Mohon tunggu...
Mohammad Munir
Mohammad Munir Mohon Tunggu... Administrasi - Goverment Employer

Berusaha berbuat baik setiap saat dan selagi sempat....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema, Netralitas ASN Jelang Tahun Politik

25 Januari 2023   21:22 Diperbarui: 25 Januari 2023   21:27 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bkpsdmkku.id/2022/08/12/netralitas-asn-dalam-pemilu/

Netralitas menjadi kata yang paling populer bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) tiap menjelang tahun politik. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mengamanatkan bahwa ASN harus netral. Dalam aturan itu disebutkan bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN pun wajib tidak berpihak terhadap segala bentuk pengaruh dan kepentingan.

Mengapa ASN wajib berlaku netral? Bukan tanpa alasan, landasan etisnya adalah karena birokrasi merupakan institusi publik yang dibangun dan dibiayai oleh uang rakyat untuk melayani semua golongan, oleh karena itu aparat birokrasi wajib terlepas dari kepentingan politik maupun keberpihakan pada golongan tertentu.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) bahkan menyebut  bahwa  ketidaknetralan ASN akan sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat.

Netralitas birokrasi diperlukan untuk memastikan kepentingan negara dan publik secara keseluruhan berorientasi pada pelayanan, sehingga pihak manapun  kekuatan politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya.

Argumentasi  ini menegaskan bahwa birokrasi harus dijauhkan dari kepentingan  politik praktis. Intervensi dan keberpihakan ASN dapat dinilai sebagai patologi kronis yang merongrong marwah birokrasi. Meski para ahli menilai bahwa birokrasi adalah entitas yang mustahil netral dari ranah politik, namun setidaknya berbagai potensi pelanggaran harus dapat ditekan menjadi sekecil mungkin.

Dalam kontek pembinaan dan pengawasan rasanya tak kurang, pemerintah memberikan perhatian khusus agar  ASN  dapat bersikap netral dan bebas dari intervensi politik. Sejumlah surat edaran bahkan surat keputusan bersama (SKB) dari kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) rutin hadir setiap tahun menjelang tahun politik.

Terakhir SKB tentang Netralitas ASN yang baru dirilis bulan September 2022 lalu, tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.

SKB diharapkan menjadi pedoman untuk membangun sinergi, meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengawasan netralitas ASN serta mewujudkan kepastian hukum terhadap penanganan pelanggaran asas netralitas.

Termasuk juga bagaimana meminimalisasi praktik kesewenang-wenangan pejabat pembina kepegawaian dalam hal ini kepala daerah, sebagai akibat dari keberpihakan atau ketidakberpihakan ASN, sehingga dapat menjamin manajemen ASN dijalankan berlandaskan pertimbangan obyektif/ sistem merit.

Detil SKB mengatur upaya pembinaan agar ASN netral dan profesional demi terwujudnya pemilihan umum yang berkualitas.  Bahkan diuraikan secara gamblang tentang berbagai jenis pelanggaran disertai dengan rujukan pasal larangan dan  jenis sanksinya.

SKB juga mangamanahkan pembentukan satuan tugas pembinaan dan pengawasan, upaya pembinaan dan pengawasan juga harus dilakukan dengan melakukan ikrar bersama dan penandatanganan pakta integritas di lingkungan instansi pemerintah.

Namun sederet rambu dan  himbauan pemerintah kepada ASN agar tidak memihak sepertinya masih sulit terwujud. Terbukti, sederet pelanggaran yang menyangkut netralitas ASN dari tahun ke tahun masih saja terjadi. Bawaslu  memprediksi pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu Serentak 2024 akan tetap terjadi. Hal tersebut didasari oleh maraknya ASN yang melanggar aturan pada Pilkada 2020 lalu, meski sederet sanksi dari ringan hingga berat telah diterapkan.

Orientasi dan motifnyapun beragam, dari sisi calon kepala daerah tentu saja melekat kepentingan untuk memelihara dukungan, mendapatkan akses terhadap peran dan kedudukan ASN dan endingnya menang dalam kontestasi. Pun demikian bagi para calon anggota legislatif, melekat kepentingan yang sama. Sementara dari sisi ASN selalu ada yang tidak teguh dengan sikap netral menjadi tidak konsisten, tidak komitmen bahkan takut kehilangan jabatan atau sebaliknya mengharap akses pada jabatan jika kelak pihak yang disokong menang dalam pemilihan.

Dikutip dari laman Bawaslu bahwa berdasarkan data dari KASN, pada Pilkada 2020 terdapat 917 pelanggaran netralitas ASN. Terdiri dari 484 kasus memberikan dukungan kepada salah satu paslon di media sosial. Sedangkan 150 kasus menghadiri sosialisasi partai politik. Kemudian, 103 kasus melakukan pendekatan ke parpol. Sebanyak 110 kasus mendukung salah satu paslon, dan 70 kepala desa mendukung salah satu pasangan calon.

Informasi yang pernah di rilis oleh KASN pada tahun politik  2019 hingga 2020, jenis pelanggaran yang terjadi masih didominasi oleh kampanye/sosialisasi melalui media sosial (posting/komen/share/like), dengan pelanggaran terbanyak sebesar 33 persen dilakukan oleh Jabatan Pimpinan Tinggi di daerah. Sedangkan jika dilihat dari sisi motif, 70% pelanggaran dilakukan karena terpaksa/tekanan atasan, 20% karena alasan pribadi dan 10% karena motif peruntungan (Kajian Bawaslu 2017).

Tak bisa dipungkiri, jumlah ASN  yang cukup besar menjadi ceruk potensial ajang perebutan  insentif elektoral. Maka banyak bentuk  intervensi politik berpotensi terjadi jika para pihak yang berkompeten tidak mengantisipasinya secara memadai. Dan bila dibiarkan maka akan terjadi polarisasi birokrasi yang akan merusak orientasi pelayanan.

Mengapa pelanggaran selalu berulang terjadi?

Pertama, posisi ASN barangkali bisa dibilang cukup dilematis, tidak seperti TNI dan Polri, sebagai bagian dari warga negara, ASN  masih punya hak pilih. Sementara segala tindak tanduk dan perilaku terikat dengan ketentuan netrallitas. Karena hak pilih yang melekat tentu tidak memungkin bagi ASN sepenuhnya netral. Sikap netral ASN harus luruh di bilik suara, karena sebagai warga negara yang baik, harus menentukan hak pilih. Tidak berlebihan jika sampai ada usulan agar hak pilih ASN dicabut agar tidak terombang ambing dalam kepentingan politik.

Kedua, Masih banyak ASN yang berpikir pragmatis, menganggap  jenjang karir semata hanya ditentukan oleh pimpinan yang nota bene adalah pejabat politik. Kompetensi kerapkali dikalahkan oleh lobi dan pendekatan pribadi, kepintaran dikalahkan oleh faktor kedekatan. Maka layak jika bersandar kepada kekuatan politik menjadi pilihan.

Ketiga, Kesadaran kolektif terhadap netralitas ASN masih rendah, maka sosialisasi dan edukasi bagi ASN sendiri dan entitas/pemangku kepentingan politik harus dilakukan dengan lebih masif dan komprehensif.

Keempat, pengawasan terasa masih lemah. Karena keterbatasan sumberdaya, otoritas pengawasan yang ada di tangan Bawaslu kurang dapat berjalan efektif. Disamping itu punisment dirasakan kurang berimbang, hanya terasa ketat pada jajaran ASN, sementara bagi pihak yang melakukan intervensi/entitas politik,  sejauh ini masih terasa lemah.

Kepatuhan dan ketundukan ASN harus terus dibangun, karena ASN bukan manusia bebas. ASN adalah manusia yang terikat dengan peraturan  baik di dalam maupun di luar kedinasan. Karena terhadap semua jenis pelanggaran sudah disediakan konsekwensi logisnya. Bagi para ASN ....Yukkk kita jaga Netralitas  dan dan tetap profesional...!!!

Disclamer : Tulisan ini pernah di muat di Harian Radar Jember 6 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun