“Eee, Marselina di manakah?”
“Marselina su’ tidak sekolah Bapa Guru, dia su’ kawin sama dia pu’ pacar.”
“Bah, ko’ ini bicara betul sudah, jangan baku tipu sama Bapa Guru.”
Saya terkejut mendengar jawaban itu. Saya tidak percaya, satu-satunya murid perempuan di kelas VIII sudah tidak sekolah gara-gara kawin.
Baru kemarin saya memeriksa tugasnya di kelas itu. Baru kemarin saya bercanda sama dia, baru kemarin saya kasih tahu bagaimana menjadi suster karena dia memiliki cita-cita menjadi suster, oleh kekagumannya melihat Suster yang bertugas di Puskesmas, tidak jauh dari sekolah.
Baru kemarin dia ada di kelas itu. Dia anak yang baik, tidak mungkin dia mau kawin pikirku. Terlebih mengingat perbedaan arti pacaran dalam pemahaman siswa kami dan masyarakat, dengan pemahaman kami guru dan para petugas dari berbagai bidang yang ada di distrik itu. Dalam pemahaman anak-anak dan juga masyarakat, pacaran identik dengan hubungan badan, hubungan seksual. Pemikiran ini timbul dari kebiasaan yang ada di tempat tersebut, bahwa dua orang yang berpacaran berpikir bahwa mereka sudah boleh melakukan hubungan badan. Saya tidak percaya bahwa Marselina, murid saya yang baik dan pintar mau diajak laki-laki untuk berhubungan badan.
Bukan sekali dua kali saya berbicara dengannya, bercerita dengannya, menanyakan cita-citanya, menanyakan makan apa tadi pagi, menanyakan ada sagukah di rumah. Saya berusaha menjalin hubungan yang sangat akrab dengannya, karena dia satu-satunya harapan saya dari kelas ini, untuk menjadi perempuan Papua yang luar biasa.
Saya menaruh harapan yang sangat besar, saya percaya sama dia.
“Dong pacaran di manakah?”
“Di belakang Bapa Guru, kita pulang sekolah.”
“Dia pu’ pacar namanya siapakah?”