Menilai kebebasan pers semestinya berupa keberpihakan pers terhadap publik bukan menempatkan diri sebagai bagian integral dari kekuatan-kekuatan politik yang tengah bersaing. Begitu kata Bagir Manan, mantan ketua Dewan Pers.
Lebih lanjut Bagir mengatakan bahwa Kebebasan pers semestinya keberpihakan pada publik, bukan pers partisan,keberpihakan jadi masalah ketika pers menjadi partisan karena partisan tidak layak dalam pers bebas.
Pers partisan merendahkan diri sendiri, mengesampingkan kode etik, dan standar jurnalistik. Pengaruh politik terhadap pers meresahkan publik, ini faktor utama pers partisipan.
Pernyataan mantan ketua dewan pers ini, kian relevan dengan kondisi kekinian. Menjamurnya pers dengan berbagai kepentingan yang melatarbelakanginya menjadi pendorong persaingan pers yang tidak sehat. Menyadari penting dan efektivitas pers sebagai penggiring opini masyarakat membuat banyak pihak yang memanfaatkan media sebagai alat propaganda bahkan alat untuk mendiskreditkan dan membunuh karakter lawan.
Keadaan ini juga disokong oleh longgarnya regulasi yang mengatur syarat pendirian perusahaan pers. Lemahnya literasi media masyarakat dan minimnya kontrol dari institusi berwenang seperti Dewan Pers membuat performa pers kian jauh dari ideal.
Sehingga jamak dijumpai media baik cetak maupun online dengan berbagai platform yang jelas-jelas mewakili kepentingan pihak tertentu. Jagat maya juga dipenuhi dengan informasi dari media sesuai selera pemiliknya. Informasi yang mengarah kepada kebohongan/hoax berseliweran di sekeliling kita.
Media makin terbenam dalam arus kepentingan dan menjauhkan diri meninggalkan idealismenya sebagai pers yang seharusnya independen dan bebas dari hegemoni pemilik modal.
Karena efektivitas dan pengaruhnya yang begitu besar dalam membentuk opini publik, sering kali pers dimanfaatkan hanya untuk kepentingan sesaat, entah itu politisi, pengusaha bahkan negara sekalipun. Fenomena semakin terasa menjelang datangnya tahun politik, mulai dari pilpres, pilkada baik eksekutif maupun legislatif. Pers, mengambil peran besar menjadi alat kepentingan sekelompok elit baik yang tegah berkuasa maupun yang tengah dalam posisi oposan.
Keterbelahan media menjadi suguhan rutin sehari - hari. Tiap pindah channel televisi kita menemukan dua topik berita yang sering paradoks. Masing-masing pihak masif saling membangun citra dan karakter sambil rajin menguliti kekurangan lawan politik.
Membaca media cetak dan media online pun kurang lebih sama, sangat tampak pengaruh dan kecenderungan watak media dipengaruhi oleh pemiliknya. Media tidak saja menjadi alat kepentingan, media bahkan menyediakan dirinya sebagai konsultan politik demi merebut pengaruh masyarakat.
Keberpihakan pers tentu membuat segala informasi yang beredar di masyarakat cenderung bias. Keberpihakan dapat menyebabkan pers kehilangan akal sehat sehingga cenderung memunculkan informasi yang manipulatif, bahkan bisa menyembunyikan dan memelintir fakta.
Hampir semua sependapat bahwa pasca reformasi pers di Indonesia saat ini memiliki kebebasan yang nyaris absolut, tak kurang banyak juga pendapat yang menyebut bahwa kebebasan pers Indonesia sudah "kebablasan".
Atmosfer kebebasan ini tampaknya tidak benar-benar membuat pers kita menjadi dewasa. Kebebasan pers tidak otomatis menjadikan pers merdeka.
Pers bebas mendapatkan akses dan merilis apa saja yang dulu ketika jaman orde baru merupakan hal langka. Pers bebas melaporkan apa saja tanpa rasa khawatir dibredel. Namun untuk dikatakan merdeka, tampaknya jauh panggang dari api.
Ancaman terhadap kemerdekaan pers bukan hanya soal masih banyaknya kasus kekerasan terhadap awak media dari kalangan eksternal. Namun ancaman lebih gawat justru datang dari kalangan internal yakni para pemilik modal. Bebas dan merdeka adalah dua hal yang berbeda.
Pemilik modal boleh saja mempunyai perusahaan media tapi tentu tak boleh melakukan intervensi apalagi membelenggu awak media dengan cara menggiring dan menciptakan opini berdasarkan pesanan.
Hegemoni kepentingan pemilik modal, akan semakin merugikan masyarakat bila pemilik modal turut mempunyai agenda politik dan terlibat dalam dukung mendukung sehingga kepentingan politik jelas mewarnai media tersebut dan membuat media hanya menjadi alat dan corong kepentingan kelompok. Intinya kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari kata menggembirakan meskipun saat ini pers bermunculan secara bebas.
Di tingkat nasional, fenomena keberpihakan sangat tampak nyata adanya terutama dalam media televisi. Sering kita lihat televisi mengundang para tokoh yang sesuai dengan agenda politik sekaligus menjadi tokoh yang kontra dengan lawan politiknya.
Untuk menimbulkan kesan berimbang mereka juga mewawancarai tokoh yang kontra tapi dengan cara interview jarak jauh dengan durasi dan pembatasan yang tidak berimbang.
Di tingkat daerah keterbelahan media tampak lebih serius dengan munculnya banyak media yang nyata-nyata berplatform politik. Sebutan koran hijau atau koran merah menjadi hal biasa dan kian akrab dengan masyarakat lokal.
Masyarakat disuguhi dengan propaganda terhadap tokoh tertentu sekaligus informasi minor terhadap tokoh yang lain. Lebih parah lagi media lokal yang berafiliasi dengan partai oposisi biasanya fokus untuk mencari kelemahan dan kekurangan pemerintah daerah secara kurang berimbang sehingga sering kali menggelisahkan pembuat kebijakan.
Ketergantungan media daerah terhadap sumber dana pemerintah juga menjadi persoalan tersendiri. Agregasi dalam berbagai bentuk kerja sama juga dipandang sebagai penyebab pers kehilangan independensi. Akibatnya pers menjadi kehilangan wibawa
Idealnya media menjadi 'anjing penjaga' yang mengawasi kekuasaan, berkhidmat kepada kepentingan publik dan memastikan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi.
Diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat sampai pada fungsi pengawas kekuasaan. Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan mencakup lingkup yang cukup luas yang meliputi kegiatan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Seperti apa yang dikemukakan Schieck bahwa kehadiran media yang independen dapat mengarah pada dua peran; Pertama, menjadi "anjing penjaga" (watchdog) bagi pemerintah. Kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari.
Minimnya profesionalisme awak pers juga ikut memperparah keadaan. Ini juga diperlihatkan dari kondisi awak pers/wartawan yang miskin kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media sebagai lahan mencari keuntungan.
Demokrasi mengandung makna independensi dan otonomi. Dengan kata lain, kehidupan politik disangga oleh berbagai institusi yang memiliki tingkat kebebasan dan otonomi, namun saling bersinergi satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini kehadiran media pers merupakan kebutuhan mutlak. Namun keberadaan pers sebagai subsistem arena percaturan politik mengharuskan adanya landasan profesionalisme dan idealisme yang kuat. Tanpa profesionalisme, pers akan kehilangan kepercayaan masyarakat.
Pada akhirnya masyarakat/ publik pembaca juga harus berupaya meningkatkan pemahamannya tentang media (media literacy) sehingga dapat meningkatkan fungsi kontrol dan bermedia secara sehat dan kritis guna mendorong terciptanya pers yang sehat, independen dan bertanggungjawab terlebih menjelang datangnya tahun politik dalam waktu dekat (Munir)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI