Mohon tunggu...
Munabiah Lestari
Munabiah Lestari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa yang sedang berproses

Orang kecil yang bermimpi besar

Selanjutnya

Tutup

Diary

Orang Kecil yang Bermimpi Besar di UIN Jakarta

22 Juni 2021   21:20 Diperbarui: 22 Juni 2021   21:43 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.pexels.com

long notes for short trips

Selamat Membaca :)

Calon Sarjana Satu-satunya

           Kuliah? Tidak terfikir bisa menginjak bangku perkuliahan setelah melewati banyak realita kehidupan dengan segala macam duri yang tidak hanya menyakiti. Tetapi, bisa membuat hampir mati. Mungkin bagi sebagian orang, terdengar sangat lebay atau klise. Nyatanya? Mereka hanya memberi kesimpulan atas apa yang mereka lihat namun tidak mereka rasakan. Terlahir dari keluarga yang sederhana bahkan seringkali kurang dalam segi ekonomi. Ayah dan Ibu sama sekali tidak patah semangat untuk menyekolahkan anak-anaknya, walau kedua kakakku hanya bisa bersekolah sampai tingkat SMK. Aku? Ya, aku adalah si bungsu yang menjadi harapan besar orang tua, bukan si bungsu dengan stigma manjanya itu.

           Aku terkenal sebagai siswa yang berprestasi sejak aku masih berada di tingkat Taman Kanak-Kanak. Tetapi, fikiranku terbuka saat aku berada dalam tingkat Madrasah Aliyah. Sekolahku, MAN 7 Jakarta, yang menjadi awal pikiranku bisa terbuka untuk melangkah maju kedepan. Pada saat itu, aku berada dalam lingkungan yang berisi orang-orang dengan segudang cita. Si A bercita-cita kuliah di PTN ternama di Indonesia, si B bercita-cita S1 di luar negeri, si C bercita-cita bersekolah di sekolah kedinasan terkenal dan ternama di Indonesia, dan masih banyak lagi. Cita-citaku dimulai dari awal aku menginjakkan kaki di MAN 7 Jakarta.

           “Jika kamu ingin berkuliah, harus PTN. Jika PTS, harus dengan beasiswa full dan di Jakarta atau dapat dijangkau dari rumah untuk transportasinya ya, Nak”, ucap Ibu. Bukan tanpa alasan perkataan itu muncul. Orang tua tidak bisa jika harus mengeluarkan biaya hidup dan biaya kos/asrama jika aku kuliah di luar kota. Orang tua tidak bisa membiayai uang kuliah yang mahal, apalagi jika ada uang pangkal dan sebagainya.

           Aku sangat berhati-hati saat memilih tempat kuliah. Bukan karena aku tidak menyukai universitas atau jurusannya. Tetapi, aku berusaha mencari tahu apakah ada uang pangkal? Apakah UKT-nya bisa disesuaikan dengan kemampuan orang tua? Apakah wajib asrama untuk mahasiswa baru atau untuk beberapa tahun? Apakah transportasi umumnya mudah dijangkau?

Kegagalan Yang Tidak Diduga

           Guruku di MAN pernah berkata “yang rengking 1 di kelas, belum tentu mendapatkan PTN dengan mudah.” Ya, perkataan itu sangat aku ingat. Sedikit mundur dari alur cerita, aku selalu mendapat peringkat 10 besar di kelas, bahkan aku mendapat peringkat 1, selama 2 semester. Pencapaian terburukku di sekolah yaitu saat aku pernah mendapat peringkat 11 atau sama saja dengan aku mendapatkan peringkat di bawah 10, selama 1 semester. Nangis di hadapan guru saat pengambilan rapor, aku meminta maaf kepada ibuku karena pencapaianku ini sangat buruk karena tidak sesuai dengan target per semester yang sudah aku buat. Lebay? Menurutku tidak, karena ada orang yang harus aku naikkan derajatnya. Bukan tanpa alasan aku menjadi sosok yang sangat ambisius. Keluargaku sering kali dihina karena dianggap serba kekurangan dalam hal ekonomi. Apa aku terima begitu saja? Tentu tidak, dengan segala keterbatasan, aku percaya itu akan menjadi alasan aku lebih semangat dan lebih berenergi. Hinaan bagiku adalah sebuah pecutan agar kita berlari lebih kencang layaknya kuda.

          Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Hanya opsi PTN itu yang dapat aku pilih saat pendaftaran PTN. Alasannya adalah karena wilayahnya dekat dan transportasi umumnya mudah dijangkau dari rumah.

           2019... Peraih Nilai UN Sosiologi tertinggi di sekolah dan salah satu lulusan terbaik di sekolah. Diterima sebagai siswa Bimbingan Belajar non profit Rumah Pintar KSE UI. Hanya ada 3 orang yang lolos dari sekolahku dan aku satu-satunya anak IPS yang lolos. Serangkaian seleksi telah ku lalui. Aku langsung mendapat pengajaran untuk persiapan masuk PTN oleh kakak-kakak dari Universitas Indonesia. Apakah perjuanganku mendapat PTN akan semudah itu karena prestasiku? Guru, teman, sahabat, keluarga, bahkan diri sendiri, tidak percaya jika aku harus menelan 6 kegagalan di tahun 2019. Aku mengikuti 6 jalur, yaitu SNMPTN, SPAN-PTKIN, SBMPTN, Penmaba UNJ, SIMAK UI, SPMB UIN  Jakarta, SEMUA GAGAL. 

           Menjadi seorang Gap Year atau menunda kuliah, bukanlah hal yang mudah. Menelan banyak kegagalan, mendapat banyak pertanyaan yang berakhir cemoohan. 2019 sampai 2020 aku mengisi waktu luang dengan bekerja sebagai guru atau motivator di salah satu Bimbingan Minat Baca dan Belajar Anak. Aku bekerja selama 8 bulan dan sangat bahagia mendapat teman kerja yang umurnya lebih tua tetapi saling mengayomi dan mereka selalu menyebutku “anak bontot”. Padahal aku adalah teman kerja mereka tetapi selayaknya diperlakukan seperti keluarga, adik, atau anak. Selain itu, aku juga mengisi waktu dengan belajar di sela-sela waktu istirahat kerja, pulang, ataupun libur.

           2020… aku berhenti bekerja saat sudah memasuki waktu pendaftaran PTN 2020. Apa hasilnya? Ya, lagi-lagi kegagalan aku dapat. Aku mendaftar SBMPTN, SBMPN, SIMAK UI, SPMB UIN Jakarta, dan 2 Beasiswa Full PTS. Aku GAGAL di lima jalur. Aku hanya berhasil di jalur SPMB UIN Jakarta, pengumuman terakhir yang aku tunggu, setelah menelan 11x kegagalan. LOLOS…. Nangis… nangis… akhirnya anak bungsu ini mampu menjadi calon sarjana harapan keluarga. Perjalanan ku di UIN Jakarta akan dimulai, dengan penuh kecemasan karena takut mengecewakan, penuh harap agar mampu membahagiakan, penuh doa agar selalu kuat dan konsisten untuk menghadapi alur kehidupan berikutnya.

           Ada banyak sekali pertanyaan yang datang kepadaku, pertanyaan itu adalah “mengapa masih bertahan bahkan mau mencoba lagi setelah banyak kegagalan yang sudah didapatkan?” bahkan ada yang berkata “kalau aku jadi kamu si, aku udah males buat coba lagi”. Rasa bangga datang untuk diri sendiri karena mampu bertahan dan terus berjuang. My Parents are My Motivation to Survive and Fight.

SELAMAT DATANG DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

           Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam? Tidak pernah terfikirkan akan masuk ke dalam jurusan Sejarah. Saat di MAN, aku lebih menyukai pelajaran Sosiologi dan Ekonomi, dan aku tidak menyukai Sejarah dan Geografi. Disinilah aku percaya bahwa “Allah adalah sebaik-baiknya penentu hasil”. Saat aku memasuki suatu hal yang tidak aku sukai, aku hanya berfikir “pasti ada hikmahnya”. Ternyata, semua diluar ekspetasi burukku. Aku jatuh cinta pada jurusan ini dan merasakan kenyamanan. Disini semua dosen berkata untuk “baca, baca, dan baca”. Aku melihat suatu keluasan ilmu pengetahuan dan keterbukaan pemikiran dari orang-orang yang banyak membaca. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? Salah satu PTN yang aku inginkan. Memilih hingga bisa masuk UIN Jakarta bukanlah suatu paksaan atau karena opsi terakhir.

           Mungkin ada yang bertanya “kenapa tidak suka sama pelajarannya, tetapi memilih jurusan itu?”. Pada saat pendaftaran SPMB Mandiri UIN Jakarta, aku menantang diri sendiri untuk bisa memilih hal yang tidak aku sukai. Walau sebenarnya aku berharap lulus di pilihan pertama yaitu jurusan Ekonomi Pembangunan. Takdir Allah berkata, aku lulus di jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Teringat sebuah peristiwa saat pendaftaran SMP/MTS, aku awalnya ingin masuk di sekolah umum, namun orang tua memasuki di madrasah tsanawiyah. Tetapi, saat itu aku tidak bisa masuk ke sekolah umum karena terhambat pendaftaran sekolah yang harus sesuai alamat di Kartu Keluarga. Awalnya aku tidak menyukai hal itu, namun aku semakin belajar membuka mata jika akan ada hikmah dibalik semua kejadian. Seperti halnya dalam jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang bukan pilihan pertama saat pendaftaran. Tetapi, aku yakin akan ada hikmah baik dibalik semua kejadian. Berdoa dan bersungguh-sungguh menjadi peganganku hingga saat ini.

           Saat pertama kali membaca pengumuman lolos di Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, saat itulah aku sempat mengalami pergolakan fikiran. Aku merasa terbawa dalam jurang fikiran yang sangat sempit tentang jurusan Sejarah, bertanya pada diri sendiri “Lulus aku jadi apa ya?” dan ternyata… Aku tidak sendiri… banyak yang bertanya kepada aku entah keluarga, sahabat, atau teman “prospek kerja lulusan sejarah tuh apa ya?”. Selanjutnya, aku dihadapkan pada stigma masyarakat tentang PTKIN atau UIN itu sendiri. Stigma tersebut, yaitu pemikiran masyarakat jika lulusan UIN itu paling hanya menjadi pendakwah.

           Jika melihat dari sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berawal dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan selanjutnya membuka program studi keilmuan umum. Hal ini bisa membuktikan bahwa sudah tidak adanya dikotomi ilmu, antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal itu justru memperlihatkan bahwa sudah terintegrasinya antara ilmu agama dan ilmu umum. Nilai keislaman bisa diselaraskan dengan kemodernisan. Oleh karena itu, seharusnya stigma tentang lulusan PTKIN atau UIN hanya akan menjadi pendakwah itu sudah tidak ada lagi.

           Saat ini (saat sudah menjadi mahasiswa di UIN Jakarta), aku aktif di 2 Organisasi, yaitu Fatahillah Researchers For Science and Humanity (FRESH UIN Jakarta) dan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R Syahid UIN Jakarta). Bukan tanpa tujuan aku aktif di 2 organisasi tersebut. FRESH UIN Jakarta adalah organisasi kepenulisan dan kepenelitian yang dapat membantuku di jurusan Sejarah dan Peradaban Islam karena pasti aku akan dihadapkan dengan membaca dan menulis di jurusan ini. Sedangkan, PIK-R Syahid adalah organisasi yang membawaku menjadi Juara Harapan 1 Duta GenRe UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di PIK-R Syahid dan menjadi Duta GenRe, membuat aku lebih banyak belajar tentang bahaya narkoba, bahaya seks bebas, pendewasaan usia perkawinan, life skill, dan lainnya.

           Sejak pertama resmi menjadi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah sampai mau memasuki semester 3, aku selalu berusaha menulis dan menancapkan target dalam hati dan fikiranku. Target apa itu? Target per semester aku buat. Saat semester 1, aku mendapat motivasi dari salah seorang teman yang berkuliah di salah satu PTN lain di Jakarta, ia merupakan angkatan tahun 2019, temanku itu mendapat IP hampir sempurna, berkisar 3,9+. Saat itu, target IP menjadi tujuanku di semester 1. Selanjutnya, di semester 2 aku memberi target untuk mendaftar lomba-lomba dengan harap bisa memenangkan salah satu lomba yang aku ikuti. Dengan izin Allah, targetku tercapai kembali. Aku selalu berusaha untuk menjadi lebih baik karena banyak harapan yang aku pikul, terutama harapan keluargaku.

           Kegagalan dan keberhasilan, seakan mengiringi setiap perjalanan hidup manusia. Tidak ada kegagalan seutuhnya dan tidak ada keberhasilan seutuhnya. Beberapa jalur beasiswa telah aku coba, namun hasilnya masih tetap gagal. Aku pernah berjanji untuk tidak menyusahkan orang tua dalam hal finansial. Tetapi janji itu tidak bisa aku tepati, saat untuk pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) saja aku masih meminta. Beberapa jalur beasiswa aku tempuh, lagi dan lagi semua berisi kegagalan hingga saat ini. Walau bapakku selalu berkata “kamu belum menikah dan apapun kebutuhan kamu itu masih tanggung jawa bapak”.

           Dalam sebuah tulisan yang kalian baca ini, aku menerangkan satu hal dalam satu kalimat, yaitu Aku tidak pernah menyesal masuk di jurusan dan kampusku saat ini. Berangkat dari banyak kegagalan, aku bisa belajar membuka pikiran, berpikir kritis, dan menambah pengetahuan. Jadi teringat dalam satu momen saat menunggu pengumuman kelulusan masuk PTN dari beberapa jalur, bapakku berkata “Bapak yakin kamu di UIN Jakarta ni”, dan akhirnya memang benar jika omongan adalah doa, tepatnya omongan orang tua.

           Inilah aku, calon sarjana satu-satunya di keluarga dan seseorang yang sering direndahkan karena serba kekurangan. Tetapi, aku mempunyai mimpi yang besar. Belum banyak hal yang aku lakukan di UIN Jakarta. Namun, sudah banyak target ku selanjutnya, agar masa tua orang tuaku, aku mampu melihat mereka menghirup udara segar, tersenyum, dan sambil berkata “Aku bangga punya anak seperti kamu”. Sampai saat ini motto hidupku adalah Balas dendam terbaik adalah menjadikan diri kamu lebih baik –Ali bin Abi Thalib. Seorang anak dari pinggiran Jakarta, yang dahulu dikenal pendiam dan tidak bisa apa-apa. Kini, aku sedang berproses. Cerita ini ku bagikan hanya dengan maksud menginspirasi dan memotivasi. Aku masih berproses, selangkah demi selangkah, dengan banyak keterbatasan, namun tidak hilang harapan.

Cerita diatas adalah bagian singkat dalam perjalanan menuju UIN dan saat di UIN.

Mohon maaf apabila ada salah-salah dam penulisan :)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun