Mohon tunggu...
Mita
Mita Mohon Tunggu... Administrasi - -

Just share my thoughts

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Dijajah Laki-Laki atau Patriarki?

16 Maret 2020   08:53 Diperbarui: 16 Maret 2020   09:18 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Google Doodles

International Woman's Day yang jatuh pada tanggal 8 Maret diperingati wanita seluruh dunia. Apa yang kaum wanita peringati? tentu saja lebih kepada menuntut hak wanita. 

Bagaimana dengan di Indonesia yang kaum wanitanya masih dibatasi budaya patriarki. Seburuk apakah memang sampai kaum feminis mengeluarkan suara. 

Kritik terhadap budaya patriarki bukan hanya menuju kesetaraan gender namun hanya ingin membuat melek bahwa perbedaan standar sudah tak relate lagi. Yang akan saya paparkan inilah yang paling umum terjadi.

Insecure.

Laki-laki terlanjur punya identitas sebagai alpha, dan itu yang membuat pride nya tinggi. Jadi kebanyakan laki-laki tidak suka dengan perempuan yang menurutnya punya level yang lebih tinggi. 

Masyarakat Indonesia masih memunyai pola pikir bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya akan berakhir di dapur. Perempuan tak perlu mengejar karir nanti susah jodoh. Dan stereotype tentang perempuan yang sukses adalah perempuan yang sukses cenderung akan menginjak-injak laki-laki. 

Ada yang mengatakan jika seorang wanita sukses ia seperti tidak membutuhkan laki-laki. Perempuan yang independent memang terihat kuat karena terbiasa bisa melakukan apapun sendiri dan itu yang membuat laki-laki lemah merasa terancam. Perempuan mandiri sudah sangat terbiasa dengan struggle. Dan perempuan mandiri bukan sosok yang unapproachable. 

Laki-laki jangan minder, berikanlah ia pujian dari kerja keras yang sudah ia lakukan karena sehebat apapun perempuan tetap butuh laki-laki. Untuk perempuan ada satu kalimat yang bagus dari film Crazy Rich Asian "It's not my job to make you feel like a man". Jadi jangan pernah menurunkan standar agar laki-laki bisa mengimbangimu atau menghargaimu. You don't need a smaller crown, you need a man with bigger hands.

Jadi orang baik.

Tuntutan dari standar nilai sosial seperti perempuan dituntut menjadi "orang baik" dibanding laki-laki. Menjadi orang baik itu penting, namun sepertinya porsi perempuan harus lebih banyak. Contoh, larangan berzina padahal berlaku untuk semua gender baik laki-laki atau perempuan tetapi mengapa bagi perempuan lebih diwajibkan menjaga virginitas sampai kelak ia menikah dibanding laki-laki. 

Jadi, jika ada perempuan sudah tidak perawan padahal belum menikah, maka akan dicap murahan, bukan perempuan baik-baik, gemar berzina, dan dengan segala pandangan hina. 

Saya bukan pendukung seks bebas namun saya rasa hal itu tidak adil jika yang disorot hanya perempuan. Perbedaannya adalah tidak ada stigma buruk untuk laki-laki yang belum menikah tetapi sudah tak perjaka. Laki-laki akan lebih dimaklumi "wajarlah lelaki...", "namanya juga cowo..."

Sebagai contoh kasus hamil di luar nikah, mengapa pihak perempuan yang lebih menanggung beban moral? Pasti pihak perempuan dan keluarganya yang akan lebih disalahkan "kenapa mau?", "tidak bisa jaga anak gadisnya" padahal tidak akan terjadi kalau tidak ada lelaki yang berbuat. Kalau dibilang kasihan nanti suaminya dapat sisa-sisa karena sudah bekas, mereka juga tak berpikir bahwa perempuan pun juga berpeluang dapat sisa-sisa. Sampai sini paham?

Wanita Sholeha

Wanita idaman adalah wanita baik-baik yang punya kesadaran menutup aurat. Patuh pada agama sudah pasti akan patuh pada suaminya kelak. Maka dari itu quote favorit dari laki-laki adalah "senakal-nakalnya  laki-laki pasti akan memilih wanita baik-baik untuk menjadi istrinya". 

Dalam kalimat itu terselubung kalimat 'harus jadi wanita baik-baik agar dipilih lelaki'. Kenapa terkesan perempuan yang harus behave? Padahal perempuan juga punya pilihan akan pilih laki-laki yang baik juga. 

Dalam Al'Quran pun dijelaskan dalam surat An Nur: 26, "Perempuan- perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula)...."

Budaya patriarki yang dijalani kadang blunder. Ada laki-laki yang menuntut wanitanya pakai hijab jika ingin dinikahi karena tidak ingin menanggung dosa istrinya kelak jika nanti kelaur rumah masih memperihatkan aurat. 

Padahal jika bicara dosa berkhalwat dengan yang bukan mahramnya saja sudah dosa, jika dari awal mencari istri bukan dengan cara yang diharuskan agama, mengapa ketika ingin menikah ada syarat menutup aurat. Ini blunder namanya. Tak mau menanggung dosa tetapi tanpa disadari sudah menjalankan dosa. 

Mengapa harus mengkotakkan antara perempuan yang pakai hijab dengan yang tidak pakai hijab. Perempuan yang berhijab dianggap lebih sholeha dan perempuan baik-baik. Padahal kalau perempuan sholeha tidak akan mau diajak berkhalwat, lalu apa bedanya? Apa yang terpenting menutup rambut? Sedangkan perempuan tak berhijab diberi perumpamaan mudah dihinggapi lelaki bagaikan makanan yang tidak ditutup maka akan dikerumuni lalat. Sedangkal itukah pemikirannya. 

Daripada menuntut perempuannya hijrah, lebih baik instropeksi kemampuan diri sendiri apakah sudah cukup memberi kesenangan dan ketenangan. Jadi, nanti jangan salahkan perempuan saja jika suami-istri berpisah, perempuan merubah penampilan bahkan ada yang melepas hijab seperti kasus perceraian seorang influencer dengan seorang hafidz Qu'ran. 

To be honest I stand with her. Bukan porsi kita untuk menilai apalagi menghujat. Jangan melebelkan neraka pada orang lain. Jika pada akhirnya ia memilih jalan yang tidak disetujui orang lain itu mungkin karena apa yang sudah dituntut sudah dipenuhi tapi tak dihargai. Lalu apa salahnya untuk membaskan diri dan mencintai diri sendir dari awal lagi. Berhijab ataupun tidak semua perempuan sama.

Mrs Multitasking.

Wanita dituntut harus bisa semuanya apalagi jika ia seorang ibu rumah tangga, tapi kenyataannya sering tak dihargai, padahal jika masih diizinkan bekerja bisa saja mempunyai karir yang lebih bagus. Semua dilakukan karena keikhlasan dan cinta. Jangan karena tidak menghasilkan uang sendiri disebut "hanya" ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga sangat melelahkan, jangan hanya berpikir berada di rumah sepanjang waktu. Jadi ibu rumah tangga itu bukan pekerjaan yang mudah. 

Jadi jika sudah tidak semenarik wanita di luar sana jangan jadikan alasan untuk selingkuh. Laki-laki harus sadar kepuasan tidak akan pernah cukup jika tak dibarengi dengan rasa syukur. 

Jadi untuk semuanya saat ingin menikah jangan hanya perempuan saja yang dituntut harus bisa segalanya sebagai tanda sudah pantas menjadi isrri yang sempurna. Laki-lakipun juga perlu dituntut porsinya apakah sudah bisa menjadi suami yang mampu memberi rasa aman dan tanggung jawab.

Yang wanita benci bukan laki-laki tetapi budaya patriarki yang membuat wanita memiliki tuntutan lebih dan sempit pilihan. Pada dasarnya wanita penurut, jadi jika apa yang diwajibkam sudah dilakukan tetapi tidak ada apresiasi maka jika ada tuntutuan jangan dianggap sebagai sebuah pembangkangan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun