Hampir semua  sependapat bahwa pasca reformasi  pers di Indonesia saat ini memiliki kebebasan yang nyaris absolut, tak kurang banyak juga  pendapat yang menyebut bahwa kebebasan pers Indonesia sudah "kebablasan".
Atmosfer kebebasan ini tampaknya tidak benar-benar membuat pers kita menjadi dewasa. Kebebasan pers tidak otomatis menjadikan pers merdeka.Â
Pers bebas mendapatkan akses dan merilis apa saja yang dulu ketika jaman orde baru merupakan hal langka. Pers bebas melaporkan apa saja tanpa rasa khawatir dibredel. Namun untuk dikatakan merdeka, tampaknya jauh panggang dari api.
Ancaman terhadap kemerdekaan pers bukan hanya soal masih banyaknya kasus kekerasan terhadap awak media dari kalangan eksternal. Namun ancaman lebih gawat justru datang dari kalangan internal yakni para pemilik modal. Bebas dan merdeka adalah dua hal yang berbeda.
Pemilik modal boleh saja mempunyai  perusahaan media tapi tentu tak boleh melakukan intervensi apalagi membelenggu awak media dengan cara menggiring dan menciptakan opini berdasarkan pesanan.Â
Hegemoni kepentingan pemilik modal, akan semakin merugikan masyarakat bila pemilik modal turut mempunyai agenda politik dan terlibat dalam dukung mendukung sehingga kepentingan politik jelas  mewarnai media tersebut dan membuat media hanya menjadi alat dan corong kepentingan kelompok. Intinya kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari kata menggembirakan meskipun saat ini pers bermunculan secara bebas.Â
Di tingkat nasional, fenomena keberpihakan sangat tampak nyata adanya terutama  dalam media televisi. Sering kita lihat televisi mengundang para tokoh yang sesuai dengan agenda politik sekaligus menjadi tokoh yang kontra dengan lawan politiknya.Â
Untuk menimbulkan kesan berimbang mereka juga mewawancarai tokoh yang kontra tapi dengan cara interview jarak jauh dengan durasi dan pembatasan yang tidak berimbang.
Di tingkat daerah keterbelahan media tampak lebih serius dengan munculnya banyak media yang nyata-nyata berplatform politik. Sebutan koran hijau atau koran merah menjadi hal biasa dan kian akrab dengan masyarakat lokal.Â
Masyarakat disuguhi dengan propaganda terhadap tokoh tertentu sekaligus informasi minor terhadap tokoh yang lain. Lebih parah lagi media lokal yang berafiliasi dengan partai oposisi biasanya fokus untuk mencari kelemahan dan kekurangan pemerintah daerah secara kurang berimbang sehingga sering kali menggelisahkan pembuat kebijakan.
Ketergantungan media daerah terhadap sumber dana pemerintah juga menjadi persoalan tersendiri. Agregasi dalam berbagai bentuk kerja sama juga dipandang sebagai penyebab pers kehilangan independensi. Akibatnya pers menjadi kehilangan wibawa