Mohon tunggu...
Munawar Ali
Munawar Ali Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya hanya seorang dokter jaga puskesmas di sebuah kecamatan yang bernama Kembang Tanjong. Kecamatan ini berjarak sekitar 130 km dari ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lasi dan Ibu Hebatnya

22 Maret 2011   02:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:34 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tragis benar nasib Lasi Ramadhani –begitu ibu yang sangat mencintainya memberi nama padanya. Saat ini ia berusia 8 tahun, dan ia adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara. Kehidupannya benar-benar berbeda dengan anak-anak lain seusianya.

Jika anak-anak lain sedang mengikuti jadwal pelajaran di sekolahnya masing-masing, Lasi saat itu mungkin sedang membantu sang ibu menanam bayam di tanah tak subur dibelakang gubuknya –yang dipinjamkan oleh seorang tetangganya yang baik hati. Bila anak-anak lain di sabtu sore yang cerah -seperti sore ini- sedang menikmati jalan-jalan bersama ayah tercintanya, mungkin ia sudah berjalan kaki sejauh 3 kilometer lebih hanya untuk menjajakan sebongkol singkong yang tak sengaja tumbuh dibelakang tempat tinggalnya. Begitulah lasi melalui hari-hari bersama ibu dan sanak saudaranya.

Lasi menderita kelainan jantung –begitulah diagnosa seorang dokter yang berada di puskesmas serta seorang dokter lain yang bertugas di rumah sakit umum daerah Sigli. Dokter di Sigli telah menyerah dengan keadaan Lasi, dikarenakan masalah kekurangan alat dan tenaga, dokter di Rumah Sakit Sigli pun akhirnya merujuk Lasi ke Banda Aceh.

Sekitar setahun yang lalu –setelah ibunya mendengar anaknya didiagnosa menderita kelainan jantung oleh sang dokter- Lasi pun dibujuk oleh ibunya untuk menemui sang ayah –yang telah menceraikan ibunya dan tinggal bersama ibu tirinya. Ibunya punya keinginan yang sangat besar untuk mengobati Lasi. Tapi apa dikata, pada saat yang bersamaan ibunya hanya memiliki uang lima belas ribu rupiah –dan itu bahkan tak cukup untuk ongkos kendaraan umum mereka berdua berangkat ke Banda Aceh apalagi untuk biaya makan selama mereka berada disana, ibunya masih kekurangan uang sebanyak sepuluh ribu rupiah untuk bisa menumpang angkutan dari Padang Tiji menuju Rumah Sakit Umum Zainal Abidin di Banda Aceh, dan ibunya.. tak punya cukup nyali untuk menemui ayah Lasi setelah begitu banyak perlakuan buruk yang ia terima dari sang mantan suami.

Karena desakan dari si ibu tadi akhirnya Lasi -yang saat itu belum genap berumur 7 tahun- pun pergi menemui ayahnya. Sesampai ia ke rumah ayahnya ia pun mulai merajuk dan meminta uang sebanyak sepuluh ribu kepada ayahnya. Dia beralasan sakit, sering mengalami kejang, dan sesak nafas. Tak berapa lama, sang ayah yang mulai tak sabar menghadapi rengekan dari Lasi pun melakukan sesuatu yang tak akan pernah Lasi lupakan seumur hidupnya. “PLAKKKK..” sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Lasi, anak kecil yang belum genap berusia 7 tahun itupun terjungkal mencium tanah.

Sedih.. Tak menyangka ia pasti, bahwa ayah yang sangat ia kagumi itu ternyata bisa memperlakukannya sekasar itu. Sejak saat itu sakitnya pun bertambah hebat, dan Lasi.. tak pernah bicara lagi.

Saya bertemu dengannya kemarin. Tekad besar ibunya untuk kesembuhan Lasi telah membawa mereka berdua ke praktik saya. Saat saya bertemu dengannya pertama kali, kondisinya sangatlah pucat, tak ada sedikitpun keceriaan –yang biasanya tergambar diwajah anak seusianya yang lain, dengan bibir dan badan yang bergetar, dan bekas luka yang melebar di pipi kanannya. Saat saya mulai memeriksanya, bunyi jantungnya begitu bising -salah satu tanda adanya ketidakberesan dalam sirkulasi darahnya, mulutnya juga terkatup, tak ada suara yang keluar dari bibir mungilnya itu. Dengan pandangan kosong dia mulai memegang stetoskop saya -saat saya sedang mendengar bunyi jantungnya. Dari steteskop itu dia mulai meraba hidung dan pipi saya sembari tak berkata apa-apa. Saya jarang merasa terharu, tapi saat tangan kecil itu mulai membelai pipi saya, ada bertitik-titik air mata yang seakan terdesak hendak keluar dari kelopak mata saya.

Lasi.. dengan nama itulah bocah wanita itu tumbuh besar. Ibunya mulai bercerita tentang ikhwal kehidupannya. Dulunya mereka sekeluarga hidup dengan sangat rukun. Ibu dan ayahnya selama 15 tahun mencari peruntungan di Pekan Baru. Ayahnya adalah seorang pekerja lepas disebuah instansi di sana. Dari buah cinta mereka lahirlah Lasi dan ketiga saudaranya. Setelah Lima belas tahun berada di perantauan, mereka sekeluarga benar-benar merasa rindu akan tanah kelahiran, dan sekitar dua tahun yang lalu pulanglah mereka semua ke tanah kelahiran mereka, Padang Tiji.

Gelagat tak menyenangkan dari sang ayah mulai dirasakan oleh ibunya tatkala kendaraan sewaan yang mereka tumpangi –saat mudik itu- mulai melewati tanah kelahiran mereka. Dengan dalih ada kepentingan yang mendesak, sang ayah mulai memacu mobil itu sampai menuju pedalaman Lamtamot. Sang istri yang mulai gelisah bertanya kepada suaminya, kemana mereka hendak pergi? Suaminya hanya diam dan terus memacu kendaraan itu ke daerah berbatu dan tak beraspal. Tak berapa lama mobil berhenti, sang ayah turun dan menyuruh semua anggota keluarganya juga untuk ikut turun. Sang ibu yang gelisah mulai menangis, tak berapa lama pukulan dan tendangan pun mulai mendarat di badan sang ibu dan anak-anaknya. Hari itu ayahnya menceraikan ibunya, dan meninggalkan sang istri bersama keempat orang anak-anak itu saling berpelukan, tepat dipedalaman hutan Lamtamot.

Entah dengan cara seperti apa –Lasi, ibu dan saudara-saudaranya- akhirnya bisa pulang kembali ke Padang Tiji hingga akhirnya bertemu dengan saya. Hari ini mereka tinggal berlima di sebuah gubuk yang bahkan tak berdinding. Sehari-harinya sang ibu menanam bayam dan memetik kangkung untuk dijual ke pasar dan menghidupi semua buah hatinya. Ayahnya sudah bertahun tak menafkahi mereka lagi.

“Apa ibu sanggup membeli beras untuk diri ibu dan anak-anak?”, tanya saya pada ibunya disela-sela percakapan kami.

Jawab ibunya, “Alhamdulillah kepala desa saya sangat baik hati, meskipun kami belum memiliki Kartu Keluarga tapi pak keuchik –sebuah istilah untuk kepala desa di Aceh- selalu memberikan beras kepada kami sekeluarga”.

“Lantas.. untuk ikan dan lauk-pauknya bagaimana,bu?” tanya saya lagi.

“kami sekeluarga sudah lama tidak makan ikan, pak dokter. Bahkan kami tidak pernah bermimpi untuk bisa makan ikan. Biasanya kami mencampur bumbu dari mie instan kedalam kedalam nasi yang kami sekeluarga makan, karena dengan begitulah nasi akan lebih berasa. Alhamdulillah juga anak-anak tidak rewel dan begitu mengerti dengan keadaan saya. Jika saya membeli ikan untuk lauk maka saya tidak akan bisa menyekolahkan abang tertua Lasi yang sekarang duduk dikelas dua SMP. Tekatnya sangat besar untuk sekolah, dan saya akan melakukan apapun untuk keberhasilannya”, ucap ibu Lasi panjang lebar.

Pasti masih ada begitu banyak kisah yang ingin diceritakan oleh sang ibu itu kepada saya, tapi saya takut.. takut jika setelah mendengar begitu banyak cerita mereka tapi saya tak bisa berbuat apa-apa setelahnya. Saya juga malu, jika dalam umur yang sudah setua ini ternyata saya tak sedewasa Lasi dan sanak saudaranya dalam merasakan dan menikmati susahnya hidup.

Ibu.. Tak ada yang bisa menggantikan cinta kalian kepada kami -anak-anak kalian, tidak seorang ayah, tidak juga jika semua air laut didunia ini dijadikan tinta untuk merangkai puji-pujian untuk kalian.

Dan kita semua juga harus belajar dari seorang Lasi, yang meskipun sakit-sakitan tapi tak pernah berkeluh kesah, apalagi merengek-rengek minta dibelikan mainan dan baju baru seperti anak-anak yang lain.Yang terbiasa hidup apa adanya dan tak pernah bermimpi meminta lebih.

Kelak.. jika kita mulai memegang garpu dan pisau sebelum hendak memotong sekerat steak lezat yang sudah terhidang -di depan mata kita, ingat-ingatlah seorang anak yang bernama Lasi. Seorang anak sakit-sakitan yang sudah lama benar tak merasakan lezatnya daging segar yang bernama “ikan”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun