Sosok Haji Rhoma Irama --Si Raja Dangdut itu, calon presiden tahun 2014 lalu, kini kembali jadi bahan perbincangan publik. Ia telah bulatkan tekad membuat gebrakan fenomenal. Banyak pihak menilai pesimis. Tapi juga sebaliknya, di pihak lain, menganggap sebagai keharusan yang kudu ditempuh.
Beberapa waktu lalu, ia deklarasikan partai baru --Partai Idaman namanya. Ia kenalkan partai itu sebagai Pancasilais, Cinta Indonesia dan Islam Rahmatan lil 'alamin. Selebihnya, publik belum banyak tahu siapa-siapa tokoh yang terlibat di dalamnya.
Soal nama 'Idaman' itu sendiri, memang terkesan aneh --sebagai nama sebuah partai politik. Nama itu, dirasa kurang 'nendang' --agak hambar. Ia kurang mewarisi dan mewakili 'aroma' genre idiologi politik tertentu. Kita terpaksa tidak cepat tahu, konsep nilai apa yang bakal diusungnya nanti.
Tapi, dalam dunia politik --'nama partai' kadang malah menipu. Antara nama dan prilaku politiknya, justru seringkali bertolak-belakang. Juga, kadang punya warisan nama besar --namun, prilakunya tampak kekanak-kanakan. Atau, mereka mewarisi nama tokoh besar, tapi prilakunya malah 'mengencingi' wong cilik.
Contohnya, sudah begitu banyak. Nama partai bukanlah letak jaminan mutunya. Bahkan, ada yang bilang, apapun corak warna idiologinya, semuanya sama saja. Bedanya, hanya dalam bentuk tampilan kata-kata. Belum banyak yang teruji dan konsisten.
Bahkan, setiap ada konflik partai --tak lama kemudian, biasanya disusul pendirian partai baru.
Nama-nama partai baru bermunculan --seperti jamur di musim penghujan. Mereka mengusung gagasan baru, dengan tokoh sentral baru pula. Seolah mereka memberi penegasan, bahwa mereka beda. Tak sekedar mengobral janji, tapi dengan bukti. Kira-kira semacam itulah --sebuah hembusan 'angin surga', yang kerapkali menyasar kuping masyarakat kita.
Partai baru, fenomenanya seperti 'panggung' hiburan. Ia dibangun untuk menampilkan sosok bintang idola. Menarik simpati kerumunan massa. Seperti biasa, mereka nyanyikan 'lagu-lagu' berthema perubahan. Namun, begitu pemilu selesai, panggung itu kembali sepi. Semuanya, kembali ke rumah masing-masing. Yang penting happy.
Ini sudah menjadi semacam tren, di kalangan elit kita. Benarkah demikian?
Sosok Bang Haji, kita tahu, pernah memadu tekad jadi calon presiden --tahun lalu. Jika dikatakan dirinya pernah kecewa, tentu iya. Meski, ia sendiri telah membantahnya. Ia sadar, tak mau lagi terkena 'jebakan batman' untuk kedua kalinya.
Keputusannya itu, boleh dibilang aksi nekad. Bagaimana tidak? Ia tidak seperti tokoh-tokoh politisi lain. Punya sumber finansial yang cukup. Atau, punya basis dukungan tokoh kultural dan lain sebagainya.
Memang, semua persyaratan di atas bisa diciptakan. Tapi, soal kepemimpinan politik --kiranya, merupakan hal lain yang berbeda. Hal yang sepele, bisa dianggap besar. Atau --kadang ada ungkapan seperti "kalau bisa diselesaikan dengan mudah, kenapa tidak dipersulit saja".
Yang terpenting lagi, publik kiranya perlu mengulik lebih dalam lagi. Apa sebenarnya yang melandasi dirinya melakukan aksi nekad itu? Kalau sekedar disampaikan demi memperjuangkan aspirasi umat, itu sudah sering kita dengar di mana-mana.
Atau, benarkah jika dirinya mendirikan parpol itu sebagai persiapan mengikuti kontes calon presiden lagi? Bagi orang awam, sebelum paparan itu disampaikan, mereka sudah tahu kesimpulannya. Ibarat kita masih mulai bercerita, mereka sudah bisa menebak akhir kisahnya.
Itu tak masalah, wajar saja. Undang-undang negeri ini menjamin hak tiap warganya. Siapa tahu, melalui 'rumah' barunya itu --ia benar-benar menjadi 'satria bergitar' tulen. Tak sekedar membuat 'pinggul' politik kita bergoyang. Tapi juga, benar-benar menjadi idaman parpol lain.
Yang jelas, dinamika politik kita ke depan tambah ramai. Paling tidak, akan ada unsur genre politik a la 'dangdut' Bang Haji yang bakal ikut mewarnai blantika politik kita. Bisa goyang ke kanan atau kiri, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H