Mohon tunggu...
Muqoffi Abdur Rohman Alif
Muqoffi Abdur Rohman Alif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswa UIN STS Jambi fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama jurusan Aqidah Dan Filsafat Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dinamika Filsafat Pada Era Yunani Kuno dan Klasik

24 Desember 2024   01:07 Diperbarui: 24 Desember 2024   01:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sejarah perkembangannya, para ahli biasanya menjadikan Filsafat Yunani Kuno sebagai induk dari lahirnya Filsafat. Hal ini disebabkan karena barat dan dimensi intelektualitasnya selalu mengacu dan merujuk pada pikiran-pikiran Yunani.[1] Periode Filsafat Yunani Kuno menjadi bagian yang penting dalam Sejarah perkembangan Filsafat, sebab pada era ini terjadi transisi pola pikir manusia yang semula hanya berlandaskan pada Mitosentris bergeser menjadi Logosentris.[2] Pada masa ini para Filusuf generasi awal berhasil menggeser paradigma berpikir masyarakat yang awalnya mempercayai mitos-mitos, menjadi masyarakat yang lebih menggukan potensi akal yang mereka punya.

Masyarakat Yunani Kuno awalnya hanya mengandalkan pola pikir mitosentris dalam menyikapi dan menjelaskan fenomena alam yang mereka alami. Masyarakat Yunani waktu itu berpegang pada logika mitos yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Ketika terjadi gempa bumi misalnya, mereka beranggapan bahwa dewa bumi sedang menggoyangkan kepalanya. Namun ketika paradigma berpikir Filsafat diperkenalkan, fenomena alam yang terjadi tidak lagi dikaitkan dengan aktivitas dewa, melainkan sebuah aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.[3]

Transisi tersebut ditandai dengan peristiwa Thales (624-548 SM) yang mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu itu, pengetahuan mitologis berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales merupakan pertanyaan filsafat karena mempunyai bobot yang dalam sebagai sesuatu yang ultimate (bermakna dalam). Thales mempertanyakan tentang apa sebenarnya bahan penciptaan alam semesta ini? (What is the nature of the world stuff?). Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan hanya mengandalkan pengetahuan inderawi. Hanya Filsuf yang berusaha dan mampu untuk menjawabnya. Thales menjawab bahwa asas dari alam semesta adalah "air" (Water is the basic principle of the universe). Dalam pandangan Thales, air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai wujud. Kemudian silih berganti para filsuf memberikan jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing.[4]

Perubahan pola pikir tersebut kelihatannya sederhana, tetapi implikasinya tidak sederhana. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan kreatif sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian.[5] Maka sangatlah wajar bila Yunani kuno dianggap sebagai pintu masuk Filsafat kedalam kehidupan dan dunia Ilmu pengetahuan oleh para ahli.

Bettrand Russell (1946), dalam bukunya History of Western Philosophy, mengatakan bahwa munculnya filsafat di Yunani tersebut aadalah akibat dari kemahiran bangsa Yunani dalam merajut dan menyempurnakan peradaban besar lainnya pada saat itu, seperti Mesir dan Mesopotamia. Peradaban Yunani bisa dikatakan sukses menginspirasi peadaban lain untuk merebut peran perubahan ke arah gerakan pencerahan dan membangun peradaban yang agung dan luhur.[6]

Menurut Poedjawijatna bahwa ahli pikir yang berusaha mencari intisari alam melalui pikiran belaka itu yang tertua adalah terdapat di kota kecil Miletos, pada abad keenam sebelum masehi.[7] Beberapa tokoh filsafat yang hidup pada masa ini antara lain adalah Thales (624546 SM). Thales diberi gelar Bapak Filsafat karena dia orang yang mula-mula berfilsafat dan mempertanyakan apa sebenarnya asal-usul alam semesta ini?. Pertanyaan ini dijawab dengan pendekatan rasional, bukan pendekatan mitos dan kepercayaan. Thales mengatakan asal alam adalah air karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan benda padat, seperti es dan bumi ini juga berada di atas air.[8]

Anaximandros (610-540 S.M) mengatakan bahwa Arche is to Apeiron. Apeiron adalah sesuatu yang paling awal dan abadi. Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakikat alam semesta adalah bilangan. Demokritos (460-370 S.M) berpendapat hakikat alam semesta adalah atom. Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara. Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakikat alam semesta adalah api, dan dia berpendapat bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir. Dengan kata lain, segala yang ada senantiasa mengalami perubahan.[9]

Jika dicermati, objek pemikiran dari beberapa Filusuf di atas adalah tentang alam semesta. Filusuf di era ini juga sering dijuluki sebagai Filusuf Alam (Natural Philosopher) hal ini disebabkan gaya filsafat mereka berfokus memikirkan alam semesta (Cosmocentris).

Setelah berakhirnya masa para filsuf alam maka muncul masa transisi, yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi fokus utama, tetapi sudah mulai menjurus pada penyelidikan pada manusia.[10] Pada perkembangan selanjutnya, di samping pemikiran tentang alam, para ahli pikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan tentang hidup manusia di dunia. Dari titik tolak ini lahirlah Filsafat Moral atau Filsafat Sosial yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu Sosial.[11] beberapa filusuf yang muncul pada era ini adalah:

Pertama, Socrates lahir di athena (469 SM) dari bapak seorang juru pahat dan ibu seorang bidan. Ia amat cerdas pikirannya dan berpendidikan tinggi, tetapi konon kabar parasnya amat jelek. Ajaran Socrates dipusatkan kepada manusia.[12] Metode yang digunakan Socrates adalah Dialektik-Kritis. Proses Dialektik ini mengandung arti dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide. Dengan memakai metode Dialektik-Kritis ini Socrates berhasil mengalahkan kaum sofis dalam banyak perdebatan yang mereka lakukan.[13]

Kedua, Plato lahir di Athena tahun 427 SM dan hidup se-zaman dengan Socrates. Ia adalah salah seorang murid dan teman Socrates. Dalam beberapa pemikirannya ia memperkuat pendapat gurunya dalam menghadapi kaum sofis.[14] Sepeninggalan gurunya banyak buku yang ditulisnya. Ia aktif dalam pengembangan filsafat dengan mendirikan sekolah khusus, yang disebut "Academia". Konsep ketuhanan Plato berpijak pada konsep ide, yaitu suatu pandangan bahwa terdapat suatu dunia (dunia ide) di balik alam kenyataan, sebagai hakekat dari segala yang ada. Plato memandang dunia ide sebagai dunia kenyataan, Ide adalah realitas.[15]

Ketiga, Aristoteles ia dilahirkan di Stageira, yunani utara pada tahun 384 SM. Pada usia 17 ia dikirim ke Athena untuk belajar di akademia plato hingga plato meninggal. Beberapa lama ia mengajar di academia plato untuk mengajar logika dan retorika.[16] Dalam perkembangannya aristoteles dikenal sebagai pakar logika, sehingga logikanya disebut logika tradisioanal dan kemudian menjadi logika modern dan sampai sekarang terkenal dengan logika formal. Aristoteles juga percaya keberadaan akan adanya Tuhan, buktinya karena Tuhan maka kita bisa merasakan adanya gerak serta Aristoteles menganggap bahwasanya Tuhan itu berhubungan dengan dirinya sendiri.[17]

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam perjalannya, Filsafat pada awalnya dimulai pada era Yunani Kuno yang mana pada masa itu masyarakat berpegang pada mitos-mitos. Para Filusuf membawa pola pikir masyarakat pada perubahan dari Mitos berpindah kepada Logos. Awal mulanya, pemikiran filosofis para Filusuf hanya fokus pada kosmos atau alam semesta, dan pada perkembangannya, Filsafat mengalami fase transisi dari membahas makrokosmos (alam semesta) menjadi mikrokosmos (manusia). Masa ini menjadi pintu gerbang masuk dan berkembangannya dunia Ilmu Pengetahuan.

referensi:

[1] Johannis Siahaya, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Charista Press, 2013), halaman 32.

[2] Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, Cetakan Pertama (Bogor: IPB Press, 2016), halaman 27.

[3] Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, halaman 27.

[4] Saifullah Idris, Fuad Ramly, Dimensi Filsafat Ilmu Dalam Diskursus Integrasi Ilmu,Cetakan Pertama (Yogyakarta: Darussalam Publishing, 2016). halaman 51-52.

[5] Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, halaman 27.

[6] Faisal Emil, Dkk, Buku Ajar Filsafat Ilmu, halaman 7-8.

[7] Johannis Siahaya, Filsafat Ilmu, halaman 32.

[8] Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, halaman 28.

[9] Saifullah Idris, Dimensi Filsafat Ilmu Dalam Diskursus Integrasi Ilmu, halaman 52.

[10] Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, halaman 30.

[11] Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, halaman 30.

[12] Rahma Dona, Dkk, Sejarah Filsafat Ilmu Periode Klasik Dan Pertengahan, (Jurnal Pendidikan Tambusai, Volume 8, Nomor 2, Tahun 2024) halaman 91-92.

[13] Nurdin K, Hasriadi, Filsafat Ilmu, Cetakan I, (Palopo: LPK IAIN Palopo, 2020). halaman 67.

[14] Waris, Pengantar Filsafat, Cetakan Pertama, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2014). halaman 31.

[15] Rahma Dona, Dkk, Sejarah Filsafat Ilmu Periode Klasik Dan Pertengahan, halaman 92.

[16] Edi Sumanto, Filsafat Jilid I, (Bengkulu: Penerbit Vanda, 2019). halaman 92.

[17] Nurdin K, Hasriadi, Filsafat Ilmu, halaman 69-70.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun