Sembilan belas tahun sudah peristiwa itu terjadi. Media menyebut dengan Tragedi 911. Tanggal 11 bulan 9 Tahun 2001. Saat itu saya berusia 31 tahun. Sangat mengerikan.Â
Tragedi menggemparkan di Gedung Menara kembar Word Trade Centre di pusat kota New York Amerika Serikat benar-benar nyata meskipun lewat layer kaca. Saat itu semua berita televisi dan media massa, karena belum ada media sosial atau youtube, gencar tak henti-hentinya mewartakan kisah tersebut.Â
Peristiwa memilukan, mengenaskan, sedih dan bersimbah duka, membayangkan korban berjatuhan di dalam dan sekitarnya. Dari lubuk hati yang paling dalam terpanjatkan doa, doa-doa tulus bagi para korban, keluarga yang ditinggalkan, baik yang  teridentifikasi maupun yang hancur jasadnya, terpotong-potong bagian tubuhnya, juga yang tak ditemukan sama sekali.
Pandangan dan empati dunia terfokus ke satu titik dan peristiwa itu. Seiring dengan itu beredar  dengan cepat, pernyataan para pejabat penting dan pengamat, mengungkap tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi global tersebut. Bergulir banyak informasi dan spekulasi. Apapun, peristiwa tersebut menjadi tragedi kelam dalam sejarah manusia dan kemanusiaan yang tak termaafkan atas nama tata nilai dan kepentingan apapun. Kelak misteri dan rahasia akan segera terungkap, cepat atau lambat.
Tepat 11 September 2020, genap satu tahun usai peristiwa tersebut, saya berada di dekat lokasi, berdiri di titik kordinat dan masih menyaksikan garis pembatas sekitar puing dan reruntuhan di area gedung menara kembar WTC, New York, Amerika Serikat. Rasanya seperti mimpi.
Jauh sebelum berkesempatan melancong ke Amerika Serikat (AS), saya telah "menciptakan" bangunan Gedung Putih dalam pikiran saya, sehingga ia menjadi semacam obsesi. Saya teringat sebuah adagium: Setiap peristiwa pada awalnya dicipta dalam pikiran (The first creation is in our mind).Â
Bagi saya, AS adalah negara besar yang harus saya kunjungi, entah kapan dan dengan cara bagaimana, saya belum tahu. Yang pasti saya selalu berikhtiar mencari jalan agar obsesi saya itu terwujud. Dan tentu saja saya juga tidak lupa berdoa.
Ternyata, di suatu masa, Tuhan mendengar doa saya. Pada bulan September 2002 kaki saya benar-benar dibimbing-Nya untuk mengunjungi negeri Paman Sam itu. Jalan menuju ke sana pada mulanya tidak mudah, karena saya harus mengikuti seleksi yang sangat ketat untuk bersaing dengan para kandidat dari kawasan Asia Pasifik.Â
Ada 14 jatah kursi yang diperebutkan oleh para pemuda dari seluruh kawasan tersebut. Dan saya, bersama 2 orang peserta lainnya dari Indonesia, terpilih untuk mengikuti misi perdamaian, atau lebih jauh, misi pertukaran intelek - Membela Negeri di Sarang Adikuasa Amerika Serikat. Sebuah misi diplomasi publik, dimana peran warga menjadi bagian dari multitrack diplomacy, selain pemerintah, Â
Sebelumnya pun, hingga sekarang, sejak terjadi Tragedi WTC sampai adanya invasi tentara Amerika ke Irak dan adanya sejumlah isu perlakuan Amerika terhadap negara-negara Timur Tengah maupun negara berkembang, saya tetap kritis menyikapi berbagai langkah Amerika. Setelah terjadinya ledakan WTC dan mulai berlangsung invasi Amerika ke Irak, saya tak berhenti mengkritik atas kebijakan Presiden Bush terhadap negaranegara Islam dan upaya pemberantasan terorisme yang membabibuta dengan tuduhan tanpa dasar. Pernyataan saya yang paling keras dimuat di berbagai media dalam dan luar negeri.