"Buku apa lagi yang mau kamu ubah ending ceritanya?" ucapku pada Sena yang masih asyik menulis di sampul buku. Ia tak langsung menjawab. Aku melirik sebentar ke tulisan yang ia buat. Tulisannya terlihat kecil. Itu artinya, ia membuat cerita tambahan yang lebih panjang. Hmmm, seperti biasa, Sena hampir selalu punya ide ending cerita yang berbeda dari penulisnya. Kali ini, entah ending seperti lagi yang ia buat.
"Ini cerita keterlaluan. Masa iya tokoh utamanya mati? Harusnya setelah semua penderitaan yang dialami, ia akan hidup damai dengan keluarga barunya," jawab Sena dengan mata yang tak beralih dari sampul buku.
Aku tentu tak mengerti apa yang dikatakan Sena karena memang belum membaca buku tersebut. Kalaupun aku mau membacanya, biasanya Sena melarang. Ia baru mengizinkanku membacanya kalau ia sudah selesai menambahkan ending cerita versi dirinya. Katanya, agar aku tidak kecewa dengan ceritanya.
Di sampul terakhir buku itulah, Sena selama ini melancarkan aksinya membuat cerita tambahan agar sesuai keinginannya. Terkadang, kalau cerita yang ia buat terlalu panjang, ia sampai menuliskannya di sampul depan bagian belakangnya. Akibatnya, aku dan Sena kerap ditegur petugas perpustakaan karena dianggap mencoret-coret buku. Meski begitu, Sena tak pernah menghentikan kelakuannya sehingga aku yang memang sering menemaninya, juga mendapat teguran dari petugas di sini.
Sena selalu berkilah kepada petugas bahwa yang ia lakukan bukan mencoret-coret buku, melainkan menambahkan cerita agar lebih baik. Namun barangkali petugas itu juga malas membaca tulisan Sena sehingga dianggap hanya coret-coret tak karuan.
"Kalau mau mencoret buku, coret saja di bukumu sendiri. Jangan buku di perpustakaan ini!" kata petugas suatu ketika.
Sena tak menanggapi. Mungkin ia sudah bosan mendengar teguran petugas yang wajahnya lebih sering kusut dan tertidur jika tak banyak pengunjung. Aku juga diam. Aku hanya menjawab dalam hati, bahwa hampir semua buku Sena sudah ia "coret". Karena itu ia datang ke perpustakaan untuk mencari mangsa barunya. Sena dan aku sama-sama maniak pembaca buku. Tapi sebagai anak sekolahan, uang kami untuk membeli buku tentulah terbatas. Kemana lagi kalau bukan ke perpustakaan.
Meski begitu, petugas di sini tak bisa berbuat banyak. Mereka tak mungkin melarang kami untuk datang ke perpustakaan. Tanpa kehadiran kami, mereka akan tambah pusing karena harus memenuhi target kunjungan perpustakaan yang semakin tinggi sedangkan pengunjungnya semakin sedikit.
Aku sebenarnya sudah sering meminta Sena menghentikan kelakuannya dan menerima apa adanya ending cerita yang diberikan penulis. Aku juga termasuk orang yang tidak suka kalau buku dicoret-coret. Namun Sena keras kepala. Rasanya percuma menegur manusia ajaib satu ini. Selama bukan bukuku yang ia coret, ya sudahlah.
"Kalau kamu suka mengubah ending cerita orang lain, kenapa tidak membuat buku sendiri saja, Sen?"