"Apakah kamu setahu itu tentang perempuan?"tanya si perempuan.
"Tidak. Mungkin hanya ketika mereka jatuh cinta dan patah hati", jawab ombak enteng.
Siapapun yang melihat raut wajah perempuan itu pasti tahu, mukanya semakin tenggelam. Di satu sisi, perempuan itu ingin mengubah topik pembicaraan. Tapi sisi lain hatinya ingin mendengarnya lebih jauh. Justru seakan ia sedikit rindu untuk kembali menyentuh kenangan paling indah bersama seseorang yang memberinya luka paling sakit.
"Lain kali, aku tidak akan berkunjung kepadamu ketika matahari menuju peraduan. Pasti sinarnya yang jingga mempengaruhimu untuk membawakan kisah sedih, tak seperti biasanya", ucap perempuan itu sambil menunduk bingung. Tidak seperti biasanya, cerita ombak hari ini sama sekali tidak menghibur.
Ucapan itu adalah benteng terakhirnya untuk tidak menangis.
Bagaimana bisa ombak berkata demikian, ketika ia menyaksikan segala yang terjadi kepadanya. Saat pantai pernah menyelimuti dirinya dengan atmosfer yang teduh, memayungi tawanya yang cemerlang dalam gandengan pria itu.
Tanpa persetujuan Tuhan lebih dulu, pantai itu pernah menjadi milik sepasang insan yang asik bersenda gurau. Suara keduanya membuat deburan ombak terdengar bungkam, berubah menjadi desis angin yang romantis dan syahdu. Dua pasang langkah kaki berjalan ke sana ke mari tanpa lelah, tak peduli sekitar, apalagi waktu.
Tak terhitung berapa kali mereka sejenak berhenti di sudut pantai dengan pemandangan yang layak. Menyempatkan diri mengambil foto, dua wajah itu saling mendekat dan senyum terkembang seperti rekah bunga-bunga di musim semi.
Saat angin senja semakin berdesir, keduanya berdansa. Membiarkan tubuh mereka berpadu liar dengan udara. Tidak peduli tebing, ombak, karang, atau hewan-hewan kecil menatap dengan iri.Â
Perempuan itu mulai merasakan ujung matanya berat. Dadanya kian sesak karena suara riang laki-laki itu mulai terdengar lagi di telinganya.