Mohon tunggu...
Mita
Mita Mohon Tunggu... Administrasi - -

Just share my thoughts

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tuntutan Beban Finansial sebagai "Sandwich Generation"

24 Desember 2019   15:40 Diperbarui: 25 Desember 2019   02:46 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak tahu makanan sandwich yaitu roti lapis yang berisi sayuran, daging, dan keju? Yaa 11-12 sama burger, enak dan mengenyangkan. Tapi bukan makanan yang akan saya bahas melainkan sandwich generation.

Sandwich generation adalah istilah yang dipakai merujuk pada generasi yang sudah berkeluarga namun tidak hanya menanggung kebutuhan biaya rumah tangganya sendiri, tapi juga menanggung kebutuhan orangtuanya. Karena berlapis-lapis dan terjepit pada dua tanggungan inilah maka disebut generasi sandwich.

Mereka yang termasuk generasi sandwich hidupnya terbilang cukup dilema. Satu sisi mereka sudah repot dengan biaya rumah tangga sendiri, tapi di sisi lain tidak mungkin meninggalkan orangtua begitu saja yang masih butuh bantuan finansial.

Sebenarnya jika sang anak memiliki kelebihan materi untuk menghidupi keluarga sendiri plus sembari membiayai orangtua, dirasa bukanlah suatu hal yang sulit. Yang sulit adalah ketika menghidupi rumah tangga sendiri saja pas-pasan, ditambah menanggung beban orangtua. Namun menanggung keuangan orangtua, pastilah sebagai seorang anak sudah tentu ikhlas menjalaninya walaupun kondisi sepertinya megap-megap.

Saya pernah membaca postingan di Quora mengenai seseorang yang berbagi cerita di mana ia menyesal telah menempatkan ibunya di panti jompo sampai akhir hayat ibunya. 

Ia terpaksa memilih panti jompo dengan alasan selain biaya dan juga kerepotan. Miris sekali memang, meskipun sang anak setiap bulan selalu menengok ibunya di panti jompo, akhirnya ia menyesal sejadi-jadinya setelah ibunya wafat.

Ilustrasi: mommiesdaily.com
Ilustrasi: mommiesdaily.com
Mendengar sekilas pasti langsung menilai anak tersebut durhaka, dan tak bisa balas budi orangtua. Saya pun juga tak bisa menghakimi jika belum mengalami, karena saya tidak tahu sesulit apa keadaannya. Sekalut apa sampai harus memutuskan hal tersebut. Ataukah mungkin agar ibunya lebih terurus dan bahagia karena bisa bersosialisasi dengan teman-teman barunya.

Pertanyaannya adalah mengapa orangtua bisa sampai bergantung sepenuhnya kepada sang anak? Alih-alih menyiapkan warisan, namun yang ada ikut dengan anak mereka. Alasannya mudah ditebak, karena orangtua tidak punya dana penunjang hari tua.

Mungkin kala orangtua dulunya bekerja sebagai pegawai, entah swasta atau negeri, setidaknya punya uang pensiun atau tabungan, namun jika awalnya orangtua bekerja di sebuah tempat di mana tempat mereka bekerja tidak membantu menyiapkan dana pensiun, ditambah orangtua yang tidak memiliki cukup tabungan masa tua, maka sudah pasti anak adalah tumpuan terakhir.

Selama berumah tangga, tabungan orangtua habis untuk keperluan anak. Untuk sekolah, untuk masuk perguruan tinggi, untuk menikahkan anak, dan semuanya habis untuk anak. Dan saat masuk usia senja, di mana tidak sanggup lagi bekerja, orangtua akan minta kepada anak.

Lebih dari separuh hidup mereka semunya dilakukan untuk anak, sekarang saatnya anak menunjukkan baktinya. Namun banyak anak yang hidupnya merasa terjebak. Mengenai hal ini, baiknya dibicarakan dan musyawarah pada keluarga dari semua anak wajib bantu orangtua.

Sebelum memasuki masa-masa pensiun, baiknya orangtua sedikit ancang-ancang atur keuangan untuk menabung. Jika suatu saat kondisi anak sedang benar-benar terjepit, setidaknya orangtua masih punya dana cadangan.

Siapapun yang sedang mengalami menjadi generasi sandwich adalah orang yang luar biasa. Luar biasa ikhlas dan luar biasa kaya. Karena hanya yang mampu yang bisa menjalani.

Mampu bukan berarti selalu dalam hal materi, mampu bisa berarti kebesaran jiwa. Tidak akan miskin orang yang membelanjakan hartanya untuk orangtua. Ini lebih baik ketimbang sudah berumah tangga, namun masih membebani orangtua.

Saya berpendapat seperti ini untuk kondisi orangtuanya yang memang benar-benar tidak mampu. Namun kembali lagi kepada individu yang menjalani.

Berbeda dengan orangtua zaman dulu, di mana ditinggal anak merantau namun masih bisa menghidupi diri sendiri di kampung walaupun sudah renta. Jika hidup di kampung mungkin masih ada kebun, ladang, atau sawah untuk digarap, lain halnya dengan orangtua yang tinggal di perkotaan.

Masa kerja mereka sudah habis. Sudah bukan usia produktif lagi, tak mungkin jika harus bekerja fisik. Selain tidak ada tempat tidak ada penerimaan. Ini kota bukan desa. Tidak ada ladang orang yang bisa digarap.

Jika istilah sandwich generation ditujukan untuk kondisi anak yang posisinya terjepit dan terbebani, lalu adakah untuk orangtua yang kondisinya terjepit dan terbebani juga oleh anak? Meskipun anak sudah berkeluarga, namun masih menjadi beban orangtua baik dari segi finansial ataupun tenaga.

Tanpa disadari anak membuat orangtua layaknya seperti baby sitter, padahal sudah setua itu dan tenaga sudah habis untuk kembali mengurus bayi dan anak kecil.

Jika mengatakan orangtua harus menyiapkan  dana untuk hari tua agar tidak membebani anak, maka sebelum menikah anak juga harus mempunyai kesiapan menjadi orangtua agar tidak membebani orangtua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun