Mohon tunggu...
Rahmat Sularso Nh.
Rahmat Sularso Nh. Mohon Tunggu... Freeline -

Penulis dan Fotografer Lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

STUDI PERISTIWA

14 Oktober 2010   03:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:26 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


GUBUG LIAT (JOMBANG)

&

SANGGAR TEATER GENDHING (PALEMBANG)

GUBUG LIAT-REPORTASE | Giat Mimbar Teater Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 04 sampai dengan 10 Oktober 2010 di Solo Jawa Tengah ternyata juga dirasakan hingga di kawasan timur Pulau Jawa yakni di Provinsi Jawa Timur terletak di Kabupaten Jombang. Kabupaten Jombang sebagai kota kecil di Jawa Timur memang memiliki pertalian erat dengan Pulau Sumatra, khususnya tertuju pada kota Palembang, di Kabupaten Muara Enim. Kabupaten yang menjadi persimpangan beberapa sunai di Sumatera Selatan ini menjadi muara. Sehingga banyak sekali wilayah disana yang berawalan muara sebagai nama depannya.

Pagi mentari Jombang cerah kedatangan disambut suka cita grombolan yang berasal dari Kabupaten Muara Enim yang sebelumnya singgah beberapa hari di Solo. Menggedong gunungan tas yang tidak dipahami apakah itu yang membekali mereka hingga sampai di Jombang. Perbincangan kecil di bawah putar kipas reot yang berdesing sesak dengan kehangatan kopi. Lelah menyeraut mereka ketika merebahkan sebagian badan dengan merah kemaluan yang sebaian belum mengenal kawan Gubug Liat, dan sebagian merupakan perulangan kisah sebelumnya yang sudah berjumpa di tempo dulu.

Namun itu bukan soal sulit untuk dijawab. Layaknya balok es yang baru turun dari truk pengangkutanya, beriring dengan waktu semuanya itu kan mencair dan menyatu hingga disebut air. Perencanaan memang sudah direncanakan, namun tidak layaknya memugar sebuah gedung kerajaan yang harus membutuhkan kematangan dalam perencanaan dan berfikir sehingga menghasilkan bangunan yang elok dan menawan.

Perbincangan-perbincangan kecil terus saja terjadi seperti kudapan belaka yang disajikan oleh tuan rumah kepada tamunya. Dari perbincangan yang tidak mengarah dengan berbagai bumbu canda gurau kawan lama yang terhalang perjumpaannya. Wajar bila berbagai selengekan muncul diantara kami dan saling mengolok. Saat itu bak peristiwa pulang kampong di hari lebaran bagi sebagian besar dari kami. Tanpa disangka perencanaan telah terjalin untuk malam 10 Oktober 2010 mengadakan diskusi Gubug Liat dan Sanggar Teater Gendhing menyoal membangun komunitas, menjaga eksistensi, dan meningkatkan SDM penggiatnya melalui berbagai jalur komunitas yang di tempuh.

Rencana, memang sekedar rencana tapi manusia hanyalah objek dan melakukannya. Demikian pula dengan acara diskusi yang bukan hendak menyelenggarakan kegiatan yang mendatangkan para pakar, pemikir, atau mereka yang mengotak. Sehingga seperti polisi menggerebek targetannya tanpa ada pemberitahuan Ketua Sanggar Teater Gendhing mengajak berdiskusi di tengah malam. Buat mereka diskusi sudah menjadi sebuah kebutuhan dan dilakukan dengan rutin. Terlihat ketika gaung diskusi-diskusi !!! seraya dengan sigap membentuk posisi duduk bersila dan membentangkan jarak kenyamanan untuk jalannya diskusi.

Sebagian mengeluarkan senjata pamungkasnya yang tidak sembarangan di keluarkan dan diketahui semua orang. Sehingga itu menjadi kesemptan yang langka untuk di temukan kembali di waktu-waktu berikutnya. Aku yang menjendrali Gubug Liat pandang ranumku serentak terjaga. Memanggil kawananku untuk mengumpul dan berdiskusi.

Layaknya berdoa pada Tuhan yang selalu mengintip kita pada setiap celah dunia. Suasana khusuk tidak terdengar sorak-sorai kecerian mereka sebelumnya. Tiang senyum ku tinggikan menggelitik tanya apakah ini khusuk apa kantuk. Tapi biarlah, ku positifkan saja pikiranku. Mungkin saja mereka belum terbiasa menjumpai wajah Jawa Gubug Liat. Sehingga ragu untuk berkata. Pada saatnya akhir perlahan mengungkapkan pelbagai pengalaman pribadinya. Tentunya bukan prihal jatuh cinta pada hawa, melainkan memilih masuk pada komunitas kesenian dan kebudayaan yang mereka geluti.

Memanas seperti dalam tungku yang sedang di pangku bara. Dari lapisan sampai ke isinya memanas semuanya. Gelembung didih bemunculkan pertanda sudah siap untuk di seduhkan pada sebuah racikan. Jalannya diskusi kurang lebihnya seperi itu. Gelembung-gelembung lain bermunculan dengan saling menyahut dari memberika reaksi yang berbeda sebab mengenai racikan yang dipersiapkannya pun berbeda.

Sampai kopi hanya menyisahkan sarinya saja terus berjalan hingga hari baru telah kita masuki bersama yang sudah berjalan hitungan pertama jam dinding yang terpasang. Mengakhirin dengan catatan membaca menjadi sebuah kepentingan pribadi, menjadikan ilmu yang mencari uang dikemudian, serta membaca membuka gembok lapuk yang lama tidak dibuka.

Jombang, 13 Oktober 2010

Rahmat Sularso Nh. | Penggiat Gubug Liat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun