berdampak kepada masyarakat bahkan negara, jika individu itu hidup bercampur dan membaur dengan masyarakat.
Sifat-sifat manusiawi itulah yang nantinya akan membawa watak toleransi yang berbeda dengan tipe toleransi sebelumnya, karena toleransi dalam tahab ini, merupakan toleransi yang penuh dengan kesadaran, karena di dasari dengan pengetahuan dan pengalaman moral.
Yang terakhir atau yang ketiga adalah derajat Estetika. Tahab dimana yang dibicarakan adalah tentang apakah sesuatu hal itu Indah atau jelek. Tahap dimana individu-individu(atau masyarakat) berada dalam tahab pengalaman kedamaian, kematangan. Kematangan akan membawa ke kedalaman dalam mengamalkan dan menghayati hidup, yang nantinya diharapkan membawa dapak kebahagiaan, baik kepada masyarakat maupun negara. Kemudian akhirnya menjadi individu(atau negara) yang sempurna.