Suatu waktu di ruang tunggu bandara seorang bapak terheran-heran melihat kedekatan dua anak perempuan saya dengan suami. Keduanya berebut duduk di pangkuan bapaknya. Karena tidak ada yang mau mengalah, suami pun akhirnya memangku dua kakak beradik itu dan mendekapnya.
Bahkan yang nomor dua (adik) benar-benar tidak mau lepas barang sebentar, karena si anak sepertinya tahu kalau dalam penerbangan kali ini bapaknya tidak ikut terbang seperti biasanya. Memang suami menyusul kami dua pekan kemudian. Kembali ke cerita tentang bapak-bapak tadi. Beliau sangat terkesima dengan kesabaran dan ketelatenan suami menghadapi tingkah polah kedua putri kami.Â
"Kok, bisa dekat sekali putrinya sama ayahnya?"
"Iya Pak, ini dua-duanya dekat sekali sama saya", jawab suami.
"Kok bisa sih?" Dengan (masih) menampakkan wajah yang penuh keheranan.
Suami saya tertawa. "Ya bisa toh Pak, wong sama bapaknya."
"Loh, anak saya itu tidak ada satupun yang mau sama saya loh, Mas."
"Kok bisa begitu, Pak?
"Enggak tahu, anak saya itu empat, dua perempuan dan dua lagi laki-laki. Tapi enggak ada yang mau sama saya, dari kecil, maunya cuma sama ibunya saja. Kecuali kalau terpaksaa .. sekali, ibunya pas enggak ada gitu, baru mau sama saya. Itupun sama saya kayak sama orang lain lho, Mas. Dieemmm. Kalau saya tanya baru bersuara, kadang cuma geleng atau mengangguk. Makanya saya heran sekali, ini anak-anaknya kok bisa akrab banget sama Masnya, diapain Mas?"
Mungkin ada yang menggelitik dari obrolan bapak tadi dengan suami. Apalagi pada deret tanya "diapain Mas"? Yang pasti tidak perlu ke dukun minta jampi-jampi atau mantera-mantera tertentu yah, Pak. Barangkali resepnya pun cukuplah sederhana, kita bahas bersama-sama. Anak-anak bisa dekat sama bapaknya pun sebenarnya bukan perkara yang rumit. Tapi memang menjadi pemandangan yang langka di mata bapak-bapak lain yang tidak memiliki kedekatan dengan buah hatinya.
Tidak sedikit fakta yang kita temui di lingkungan kita dimana anak-anak yang lebih akrab dan dekat dengan ibunya dibanding dengan ayahnya. Ketika butuh apa-apa larinya ke ibu. Mau beli segala sesuatu, lari ke ibu. Minta uang, ke ibu. Ada PR dari sekolah, minta bantuan ibu, mengalami kesulitan dalam belajar , larinya juga ke ibu. Semuanya serba ibu. Apabila ibu menyuruh anak supaya bertanya atau minta ke ayah, kebanyakan mereka (anak-anak) justru berbalik arah, tidak mau. Alasannya: malu, takut, segan, dan lain-lain.Â
Mengapa anak merasa lebih nyaman dengan ibu?
Alasan yang dijadikan senjata oleh kaum bapak-bapak pada umumnya, pertama :karena ibu yang mengandung dan melahirkan anak jadi ya wajar saja kalau anak lebih dekat dengan ibu karena namanya saja ibu ya pasti memiliki naluri keibuan yang lebih besar dibanding bapak, kedua: karena ibu yang punya lebih banyak waktu untuk anak, ketiga: bapak memegang tanggung jawab penuh sebagai pencari nafkah, tak punya banyak kesempatan dan kelonggaran waktu bersama anak. Dan berbagai argumentasi lain yang dijadikan pembenaran dan menjadi sesuatu hal yang dianggap biasa, jika jalinan ketidakharmonisan antara anak dan ayah memang sudah umum terjadi seperti itu.
Maka tidak mengagetkan lagi kalau hubungan antara anak sama ayah ibarat dengan orang lain. Diliputi perasaan asing, kikuk, tidak akur, takut, malu dan sebagainya. Ketemu ayahnya seperti melihat strange people. Tentu saja situasi seperti ini tidak baik bagi perkembangan anak. Mau anak laki laki atau perempuan, memiliki jalinan kedekatan dengan ayah itu merupakan suatu keharusan. Tidak melulu anak hanya dekat dengan ibu, sosok ayah berperan besar pada tumbuh kembang anak, baik secara emosi maupun cara pandangnya.
Salah siapa?
Pertanyaan mengapa kok bisa tidak dekat dengan ayahnya, seharusnya bukan ditujukan kepada anak, melainkan pada si ayah sendiri, bagaimana bisa tidak dekat dengan sang anak? Karena anak akan merespon apa yang diajarkan atau ditanamkan padanya sejak ia dilahirkan. Anak akan dekat dengan ayahnya secara otomatis jika ayah sedari dini mau menjalin kedekatan, keakraban, dengan sering menggendong, bercanda, mengajak berbicara, memeluk, mendekap dan menunjukkan kasih sayangnya yang dalam kepada anak. Dan secara naluriah (spontan) anak pun akan mengikutinya. Anak merasa menjadi makhluk yang disayangi, dibutuhkan, diharapkan kehadirannya, dan dicintai oleh ayahnya.
Kesibukan seorang ayah bekerja mencari nafkah tidak bisa dijadikan dasar menjadikan hubungan ayah dan anak menjadi jauh, renggang. Seberapa pun sibuknya waktu jeda itu pasti ada, tidak mungkin kan orang bekerja nonstop 24 jam. Jadi faktor itu sepenuhnya ada pada sang ayah. Pasti ada cara bagaimana mengalokasikan waktu atau timing buat anak. Tidak harus panjang sampai berjam-jam, tiga puluh menit saja kalau dimanfaatkan fokus dan sungguh-sungguh akan memberikan efek yang sangat besar.Â
Kalau komunikasi dengan anak saja bisa dihitung dengan jari, tidak pernah menjalin kedekatan secara fisik, maupun verbal, cuek dengan keberadaan anak, atau sekali bertemu dengan anak yang ada cuma nyuruh dan membentak, ya pasti saja anak menjauh. Buat apa dekat dengan ayah yang killer, mungkin begitu pikir si anak. Dan bagaimana anak merasa nyaman bersanding dengan ayahnya, jika sikap ayahnya dingin dan tidak bersahabat. Kan begitu. Jadi jika anak ayah tidak mau lengket atau bahkan menangis keras atau sampai menjerit-jerit ketika diajak ayahnya, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa cukup lakukan intropeksi diri saja. Mengapa itu bisa terjadi.
Sebuah study terbaru dari Father Involvement Ressearch Alliance menemukan petunjuk bahwa emosi bayi yang dekat dengan ayah cenderung stabil. Bahkan, lebih percaya saat bayi itu tumbuh dewasa. Tidak heran, jika anak yang dekat dengan ayahnya itu juga menjadi lebih bersemangat mengeksplorasi potensi dirinya di alam merealisasikan ide maupun impian mereka. Hal ini terlihat pula dalam lingkungan pergaulan, anak yang dekat dengan ayah cenderung lebih mudah bersosialisasi dan punya banyak teman, karena dia dianggap menyenangkan.
Sebuah study yang lain juga menunjukkan kedekatan ayah pada anak memang terbukti bisa mendongkrak kecerdasan dan kesuksesan anak pada masa depan.
Ratusan penelitian dalam empat dasawarsa terakhir menemukan, ayah yang ikut membantu ibu mengasuh, menjaga, dan membesarkan anak, terbukti memiliki pengaruh kuat pada prestasi sekolah anak. Begitu pula kehadiran ayah, ternyata menentukan pula perkembangan kepribadian dan watak anak. Khususnya dalam lingkungan sosial. Fakta lain bahwa anak usia tiga tahun yang memiliki hubungan baik dan hangat dengan ayahnya ternyata memiliki IQ lebih tinggi dan lebih memiliki kemampuan memecahkan masalah dibanding teman sebayanya.Â
Ref: aktual.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H