Mohon tunggu...
Mohammad Munir
Mohammad Munir Mohon Tunggu... Administrasi - Goverment Employer

Berusaha berbuat baik setiap saat dan selagi sempat....

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tangan Kotor Dibalik Meja Hijau

12 Desember 2024   11:23 Diperbarui: 12 Desember 2024   11:50 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://osc.medcom.id/community/penegakan-hukum-yang-berintegritas-sebagai-penanganan-kasus-pidana-korupsi-1403

Tantangan serius soal penegakan hukum betul-betul tengah dihadapi oleh negara kita. Sederet informasi mengejutkan  seputar keterlibatan aparat penegak hukum dalam praktik korupsi dan mafia hukum tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam, namun juga menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi hukum itu sendiri meski sebenarnya fenomena ini sudah cukup lama terjadi.

Kasus terbaru yang terkuak tentang  mafia hukum di Mahkamah Agung (MA) menunjukkan betapa seriusnya korupsi dalam institusi peradilan. Salah satu pelaku,  mantan pejabat di MA  berinisial ZR, diduga terlibat sebagai makelar kasus dan  ditangkap karena memainkan peran penting dalam suap dan gratifikasi terkait vonis bebas Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya, serta persiapan kasasinya di MA. Ini hanya contoh kecil. Dalam kasus ini, ditemukan rencana suap senilai miliaran rupiah yang melibatkan pengacara dan hakim agung.

Kasus yang melibatkan mantan pejabat MA ini merupakan pengembangan dari tertangkapnya tiga hakim pengadilan tinggi Surabaya yang bersepakat memberikan keputusan bebas terhadap tersangka pembuhunan yang sempat viral dan menciderai rasa keadilan publik.

Dalam kasus yang melibatkan ZR, barang bukti yang ditemukan oleh Kejaksaan Agung terungkap skala besar dari dugaan tindak pidana korupsi.Temuan uang tunai dan logam mulia  senilai total hampir satu triliun membuka fakta bahwa telah terjadi permainan tangan - tangan kotor di balik meja hijau.

Kasus ini menggambarkan kompleksitas permasalahan yang sangat serius dan mendalam dalam sistem peradilan Indonesia, khususnya terkait independensi dan integritas lembaga. Praktik korupsi semacam ini tidak hanya mencoreng nama institusi hukum, tetapi juga meluluhlantakkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Ini juga  mengindikasikan adanya pola lama dalam korupsi di bidang yudisial, di mana eksistensi makelar kasus masih menjadi hantu yang sulit diberantas. Secara kolaboratif mereka  terus memanfaatkan jaringan untuk mempengaruhi putusan hukum demi keuntungan tertentu. Dahsyatnya godaaan materi, minimnya komitmen dan lemahnya integritas bertaut menjadi ancaman yang sangat serius.

Satu sisi kita memberikan apresiasi atas kinerja MA dengan langkah tegasnya yang seolah memberikan sejumput harapan untuk menjadi trigger dan momentum perbaikan menyeluruh. Namun jika di jajaran tertinggi institusi penegak hukum sudah terkoyak bahkan dilabeli sebagai sarang mafia, bagaimana dengan jajaran institusi dibawahnya? Bagaimana dengan institusi penegak hukum di daerah? Bukankan jamak kita dengar aroma korupsi di banyak kasus yang bahkan berujung kriminalisasi menimpa masyarakat?

Tentu kita juga belum lupa terhadap salah satu kasus yang mencoreng kredibilitas institusi hukum atas  dugaan pemerasan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagaimana kita bisa mempercayai lembaga ini jika pemimpinnya terlibat skandal? Lantas bagaimana akhir penyelesaian kasusnya hingga kini?  Masih hangat pula soal dugaan pemerasan yang terjadi pada masyarakat kelas bawah, seorang guru honorer yang berujung kriminalisasi dan lucunya setelah viral kemudian  justru dituntut bebas oleh jaksa?

Masalah ini tidak hanya melukai kepercayaan publik tetapi juga memunculkan pertanyaan apakah integritas masih memiliki tempat di sistem hukum kita?

Sepanjang tahun 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani ratusan kasus korupsi dengan jumlah tersangka lebih banyak. Kasus-kasus ini melibatkan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum seperti pejabat eselon di Aparatur Sipil Negara (ASN) dan sejumlah lembaga lainnya.

Statistik penegakan hukum yang melibatkan aparat penegak hukum sendiri cenderung  meningkat dan memunculkan asumsi bahwa sedang terjadi peningkatan peran serta masyarakat dan banyak elemen lainnya dalam bentuk pengawasan yang berimbas pada peningkatan kinerja aparat atau bisa jadi juga karena adanya keterbukaan informasi yang semakin baik sehingga berita tentang korupsi menjadi lebih mudah diakses.

Temuan ini pada satu sisi membuat kita serasa tak punya harapan (hopeless) atas runtuhnya tatanan hukum karena tangan kotor para pengadil/penegak hukum. Kita seperti sudah kehabisan cara dan teori.  Namun negara tak boleh menyerah kalah, upaya penguatan reformasi struktural, termasuk pengawasan lebih ketat terhadap para penegak hukum tanpa kecuali, transparansi putusan, dan pemberantasan jaringan mafia hukum sampai ke akar-akarnya wajib terus menjadi agenda utama.

Lantas apa yang bisa kita lakukan?

Kita tidak perlu menunggu perubahan besar untuk memulai langkah perbaikan. Pelajaran dari negara-negara lain menunjukkan bahwa kombinasi tindakan tegas, penguatan institusi menjadi independen dan pemberdayaan masyarakat adalah kunci untuk melawan korupsi. Mimpi tentang Indonesia yang bebas dari korupsi wajib terus ada. Banyak negara telah membuktikan bahwa reformasi institusi hukum dapat membawa perubahan nyata. Namun, semua ini tidak akan terwujud tanpa partisipasi aktif masyarakat.

Tanpa integritas dan komitmen nyata, hukum hanya menjadi  bahan permainan tanpa makna. Hukum yang tidak tegak akan menjadi biang keruntuhan negara karena hampir seluruh aspek pendukung kehidupan berbangsa selalu berkaitan dengan integritas institusi negara yang tercermin dari kepercayaan publik pada kondisi penegakan hukum dalam segala aspek.

Hakordia (Hari Anti Korupsi Sedunia) yang baru saja lewat dan diperingati secara masif dan gegap gempita dalam berbagai bentuk sebutlah sebagai salah satu upaya meneguhkan komitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi sekaligus proses penyadaran kolektif  terhadap masyarakat luas. Mudah- mudahan tidak sekadar menjadi even seremonial dan lips servis semata. Toh sebenarnya berbagai upaya serupa sudah lama dilakukan sampai seolah kehabisan cara.

Mari kita mulai dari diri sendiri, dengan menolak segala bentuk korupsi di lingkungan terdekat kita, dengan mulai berani berbicara, berani berbuat, dukung transparansi dan desak perubahan yang nyata di lingkungan penegak hukum.

Pernyataan bapak  presiden yang akan mengejar para koruptor sampai ke Antartika setidaknya menjadi janji yang akan terus kita ingat dan menjadi modal awal untuk memperbaharui komitmen, memberikan prioritas pada perbaikan atas terkoyaknya wajah penegakan hukum di negeri ini. Mari sama-sama kita tunggu gebrakan berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun