Ketika Layar MenjadiPanglima
Media sosial (medsos) yang seharusnya menjadi ruang negosiasi kini beralih fungsi menjadi arena intimidasi.
Saya -bisa jadi Anda- tidak pernah tau kapan saat 'taring' medsos menemui titik tumpulnya? sudah terlalu sering kita dibuat olehnya makan tak enak tidurpun tak nyenyak! Kegaduhan pun beranak-pianak, belum usai kasus yang lalu medsos mempromotori serta prakarsai kasus baru. Dan tanpa dinyana medsos telah mengkoloni, menjarah, serta menguras energi fisik dan psikis pun juga waktu.
Didukung dengan fenomena beberapa -atau bahkan mayoritas- manusia yang gandrung, terbelenggu, tidak bisa move on dari makhluk yang menamai dirinya 'Online' dan selanjutnya mampu menjebak, mengantarkan manusia pada sebuah jeruji layar kaca hingga akhirnya tersandera. Konsekuwensinya, kita mudah begitu saja percaya, terpedaya terhadap satu isu yang sengaja diviralkan -juga meneggelamkan isu satunya- oleh individu semata untuk kepentingan koleganya. Parahnya, individu dan kolega macam tersebut tega mengorbankan ketenangan, kenyamanan masayarakat banyak.
Selain itu, kedangkalan sebagian pengguna medsos memfungsikan nalar kerisis -maksud saya- keritisnya dalam melakukan tabayyun (koreksi) telah berkontribusi vital terhadap meluasnya kabar liar (baca: hoax). Tragedi macam ini bisa dilihat dari marak dan gemarnya penggunan medsos melalului kelihaian jari-jemarinya men-share serta tidak segan-segan mengutuk, mengintimidasi, mem-bully pengguna lain yang tidak turut serta menyebarkan postingan tertentu, sekalipun isinya masih diragukan kesahihannya.
Meskipun sudah berbagai macam tindakan yang digencarkan oleh pemerintah dan gerakan yang dilakukan oleh individu-individu yang rindu akan kedamaian untuk melenyapkan hoax, menyumbat teror yang bergerilya dibelantara medsos, tampaknya belum bisa mengkerdilkan nyali budaya teror serta postingan bernada agitatif lantaran koreksi yang tidak diperhitungkan eksistensinya. Lebihi dari ini, semua pengguna medsos harus mengembalikan media cyber space pada fitrahnya yakni, menjadikan media online sebagai ruang negosiasi bukan sebagai arena intimidasi. Atau bila tidak, berarti anda setuju persekusi merajalela dini negeri ini!
Maka, ditengah gencarnya kondisi sosial yang menjadikan layar kaca bertindak sebagai 'panglima' sejatinya masyarakat telah kehilangan role model. Bukan tidak mungkin, tragedi pelarangan diskusi seperti yang menjerat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) terulang kembali bahkan lebih seram dan parah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H