Baik! Kumulai kisah ini dengan berpikir bebas bahwa tugas kuliah telah tiada dan final telah jauh melangkahi hariku—yah, walaupun hanya untuk semester ini. Hm, tebakan Anda mungkin benar, bahwa aku masih berstatus mahasiswa di sebuah perguruan tinggi dengan kadar temperamental mahasiswanya rata-rata tinggi dan sering menyebabkan bentrokan dengan atmosfer cukup tinggi (baca: panas). Perguruan tinggi itu bernama Universitas Negeri Makassar.
Baru saja aku menghadiri suatu musyawarah untuk kegiatan penyambutan Ramadhan. Nama kegiatannya ialah Penataran Seputar Ramadhan (untuk selengkapnya, lihat artikel sebelumnya, semoga Anda dapat berpartisipasi). Dalam kegiatan tersebut, peserta akan dibina dan diberikan tips bagaimana menghadapi bulan Ramadhan agar dapat mengeluarkan kemampuan maksimal dan optimal untuk meraih kebaikan dan pahala yang begitu besar terpampang dan terhampar di bulan yang penuh berkah tersebut.
Sebelum aku menulis kisah ini, banyak hal yang kutemui dalam perjalanan pulang ke “rumah”-ku setelah agenda musyawarah kubungkus pulang. Sembari mengayuh sepeda bekas yang sekitar beberapa bulan lalu kubeli di depan lapangan Matoanging, Makassar—kalau tidak salah, pikiranku melayang entah ke mana. Sekadar menikmati kesunyian malam dan berpikir untuk kehidupan masa depan. Terkadang pikiranku sedang membayangkan Madinah—karena aku ingin sekali kuliah di Universitas Islam Madinah, doakan kawan semoga terwujud.—, terkadang di rumah keluarga di Daya, Makassar, terkadang di Parepare kampung halaman tercinta, dan paling sering membayangkan berjuta kenikmatan di taman surga.
Banyak hal yang kutemui dalam kayuhan sepedaku. Namun satu hal yang belum terlupakan sama sekali! Wanita tepatnya. Yah benar, wanita, siapa lagi kalau bukan dia yang tercipta dari tulang rusuk sebelah kiri itu dengan paras yang memikat nan hati yang lemah gemulai.
Masih saja ada wanita yang keluar malam-malam tanpa disertai mahramnya. Ada yang bersepeda mendahuluiku dengan memakai celana yang kata orang disebut Hot Pants yang ketika dialihbahasakan berarti celana panas. Aku tak tahu, apakah benda tersebut pantas disebut celana atau kain lap dapur. Aku juga tak tahu, mengapa ada wanita yang mau memakai celana dengar kadar temperatur yang “panas” dan pendek super duper pendek.
Satu dari sekian banyak tanya dalam kepalaku, apakah ia tidak takut masuk angin atau minimal takut digigit nyamuk? Entahlah, toh saya tidak pernah memakai celana panas tersebut.
Celakanya, mata ini yang sedari tadi tenang menatap jalan, tiba-tiba terganggu dengan pemandangan panas sepanas benda yang ditatap. Astagfirullah, lalu kualihkan pandangan sejauh 180 derajat—kurang lebih—sesuai perintah Allah. Padahal kejadiannya hampir tengah malam loh!.
Ada yang lucu. Jangan pernah menundukkan pandangan ketika dalam keadaan dan situasi seperti di atas! Mengapa? Bukannya aku melarang Anda untuk menundukkan pandangan seperti perintah Allah. Namun ketika Anda memandang ke bawah maka justru Anda makin mantap menatap pusat benda yang belum pantas untuk Anda nikmati dan katanya “panas” itu.
Aku serius! Maka, menundukkan pandangan di sini mungkin berarti bahwa menjaga pandangan dari pemandangan yang belum pantas untuk dipandang—tahanlan kawan, pasti Anda akan memandangnya juga dalam keadaan yang halal, tapi nanti, intinya SABAR. Entah dengan cara menundukkan pandangankah atau mencari arah yang lain untuk menaruh mata agar tetap aman dari area terlarang, mungkin itu maksudnya.
Beberapa waktu kemudian, setelah wanita yang memakai kain yang sangat kekurangan itu mendahuluiku jauh di depan sana, pikiranku kembali melayang entah ke mana. Ia berpadu dengan mata menatap nanar sang aspal kering yang senantiasa sabar untuk dilalui. Sampailah aku di sebuah pasar mini (minimarket) yang buka 24 jam. Nama belakang bagian pasarnya ialah “mart”, nama belakang pasaran yang sedang merambah dan menjalar di setiap pelosok di Indonesia, mungkin mulai dari tumbuhnya pohon kelapa di Sabang sampai dengan ditebangnya sagu di Marauke, sekali lagi, itu mungkin, catat itu! Kuparkir sepedaku di area bebas pembayaran parkir—iyalah aku hanya ingin membeli barang sedikit, masa aku harus kena uang parkiran, lagi pula kendaraanku sepeda, kawan.
Kaki kanan melangkah masuk, di sambut musik disko tak karuan. Aku yakin, orang yang membuat musik jenis ini, khususnya yang terpaksa aku dengar ini—karena memang musik haram bagiku—adalah pemula dalam dunia per-disko-an! Ritme tidak teratur, nada acak-acakan, bas tak karuan, sangat jauh dari kebagusan. Tujuanku hanya satu, sebuah cairan putih kental dan pekat bernama lotion untuk menyenyakkan tidur dan mengenyahkan sang parasit bernama “nyamuk”. Di tengah pencarianku, ada lagi seorang wanita bermata sipit, berkulit kuning langsat—mungkin. Mungkin orang beretnis Tiong hua. Sekali lagi mungkin, dan sekali lagi catat itu!—masuk ke toko yang sama tempat aku berpijat. Tak kalah parah dengan wanita sebelumnya, wanita ini menggunakan celana yang tak kalah panasnya.