#Seri Membangun Ketahanan Energi Nasional
Memanfaatkan sesuatu yang jumlahnya terbatas dan begitu bernilai adalah dengan cara yang sangat hati-hati agar setiap tetes dari benda terdapat terjamin didapatkannya manfaat secara optimum. Minyak dan gas bumi Indonesia adalah salah satu sumber daya alam Indonesia yang terbatas jumlahnya dan begitu bernilai. Cara kita mengelolanya harus selalu terkonfirmasi didapatkannya manfaatnya secara optimum. Bahkan bentuk pengelolaannya diatur secara spesifik dan tidak main-main definisi bentuk pengelolaan tersebut dicantumkan dalam UUD 1945 Pasal 33, konstitusi negara ini yang menjadi sumber dan rujukan untuk seluruh kebijakan. Bentuk pengelolaan yang ditentukan adalah dengan ‘Penguasaan Negara’ dan dengan satu tujuan spesifik dalam pemanfaatanya yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga jaminan didapatkannya manfaat secara optimum adalah jelas manfaat tersebut untuk rakyat Indonesia. Bukan rakyat orang perorangan karena tujuan pengelolaan dengan Penguasaan Negara adalah menjamin dicapainya keadilan sosial. Dilindunginya rakyat yang lemah yang tidak memiliki kapital.
Dalam upaya optimasi manfaat tersebut, di koridor Ketahanan Energi pemanfaatan minyak dan gas bumi harus juga menjamin adanya pemenuhan kebutuhan saat ini dan juga untuk masa depan. Ketahanan energi yang berkelanjutan. Dalam menciptakan hal tersebut, salah satu strategi yang harus ditentukan adalah pengelolaan atas pendapatan kegiatan pengelolaan minyak dan gas bumi secara cerdas. Di banyak negara, pengelolaan pendapatan migas ini dilakukan dengan berorientasi ke masa depan dengan adanya petroleum fund atau sejenisnya.
Norwegia sebagai salah satu negara dengan cerita sukses dalam pembangunan National Oil Company-nya yaitu Statoil dengan semangat kebangsaan dan keyakinan untuk kemandirian energi, serta kesukses dalam transformasi struktur kelembagaan pengelolaan migasnya menerapkan skema berupa Petroleum Fund. Kebijakan ini diatur dengan Government Petroleum Act No. 36. Bentuk skema pengelolaan dana ini yaitu seluruh pendapatan hasil migas termasuk pengembalian dari investasi masuk ke dalam Petroleum Fund. Dana ini dikelola oleh Kementerian Keuangan dan delegasikan pada Norges Bank dalam pengelolaannya. Untuk kebutuhan APBN setiap tahunnya dilakukannya transfer dalam jumlah tertentu yang harus disetujui oleh parlemen (Storling). Bagaimana dana tersebut dikelola, bentuk audit, pelaporan dan lainnya semua diatur melalui regulasi. Dengan cara ini negara membangun suatu pundi dana dari Migas yang akan dimanfaatkan secara terkendali untuk saat ini dan untuk kebutuhan di masa depan.
Berbeda dengan Norwegia, Timor Leste sebagai negara muda juga menerapkan skema pengelolaan hasil pendapatan migasnya dengan bentuk Petroleum Fund. Skema ini diterapkan pada tahun 2005. Seluruh pendapatan migas masuk ke dalam Petroleum Fund dan dalam pemanfaatannya. Timor Leste menerapkan kebijakan berupa Sustainable Income, yaitu bahwa dalam pemanfaatan dana tersebut hanya dilakukan dalam jumlah tertentu dan hanya berasal dari pendapatan pengelolaan dana Migas tersebut. Sehingga dana yang dikeluarkan untuk kebutuhan APBN nya tidak boleh menggerus dana pokoknya. Secara sederhana hanya memanfaatkan semacam ‘bunga’ dari pengelolaan dana Migasnya. Pengelolaan dana ini dilakukan oleh kementerian keuangannya dengan proses audit per tiga bulanan dan pelaporan tahunan oleh auditor independen. Untuk pengelolaan dana tersebut, Timor Leste melakukan investasi di US Government Securities dengan pendapatan per tahun 4,4%. Dan kebijakan sustainable income di batas 3%. Bentuk pengelolaan ini dengan tujuan untuk menjamin generasi mendatang akan memiliki kemampuan untuk penyediaan energi dan menerima manfaat dari sumber daya alam yang dimilikinya.
Berbeda lagi dengan Thailand yang merupakan negara dengan impor minyak. Pada tahun 1973 dengan adanya krisis harga minyak yang berdampak pada kelangkaan minyak dalam negeri. Maka untuk mencegah krisis itu terjadi maka diterapkan Oil Shortage Prevention Act tahun 1973. Sumber pendanaan ini berasal dari patungan para trader minyak dengan besaran tertentu dan dilakkan pengembalian dalam periode tertentu. Kemudian di tahun 1978 dengan kondisi kenaikan harga minyak dan perbedaan nilai tukar mata uang Baht, diterapkan Oil Stabilization Fund yang idenya untuk pengelolaan kondisi Windfall Profit dari para trader minyak akibat perbedaan nilai mata uang baht. Dan pada tahun 1979 kedua Fund tersebut dilakukan penggabungan menjadi Oil Fund. Pemanfaatan dana tersebut untuk menjaga stabilitas dari harga minyak di dalam negeri, dan saat ini dengan adanya upaya penurunan ketergantungan pada minyak dana tersebut juga berperan. Saat ini upaya yang sudah dilakukan dengan penerapan biodiesel, gasohol (bensin dengan campuran alkohol) dan juga gas bumi, dan Oil Fund digunakan untuk penjagaan stabilitas energi di dalam negeri. Berbeda namun memiliki tujuan yang sama dalam upaya penciptaan ketahanan energi nasionalnya.
Berbeda lagi dengan Ghana yang menerapkan Petroleum, Revenue Management Act. Disana memiliki dua jenis fund yaitu Petroleum Fund dan Gas Rent Fund (GRF). Gas Rent Fund ini adalah post dana untuk menampung dana yang didapat antara lain dari pengusahaan gas bumi di hilir. Misalkan penerapan strategi harga gas di hilir dengan Net back Pricing dan saat ditemukan selisih dengan harga beli gas dari hulu yang lebih rendah maka ‘kelebihan bayar’ dari hilir ini akan masuk ke dalam GRF tersebut. Dana tersebut kemudian dikelola dan digunakan antara lain untuk pembangunan dan peningkatan kehandalan infrastruktur gas bumi dan kelebihannya kemudian dimasukan ke dalam Petroleum Fund. Berbeda namun kembali memiliki tujuan yang sama yaitu penciptaa ketahanan energi nasional.
Masih banyak negara – negara lain yang menerapkan skema Oil and Gas Fund seperti Kazakhtan dan lainnya. Bentuk pengelolaan dana hasil migas ini adalah bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam yang terbatas dan bernilai tersebut secara cerdas. Dan juga bentuk kesadaran yang diimplementasikan dalam tindakan bahwa ketahanan energi nasional bukan berbicara dengan horison waktu saat ini saja tapi juga meletakan pondasi untuk menjawab tantangan di horison waktu di masa depan untuk generasi berikutnya.
Indonesia saat ini, atas hasil pengelolaan migas di setiap tahun akan menjadi masukan pendapatan untuk APBN dan habis untuk tahun berjalan tersebut. Tantangan dari defisit neraca anggaran berjalan menjadi tantangan tersendiri. Dan penyelesaiannya tidak bisa hanya dari satu sisi saja berupa konversi BBM – BBG misalnya tapi perlu ada langkah komprehensi yang menyentuh seluruh dimensi termasuk efisiensi dan pendekatan keuangan lain untuk pengelolaan anggaran. Sayang bila hasil pengelolaan migas yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dan bernilai harus habis disetiap tahun berjalannya.
Apabila kita memiliki Oil and Gas Fund maka kita dapat memanfaatkannya untuk banyak hal misalkan saja untuk pelaksanaan kegiatan eksplorasi pencarian sumber cadangan baru migas. Saat ini keterbatasan data yang dimiliki baik dalam jumlah maupun akurasi membuat harus dilakukan langkah eksplorasi penajaman data sampai akhirnya bisa diproduksi. Ketidakpastian ini menjadi resiko lain bagi siapapun yang tertarik. Dan karena tidak ada dana yang dimiliki maka skema PSC diterapkan dengan Kontraktor. Dana yang dibutuhkan begitu besar untuk kegiatan eksplorasi dengan teknologi dan adanya resiko dry holes yang berarti hilangnya uang yang sudah dikeluarkan. Namun bila kita sudah memiliki data potensi dan yakin bahwa adanya sumber migas disuatu tempat maka bentuk kontrak kerja sama yang dilakukan dapat berupa service contract yang paling eksplisit menunjukan kedaulatan energi.
Kemudian, dana tersebut dapat juga digunakan untuk pelaksanaan pengembangan energi baru dan terbarukan sebagai energi masa depan yang akan menggantikan sumber energi migas. Indonesia memiliki banyak sumber energi tersebut, dan kita tidak boleh telat untuk mempersiapkan diri di masa depan saat energi fosil bukan lagi dominan. Upaya pengembangan memerlukan biaya.
Kepemilikan dana tersebut juga dapat menjadi bentuk kemampuan negeri dalam mengatasi persaingan akuisisi energi di masa depan. Atau pemanfaatan lainnya.
Bentuk penerapan Oil and Gas Fund ini dapat dilakukan antara lain dengan penyisihan sekian persen dari pendapatan negara dari Migas. Dahulu pernah ada usulan sebesar 5% dari pendapatan migas disisihkan untuk Petroleum Fund atau dapat bersumber dari optimasi dan efisiensi dalam kegiatan hilir gas bumi. Mungkin sulit tapi harus dilakukan.
Dengan kesadaran akan kebutuhan ketahanan energi nasional, namun mengapa kita belum memiliki Oil and Gas Fund ? Karena ketahanan energi bukan hanya tentang hari ini saja tapi tentang peletakan pondasi untuk menjamin adanya ketahanan energi juga dimasa depan untuk anak cucu kita. Tugas kita bukan hanya menciptakan ketahanan energi saat ini tapi Ketahanan Energi Indonesia yang berkelanjutan.
Indonesia’s Oil and Gas Fund, sepertinya sudah saatnya dibangun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H