Adalah tokoh dari Basrah bernama Hasan yang mewakili kelompok gerakan oposisi seperti ini. Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya, begitu pula para ulama dengan orientasi Sunni, dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Mereka yang terakhir inilah, yang disebut kaum Sufi (Shufi). Konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol dalam basa Arab (shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata ini jugalah muncul perkataan "Tasawuf".
Sejalan dengan perkembangannya, Tasawuf tidak lagi dipandang sebagai gerakan oposisi semata, tetapi secara sadar berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi. Hal ini menjadikan kutub Tassawuf menjadi khas dalam pemikiran dan bidang kajiannya. Tasawuf kemudian terkenal dengan topik kajiannya yang beriorentasi kebatinan. Berbeda dengan kaum Fiqih yang berorientasi pada lahiriah.
Di luar dari pertentangan itu, kaum sufi atau Tasawuf menegaskan bahwa kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batiniah (ta'wil) menjadi metode pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci maupun Hadts Nabi. Metode dimana pengungkapan ide dan ajaran di dalamnya sering menggunakan kata kiasan dan pelambang.
Berkaitan dengan ini, thariqah menjadi salah satu ciri khas kaum sufi. Di mana mereka memandang puncak keshalehan pribadi dapat tergambar dari pengalaman mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata melainkan perasaan pribadi yang mengalaminya. Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra'-Mi'raj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Pengalaman Nabi itulah yang berusaha ditiru oleh kaum sufi dengan olah batin yang ada pada ajaran Tasawuf. Karena itulah ajaran Tasawuf ini disebut juga sebagai ajaran akhlaq. Akhlaq yang hendak mereka wujudkan ialah tiruan akhlaq Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, "Berakhlaklah kamu semua dengan akhlaq Allah".
Filsafat (Al_Hikmah)
Filsafat, atau Falsafah atau Al_Hikmah merupakan disiplin ilmu tradisonal dalam islam yang paling banyak mendapat sorotan dari kalangan Muslim itu sendiri. Filsafat menjadi ilmu yang paling kontroversial di antara ilmu Fiqih, Tasawuf dan Ilmu Kalam sebab Filsafat dinilai paling sedikit dipahami tetapi paling banyak disalah artikan. Inilah penilaian yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid, seorang intelektual muslim dalam bukunya "Islam Doktrin dan Peradaban".
Secara sederhana, Filsafat menggariskan bidang kajiannya pada hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup dan lingkupnya seluas-luasnya. Oleh karena itu, Filsafat juga memandang perlu peranan logika serta penalaran secara penuh. Hampir sama dengan ilmu Kalam ataupun ilmu manthiq.
Meskipun begitu, filsafat merupakan disiplin keilmuan tradisional Islam yang berpangkal apada ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa kata Arab "falsafah" dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, "philosophia", yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata "falsafah" dalam bahasa Indonesia menjadi "filsafat".
Penjabaran istilah filsafat di atas memberikan kejelasan bahwa disiplin ilmu keislaman satu ini, banyak mengandung unsur-unsur pemikiran Yunani meskipun tetap memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran islam. Bahkan tidak sedikit pemikir Islam yang menggunakan filsafat sebagai argument penguat dalam islam, sebut saja Jahm bin Safwan, Ibn Rusyd dalam Fash Al-Maql menjelaskan perintah Allah untuk berfilsafat. Dijelaskannya, jika syari'ah dan filsafat dipisahkan merupakan sebuah kezaliman besar.
Jadi filsafat merupakan disiplin keilmuan islam yang menaruh orientasinya pada penalaran yang argumentatif yang bersandar pada sebab-sebab dan asal usul terdalam. Dari sini, seorang filsuf islam Ibnu Sina mengatakan bahwa filsafat adalah disiplin ilmu yang otonom yang perlu ditimbah oleh manusia sebab manusia dianugrahi akal oleh Allah.
Ke-empat disiplin keilmuan Islam di atas mempunyai sejarah perkembangan serta bidang kajian masing-masing, sehingga mempertentangkan ke-empatnya ataupun salah satu di antaranya menjadi kurang relevan. Meskipun tidak semua penafsiran dapat menerimanya.Â