Sayangnya, keadaan di lapangan tidak selalu sejalan dengan subtansi dari demokrasi partisipatoris. Kebanyakan komentar atau tweet justru tidak memberikan sumbangan pemikiran, tidak bernada membangun tetapi justru nada penghinaan yang sering muncul.
Kata-kata dan perilaku bullying pun sangat banyak bertebaran di linimasa Twitter dan media sosial lainnya. Selain itu, kata-kata yang tidak pantas juga sangat sering bertengger di linimasa media sosial. Bahkan sering kali kata-kata kasar itu ditujukan pada tokoh-tokoh publik.
Terlihat ada ketidak siapan dari warga net di Indonesia dalam berdemokrasi di dunia maya. Seolah etika berbicara di dalam dunia maya tidak diawasi oleh moralitas. Padahal maksud dunia maya yang terbebas dari ruang dan waktu itu tidak bermaksud terbebas dari etika dan moralitas sebagai warga negara dan sebagai manusia pada umumnya.
Memang sudah ada regulasi bermedia sosial di dalam UU ITE, namun kalau tidak diimbangi oleh kedewasaan warga net yang saya istilahkan dengan kesiapan warga net, maka UU itu percuma saja.
Demokrasi digital yang semestinya bermanfaat untuk pembangunan tidak akan  terwujud. Yang terlihat nantinya justru hanya penangkapan sana-sini atas dasar kasus bullying dan lain sebagainya.
Tentu ini tidak enak dilihat sebagai sebuah negara demokrasi. Pada akhirnya, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kesiapan dan kedewasaan warga net kita menjadi kunci utama dalam menyongsong demokrasi digital itu.
Tulisan ini pernah dimuat di tagar.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H