"Sesekali, aku ingin bertemu dan bertanya langsung kepada Nabi karena pewaris-pewarisnya sudah tidak menyejukkan hati." Kahlil Gibran.
Tidak sedikit jamaah pengajian hari ini yang sudah merasa tak perlu lagi datang ke tempat-tempat majlis ta'lim untuk memperoleh pengetahuan anyar. Bukan karena tidak ada juru dakwah yang mensyiarkan pesan-pesan keagamaan di mimbar-mimbar tapi karena 'kepuasan' mereka terhadap informasi yang bersumber dari mesin pencari (baca: gogle, youtobe, dan sejenisnya).
Mungkinkah para juru dakwah sudah kehilangan 'taringnya' hingga nyaris tidak dipercaya? Atau apa karena gogle, youtobe dan lain-lain tidak berujar kasar sehingga lebih 'sexi' untuk dimintai fatwa tentang berbagai hal? Atau mungkin juga karena jawaban-jawaban gogle lebih 'meringakan'? Didukung dengan kebiasaan tangan masyarakat meleneal yang tak henti-hentinya menenteng smartphone kemanapun beranjak.
Lihat, walaupun masyarakat berduyun-duyun ke majlis-majlis tidak serta-merta ingin mengaji sebagaimana banyaknya jamaah pengajian yang berdesakan meninggikan tangannya hanya untuk membidik da'i dengan kamera gadgetnya. Lalu kemudian mereka buyar duluan meskipun tausiyah da'i belum usai. Dengan enteng sebagian dari mereka berkata,'Ah... sherching gogle aja.'
Membaca fenomeni ini, sangat tidak tepat ketika memposisikan jamaah sebagai obyek yang salah. Karena jamaah bebas dan sah-sah saja dalam menentukan pilihannya. Oleh karena itu para juru da'i harus introspeksi diri mengahadapi tipe-tipe masyarakat macam ini. Agar masyarakat yang haus akan tausiyah tidak malas meminta fatwa pada ahlinya (baca: ulama).
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada juru dakwah, saya setuju dengan usulan Muhammadiyah Amin selaku Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam terkait da'i yakni, Penceramah yang akan tampil di media elektronik, minimal memiliki empat wawasan; wawasan Al-Quran dan Al-Hadist, wawasan kebbangsaan, wawasan teknik berceramah, dan wawasan kekinian sehingga ceramahnya aktual.
Lemahnya empat wawasan tersebutlah yang kelak membuat masyarakat memandang juru dakwah dengan sebelah mata. Apalagi dakwah akhir-akhir ini dilakoni oleh orang-orang yang -muhon maaf- tulis baca Al-Qurannya amburadul. Jangan-jangan juru dakwah hari ini tidak ada bedanya dengan jamaah yakni, mesin pencari adalah sumber pengetahuan utamanya. Ini bisa dilihat dari kedangkalan pesan-pesan kegamaan yang disampaikan da'i akhir-akhir ini.
Maka atas dasar realita ini, sangat tepat langkah yang bakal dilakukan Cholil Nafis selaku Ketua Komisi Dakwah MUI untuk mengorbitkan standardisasi (ukuran) da'i. Sebab addinu nasihhatun fandhur idza akhadzta dina (agama adalah nasihat, maka perhatikan kepada siapa engkau mengambilnya). (Lih. Wasiyyatul musthafa).
Akhirnya, kita bisa berkata dunia dalam genggaman tetapi tidak lantas menggeser posisi da'i (ulama) Â lantaran ulama menjadi sumber konten bagi para pengguna internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H