Di kelas-kelas akademis, kita belajar banyak tentang teoris. Ternyata, fenomena diluar nyintrik dan menarik, praktic justru tak seirama dengan teoris, selanjutnya retoris sering kali menjadi senjata dalam menyahihkannya setiap praktic.
Sering kita mendengar kalimat sakral, "Aku pancasilais, aku cinta tanah air, NKRI harga mati, dst." Seluruhnya tak ada yang salah dari ungkapan tersebut.
Masalahnya, orang-orang tidak butuh kalimat-kalimat sakral itu. Tetapi yang diharapkan adalah lakon yang merepresentasikan esensi ungkapan tersebut. Singkatnya, Indonesia gemah ripah loh jenawi, toto tentram kerto raharjo.
Wahnan 'ala wahnin (sengsara di atas sengsara). Kalimat ini yang kita imani ketika berbicara tentang perjuangan seorang ibu. Anehnya kalimat tersebut hanya menjadi bacaan yang mengalir begitu saja tanpa sejenak membayangkan bagaimana sengsaranya.
Tanpa menafikan bakti anak pada ibunya, seringkali ibu mendapat perlakuan macam pembantu. Padahal bangsa ini konon mengajarkan hormat pada manusia bernama ibu.
Wajar bila manusia, tua-muda, Indonesia berdesakan merebut sebagian bumi ibu pertiwi yang terhampar di Nusantara. Meskipun, kadang saat memiliki hanya ditelantarkannya.
Manusia-manusia saling sikat merebut kuasa. Sama-sama mengenakan "topeng" indah hingga disebutlah mereka anak bangsa terbaik. Ironinya ketika menguasa, prilaku anak bangsatlah yang dipertunjukkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H