Pandemi Covid-19 telah menggoyang berbagai sektor kehidupan. Tidak hanya sektor kesehatan yang kalang kabut, namun berbagai sektor lainnya juga mendapatkan dampak negatinya. Beruntung, pandemi ini sedikit demi sedikit mulai teratasi. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memulihkan kehidupan masyarakat.
Di sektor moneter dan keuangan ada Bank Indonesia dengan kebijakan makroprudensial yang mendorong pemulihan ekonomi secara cepat dan tepat. Kebijakan makroprudensial yang disinergikan bersama dengan kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan regulasi mikroprudensial telah memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat.
Apa itu Kebijakan Makroprudensial?
Kebijakan makroprudensial adalah serangkaian kebijakan yang dibuat dan dijalankan oleh bank sentral (dalam hal ini Bank Indonesia) untuk mengatur situasi sistem keuangan nasional. Dengan kebijakan ini diharapkan dapat mencegah instabilitas sistem keuangan yang bisa berdampak sistemik serta meningkatkan kualitas fungsi intermediasi perbankan.
Kebijakan makroprudensial berorientasi pada sistem dan bertujuan melihat sistem keuangan secara keseluruhan melalui pendekatan yang bersifat top-down. Kebijakan yang diambil didasarkan pada hasil analisis secara komprehensif terhadap kondisi makroekonomi dan dampaknya pada seluruh risiko dalam sistem keuangan.
Kebijakan makroprudensial dengan pendekatan top-down (atas-bawah) dapat melengkapi kebijakan mikroprudensial yang difokuskan pada pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) melalui analisis yang lebih mendalam atas risiko institusi keuangan secara individual.
Instrumen Kebijakan Makroprudensial Bank IndonesiaÂ
Melalui sifatnya yang countercyclical atau menjaga kestabilan ekonomi, kebijakan makroprudensial dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi ekonomi dan keuangan masyarakat. Hal inilah yang membuat kebijakan makroprudensial menjadi efektif dalam mempercepat pemulihan ekonomi khususnya pada masa pandemi.
Dikutip dari situs resmi BI, ada 5 instrumen kebijakan makroprudensial yang diterapkan oleh Bank Indonesia. Instrumen tersebut adalah sebagai berikut :Â
1. Countercyclical Buffer
Biasanya penyaluran kredit perbankan cenderung meningkat saat ekonomi membaik dan melambat saat ekonomi sedang terpuruk. Â Kondisi ini pastinya bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu diterapkanlah kebijakan Countercyclical Buffer (CCB) sebagai salah satu instrumen kebijakan makroprudensial.
Kebijakan Countercyclical Buffer (CCB) ini paling sering diterapkan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memupuk ketahanan modal pada saat ekonomi sedang membaik dan memanfaatkan cadangan modal pada saat ekonomi menurun. Teknisnya, setiap bank wajib menambah modal saat ekonomi sedang mengalami peningkatan supaya nanti bisa digunakan kala menghadapi kemunduran ekonomi.
Besaran tambahan modal bank atau yang disebut dengan BCC akan dilakukan evaluasi berkala setidaknya sekali dalam enam bulan oleh BI. Kebijakan ini tidak terpisahkan dari ketentuan permodalan perbankan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
2. Rasio Loan to Value atau Financing to Value
Rasio Loan to Value (LTV) atau Financing to Value (FTV) merupakan kebijakan makroprudensial yang bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik yang berasal dari peningkatan harga properti. LTV atau FTV ini biasanya ditujukan untuk kredit kendaraan bermotor dan kredit kepemilikan rumah.
Besaran rasio kebijakannya menentukan besaran uang muka dan kredit yang disalurkan. Sebuah kebijakan LTV dan FTV dikatakan longgar jika rasio keduanya mendekati 100%. Sebaliknya, kebijakan LTV dan FTV disebut ketat jika rasio keduanya kian kecil dan mendekati ke arah 0%.
Sederhananya, di bawah kebijakan LTV dan FTV rasio persen longgar, masyarakat bisa mendapatkan kredit kendaraan atau rumah hanya dengan membayar uang muka yang paling rendah. Bahkan jika rasionya mencapai 100% tidak perlu membayar uang muka untuk kreditnya. Kalau rasionya kecil alias ketat, uang muka yang dibayarkan akan menjadi lebih banyak.
Kebijakan LTV dan FTV ini diharapkan bisa meningkatkan permintaan kendaraan dan properti, yang nantinya juga berdampak ke pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
3. Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM)
RIM atau Rasio Intermediasi Makroprudensial merupakan kebijakan yang ditujukan untuk menilai kemampuan kredit perbankan. RIM dapat menjadi perluasan dari rasio pinjaman terhadap pendanaan, yang disebut Loan to Funding Ratio (LFR).
Saat ini BI telah menetapkan target angka RIM 84% hingga 94 untuk perbankan. Jika RIM suatu bank di bawah 84%, maka penyaluran kredit bank tersebut dapat dikatakan belum maksimal. Sebaliknya, jika RIM hampir mencapai angka 94%, atau malah lebih dari itu, maka harus menghentikan penyaluran kreditnya dan fokus mencari Dana Pihak Ketiga  saja.
BI memberlakukan kebijakan ini supaya terjadi keseimbangan di antara semua bank. Jangan sampai ada rasa ketidakadilan antar bank sehingga mengganggu kestabilan sistem keuangan nasional.
4. Penyangga Likuiditas Makroprudensial
Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) adalah cadangan likuiditas minimum yang dirupakan dalam bentuk rupiah dan wajib dirawat oleh bank dalam bentuk surat berharga. PLM dapat digunakan dalam  operasi moneter yang besarannya ditentukan oleh BI dengan mengambil persentase tertentu dari DPK.
Keunggulan dari PLM adalah fitur fleksibilitas didalamnya yang membuat surat berharga dalam kondisi tertentu dapat digunakan untuk transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam Operasi Pasar Terbuka. Dengan kebijakan Makroprudensial PLM, BI berharap bisa mengatasi permasalahan prosiklikalitas likuiditas serta menjadi instrumen makroprudensial berbasis likuiditas yang berlaku untuk seluruh bank.
5. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek
Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek atau PLJP merupakan salah satu bentuk pinjaman dari BI kepada bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek. Yang dimaksud dengan Kesulitan likuiditas jangka pendek disini adalah keadaan di mana dana yang masuk ke Bank dalam nilai rupiah arusnya lebih kecil dibandingkan dengan arus dana yang keluar. Alhasil, kondisi ini membuat bank jadi tidak dapat memenuhi kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM).
Sebagai langkah antisipatif dalam menjaga stabiliitas ekonomi serta sistem keuangan nasional di tengah tekanan dampak pandemi COVID-19, Bank Indonesia menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang PLJP. Dengan penyempurnaan ini, proses pemberian PLJP dapat berlangsung lebih cepat dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik.
Melihat berbagai upaya konkrit yang terus dilakukan pemerintah, salah satunya lewat Bank Indonesia dengan kebijakan makroprudensialnya, ekonomi Indonesia pasti dapat segera pulih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H