Mohon tunggu...
Murdian Dplato
Murdian Dplato Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggapai Kebahagiaan di Hari Raya Kurban

2 September 2017   14:42 Diperbarui: 2 September 2017   15:37 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menggapai kebahagiaan di hari raya Kurban

-menggunakan teori filsafat kabahagiaan Ibn Farabi-

Di awal bulan agustus ini, umat islam merayakan hari raya Idul Adha, hari raya Kurban. Perayaan ini disyariatkan salah satu tujuannya untuk meneladani kisah penyembelihan nabi Ismail AS oleh ayahnya nabi Ibrahim AS, seperti yang jamak dipahami oleh masyarakat Islam umumnya. Meskipun akhir-akhir ini, mulai muncul lagi wacana perdebatan tentang siapakah yang di sembelih, nabi Ismailkah atau nabi Ishaq-kah? Dua-duanya merupakan anak keturunan dari nabi Ibrahim. Nabi Ismail merupakan anak pertama yang terlahir dari Hajar(beberapa kalangan meyakini sebagai budak nabi Ibrahim), sementara nabi Ishaq terlahir dari istri pertama nabi Ibrahim, yang bernama Sarah. Meskipun riwayat cerita kurban bisa jauh ditarik dari kisah Habil & Qobil, putera Nabi Adam AS. Tetapi tulisan ini, tidak dimaksudkan untuk mengulas perdebatan itu, karena jelas yang pastinya disembelih adalah seekor domba pada akhirnya.

Salah satu unsur dari peristiwa kurban Idul Adha adalah penyucian jiwa, karena sucinya jiwa merupakan syarat kebahagiaan. Untuk menuju pencapaian kebahagiaan, manusia hendaknya melalui proses penyucian jiwa. Karena kebahagiaan hanya bisa dicapai oleh jiwa-jiwa yang suci dan bersih. Jiwa suci bersihlah yang mampu menembus tabir-tabir ghaib, naik ke alam cahaya dan keindahan, begitulah penjelasan seorang filsuf bernama Alfarabi (257 H/870 M). Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Alfarabi-sebuah daerah yang sekarang masuk di wilayah afganistan/kazakhstan-.

Terdapat dalam beberapa karangan Alfarabi tentang level kebahagiaan,(Al -Tanbih Ala-Sabil Al-Sa'adah, Tahsin Al-Sa'adah, AL-Madinah al-fadilah). Mulai yang paling rendah yaitu kebahagiaan yang dipahami oleh orang awam, yaitu kebahagian yang disamakan dengan kenikmatan. Oleh karena itu pilihan syariat dalam tradisi Idul Adha adalah perintah penyembelihan binatang ternak yang akan dimakan dagingnya, daripada misalnya anjuran pelesir-piknik- ketempat wisata. Makan daging merupakan salah satu wujud ekspresi dari kenikmatan. Karena makan berkaitan dengan urusan perut, sementara semua yang dekat dengan urusan perut dianggap sebagai kenikmatan. Bahkan kenikmatan sekspun berangkat dari kebutuhan perut ini. Karena itulah level kebahagian orang kebanyakan, kenikmatan.

Dilevel berikutnya adalah kebahagiaan yang disebut sebagai 'Absolute Good'. Kebahagiaan adalah goal dan tujuan hidup. Maka dilevel ini melakukan kegiatan kebaikan, kejujuran, integritas, santun, menolong orang lain merupakan kebahagiaan. Semisalnya saja, kita akan merasakan sangat bahagia-dengan syarat ikhlas tak bersyarat-jika kita bisa membantu orang lain dan orang yang kita bantu merasa terbantu dan terimakasih. Dari level pertama yang hanya kenikmatan daging, Alfarabi menyarankan untuk meningkatkan kebahagiaan level pertama ke level ini ada caranya yaitu, semua yang bersifat keduniaan dan ke-perut-an, seharusnya ditingkatkan ke derajat ibadah dan bersifat ke-illahi-an. Maka menyembelih, memakan daging harus dilandasi ibadah, agar menjadi derajat kebaikan 'Absolute Good'. 

Tetapi kebahagian dilevel pertama dan kedua sifatnya sangat personal dan individual, kebahagiaan itu tidak akan mampu menjelma menjadi kebahagiaan hakiki jika tidak menggapai kebahagiaan level berikutnya. Alfarabi mensyaratkan kebahagiaan personal juga harus didukung kebahagiaan setingkat komunitas/sekelompok masyarakat yang disebut "Al-Ijtima' al-Fadil", dan setingkat masyarakat saja tidak cukup untuk mencapai kebahagiaan, jika tidak meningkatkan ke level kebahagiaan kota yang disebut "AL-Madinah al-fadilah", dan yang terakhir diharapkan mampu menjadi kebahagian utama, karena kebahagiaan tingkat kota tidak akan sempurna jika tidak/belum terpenuhinya kebahagiaan tingkat negara sehingga menjadi negara yang utama yaitu disebut "Al-Ma'murah al-fadilah". Sebagai contoh gambaran, apakah kita akan bisa menikmati makan daging kurban di kota Allepo, Syiria, dengan merasa tenang dan nyaman, tanpa rasa was-was? Adakah rasa gembira dan suka cita jika negara tidak aman dan terjadi konflik perang. Meskipun bisa berdalih, bahwa keadaan konflik tetap bisa merayakan Idul Adha, tapi tetap saja itu bukanlah perayaan yang sempurna.

Dan menjadi negara utama, juga membutuhkan pribadi-pribadi yang berkualitas untuk menjadi pemimpin-pemimpinnya. Sebuah negara membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya sekedar berorientasi kekuasaan murni, yang hanya mengedepankan pragmatisme dan kepentingan pribadi dalam berpolitik, menghalalkan segala cara. Seorang pemimpin harus mempunyai landasan kebijaksanaan, pemimpin yang mengerti arti pentingnya kebahagian untuk warganya. Karena pemimpin ibarat kepala dalam analogi tubuh. Menurut farabi masyaraat itu bagaikan tubuh yang terdiri dari berbagai organ, yang setiap organ mempunyai peran masing-masing.

Demi menuju negara bahagia, tradisi dan penghayatan terhadap moment kurban jadi sangat penting dan relevan. Negara utama yang bahagia dalam konsep alfarabi, merupakan negara yang mengedepankan sikap saling tolong menolong, berbagi, saling asah-asih dan asuh, demi mencapai kedamaian dan ketentraman bersama. Karena pada titik akhir tujuan bernegara adalah kebahagiaan. Dalam pemikiran farabi negara ideal adalah negara yang warga negaranya saling bekerjasama untuk mencapai kebahagiaan. Senada dengan Alfarabi, Aristoteles berpendapat tentang politik yang menurutnya adalah jalan menuju kebahagiaan. Karena Alfarabi sendiri sangat terpengaruh oleh Aristoteles .

Politik seharusnya adalah sarana, bukan tujuan, maka kita harus bisa membedakan antara politikus dengan manusia politik. Politikus adalah karir dan profesi, maka mereka terkadang sangat pragmatis sekali, sementara yang satunya manusia politik adalah mereka yang sadar bahwa hidup bermasyarkat dan bernegara tujuannya adalah keadilan dan kemakmuran bersama.

Dari jiwa yang suci, yang semestinya sudah terasah dalam menghayati dan mengambil pelajaran  ditradisi berkorban, seorang pemimpin, seorang politikus, semua manusia, haruslah menjadi orang bermoral baik. Meskipun kadang kenyataanya banyak artis dan para politisi "berkorban" hanya untuk pencitraan. Dan jika seperti itu terjadi, mereka tidak dapat mencapai kebahagian dilevel Absolute good, mereka gagal dalam konsep penyucian jiwa, yang akhirnya terganngu pula tercapainya negara utama berbahagia. Sebenarnya agama memberi banyak instrumen agar pemeluknya menjadi baik, tapi memang yang terjadi realitas berbeda dengan idealitas.

Peristiwa qurban itu sendiri mempunyai dua sisi dimensi pemaknaan. Bukan pemaknaan secara bahasa dan istilah, tetapi sudut perspektif. Pertama dari sisi pelaku(orang yang mengorbankan), dan kedua sisi korban/objek(binatang ternak). Dari sisi pelaku, kurban mempunyai manfaat di jiwa, diataranya pelajaran keikhlasan karena harus mengeluarkan uang/binatang ternak untuk disembelih dan dibagikan. Kemudian kurban juga mengajari tentang ketaatan dan keimanan, yaitu meneladani peristiwa ketaatannya nabi Ibrahim terhadap Tuhannya.

Karena sebenarnya dianjurkan pemilik binatang kurban menyembelih sendiri, maka jika menelaah anjuran ini, akan ditemukan maanfaat yang lebih. Karena sesungguhnya manusia juga mempunyai energi negative untuk melakukan ke-jagal-an(sebagai sifat asli kebinatangan yang ada di manusia), dan energi negative itu hendaknya dilepaskan dengan terapi memenggal binatang kurban. Dan terapi itu membawa semakin bersihlah jiwa manusia.

Sementara dari sisi korban/objek(binatang ternak), bisa diambil pelajaran tentang makna ketundukan, kepasrahan, dan keimanan itu sesungguhnya membawa rasa ketenangan jiwa. Karena dijadikan kurban sehingga tambah ke Imanan juga merupakan sebuah kehormatan.

Tidak mengherankan jika Nabi Ismail/Ishaq sangat bersedia dijadikan Kurban, karena budaya lama menjadi Kurban untuk Tuhan adalah kehormatan. Tidak heran juga dulu, di suku AztecAmerika, sejak masa kanak-kanak mereka telah disiapkan dan dilatih untuk siap menjadi kurban ritual. Mati sebagai kurban upacara dan dipersembahkan untuk Tuhan bagi mereka adalah kehormatan. Kita ketahui memang di beberapa kebudayaan, bahkan 40 dari 93 ditemukan budaya pengorbanan manusia. Ketika Islam hadir, mengambil syariat nabi Ibrahim AS, islam memutus dan menghentikan budaya kurban manusia. Karena Islam sangat menjujung tinggi nilai kemanusiaan, sebagai salah satu Maqosidul Syariah(Tujuan Syariah)nya.

Sekali lagi, ibadah qurban sebagai ajaran agama juga memegang penting peranan dalam membahagiakan manusia, karena erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat ruhaniyah. Ketika individu diajari dan dilatih tentang penyucian jiwa untuk menuju bahagia, ajaran itu membawa prinsip-prinsip silaturahmi, dengan misalnya berbagi daging kurban. Itu semua bertujuan untuk kebaikan, karena semua yang baik adalah membahagiakan, begitu juga sebaliknya.

Semangat kurban seharusnya juga membawa pelajaran-pelajaran dan nilai-nilai toleransi, kita juga harus ingat peristiwa di kudus yang tidak boleh menyembelih sapi untuk berkorban. Itulah bukti toleransi, demi mewujudkan kota bahkan negara yang bahagia. Meskipun tidak naif juga tradisi kurban tidak akan bisa mengurai semua permasalahan bangsa. Tapi tradisi Kurban bukanlah tradisi kontra produktif yang harus dimusnahkan, tetapi merupakan tradisi yang seharusnya tetap dilestarikan.

Ketika kenyataan memang tidak mesti sesuai harapan, tetap yakin untuk bisa mewujudkan.

Oleh: Murdian Dplato

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun