Mohon tunggu...
Muna Panggabean
Muna Panggabean Mohon Tunggu... -

seorang pengamat sastra sekaligus pelaku, esais, dan budayawan. tapi yang lebih penting daripada itu semua: seorang ibu rumah tangga, ibu dari 3 puteri dan 2 putera.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Otentik!

17 Juni 2014   20:16 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:21 5575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak semua orang Indonesia berbahasa Indonesia dengan baik. Tentu itu tak bersimpul pada gradasi moralitas. Tak juga serta-merta sahih untuk dirujuk sebagai dasar bagi pemetaan kecerdasan orang per orang. Namun, sudah lama kajian linguistika berdaya menemukan kecenderungan atas bahasa yang digunakan. Petunjuknya terdapat pada kesalahan-kesalahan kecil yang berulang dan lalu melahirkan pola.

Apa yang tersaji di sesi ke-1 dari debat capres Indonesia 2014 yang berlangsung pada tanggal 15 Juni kemarin di Gran Melia Kuningan adalah perbedaan ketangkasan dalam diksi dan intonasi. Jokowi memulai uraian visi-misinya dalam tempo lambat –cenderung gagap, dan dengan intonasi datar. Satu menit dia habiskan untuk mengucap salam dan sejarah pertemuannya dengan orang-orang di berbagai belahan Indonesia. Mulai menit ke-3, dia naikkan tempo –tak jelas apa karena dia kuatir bakal kehabisan waktu, mengeraskan volume dan juga membubuhkan aksen di beberapa bagian yang dianggap penting. Penguasaannya atas gramatika terhitung lemah dan segera terasa: tuturannya mulai membosankan.

Persoalan pada sisi gramatika ini, ternyata, di beberapa bagian, menunjukkan kecenderungan tertentu:

“...membangun sebuah ekonomi yang lebih baik...” (sisa waktu 2:45)
“...mempunyai sebuah manusia yang produktif...” (sisa waktu 01:26)
“...akan mempunyai sebuah daya saing...” (sisa waktu 01:16)
“...akan memunculkan sebuah daya saing” (sisa waktu 01:11)
“...pemerataan akan menjadi sebuah perhatian...” (sisa waktu 00:47)

Penggunaan ‘sebuah’ dalam potongan-potongan kalimat di atas tak tepat. Bukan hanya karena ‘sebuah’ itu bisa dihilangkan, melainkan juga karena ekonomi tak bisa dikuantifikasi sehingga kepadanya bisa kita beri numeralia. Lalu, manusia juga bukan ‘sebuah, melainkan ‘seorang’. Dan dalam konteks kalimat tersebut, apa yang mau dikatakan Jokowi adalah tentang manusia Indonesia secara keseluruhan, bukan tentang seseorang.

Kesia-siaan, kekeliruan itu berlangsung terus, berulang-ulang. Tidak hanya di sesi ke-1, juga hadir di sesi-sesi berikutnya. Di paruh kedua dari tulisan ini, kita akan cari: kecenderungan apa sebetulnya yang melatari kekeliruan tersebut?

Bagaimana dengan Prabowo?
Dia orator ulung. Tampilan di sesi ke-1 telah mendudukkan Prabowo di peringkat ke-2 sesudah Soekarno dalam daftar orator terbaik Indonesia. Struktur kalimatnya kokoh dan menggunakan pola besar ke kecil dalam menyampaikan gagasan. Intonasinya memukau. Saya kira, seluruh pemirsa larut dalam orasi Prabowo malam itu.

Tapi saya mendapati 1 hal yang menarik: akhiran ‘kan’ yang dibunyikan ‘ken’ di beberapa bagian. Anehnya, Prabowo tak panggah. Di beberapa kalimat, masih di sesi ke-1, ada beberapa akhiran ‘kan’ dibunyikan ‘kan’ dengan bersih dan tegas. Berikut ini catatan saya:

‘kan’ yang dibunyikan ‘ken: di sisa waktu 03:28; 03:02; 02:28; 01:56
‘kan’ yang terdengar rancu –antara ‘kan’ dan ‘ken’: di sisa waktu 02:24; 02:11; 01:45; 00:36
‘kan’ yang terdengar ‘kan’ bersih dan tegas: di sisa waktu 01:37; 01:33

Ketidakpanggahan ini memunculkan pertanyaan. Kita akan menemukan jawabannya di bagian berikut ini.

One dan Oneness.
Saya terpaksa menggunakan istilah asing untuk judul bagian ini. Sudah lama ‘kesatuan’ —sebagai padanan untuk oneness— dirusak oleh kesatuan angkatan darat, kesatuan angkatan laut, dan macam-macam kesatuan militer lain. Ada tawaran lain, memang: ketunggalan, tapi maknanya malah melebar ke ‘kesendirian.’

Penggunaan kata ‘sebuah’ dalam paparan visi-misi Jokowi adalah kesalahan tata-bahasa. Pasti. Namun, kajian psikolinguistik tak berhenti di sana. Alan Garnham, dalam bukunya yang berjudul “Thinking and Reasoning,” berpendapat bahwa penyebab dalam kesalahan berbahasa adalah beban sarat yang dipikul si penutur. Beban tersebut bisa bermula dari sisi afeksi: was-was, kecemasan, ketersanderaan oleh masa lalu; juga bisa bermula dari ranah kognitif: tidak menguasai materi; ataupun bermula dari wilayah psikomotorik: kesukaran dalam melafalkan kata-kata tertentu.

Kesalahgunaan kata ‘sebuah’ dalam paparan Jokowi tidak melekat kepada kata-kata yang sulit untuk dilafalkan. Dia menggunakan ‘sebuah’ untuk manusia, daya saing, ekonomi, dan perhatian. Orang Indonesia dari suku manapun asalkan berusia di atas balita tak akan mengalami kesukaran dalam mengucapkan kata-kata itu.

Kesalahan tersebut juga tidak berada di ranah kognitif. Jokowi tampil dengan penguasaan materi yang jauh lebih baik daripada Prabowo.

Dari wilayah afektif? Yang mana? Was-was? Cemas? Tidak. Di sesi ke-1 dan sesi ke-2, Jokowi begitu rileks mempermainkan kata ‘dua’ yang diucap berulang-ulang untuk, secara tersirat,  mengingatkan para pemirsa akan nomor urut pencapresannya.

Ketersanderaan oleh masa lalu? Ini kemungkinan tersisa.

Kita menyeberang sebentar ke wilayah sosiolinguistik.

Salah satu yang membuat dialek Bristolian diingat orang adalah penekanan berlebih kepada hubungan antara hasil dan waktu. I done it yesterday, kata Bristolian –padahal bahasa Inggris standar berkata, I did it yesterday. Penutur Bristolian agaknya merasa perlu menekankan: pekerjaan itu sudah selesai kemarin dan bukan berakhir dalam ketidakselesaian. Untuk itu mereka gunakan verb III: done.

Dalam bahasa Indonesia, sering kita dengar ungkapan: itu belum pernah sekalipun saya dengar. 'Belum pernah' pastilah mencakup ketidakpernahan sepenuh: tidak dua kali, tidak sekali. Namun, kuatir disalahartikan ‘hampir pernah,’ penutur menggunakan ungkapan tambahan ‘sekalipun.’

Kekuatiran selalu berasal dari apa yang terjadi di masa lalu, sesuatu yang melahirkan trauma. Nah, bagaimana kita memahami kesalahgunaan kata ‘sebuah’ yang berulang diucapkan Jokowi sehingga membentuk sebuah pola?

Dugaan sederhana bisa kita sodor: ada trauma yang membekas dalam diri Jokowi. Dia, mungkin, pernah diperlakukan secara seragam dengan apa yang ada dalam pikiran seseorang tentang tabiat tukang kayu, tabiat orang Jawa, perilaku orang miskin, stigma yang dicacah orang kepada pecinta musik cadas dan berbagai penyeragaman. Itu melahirkan keberhati-hatian dalam dirinya ketika berkomunikasi dan mengurus orang lain. Trauma itu juga bisa berasal dari hal-hal di atas namun dengan Jokowi sebagai pelaku –sesuatu yang kemudian melahirkan penyesalan besar dan, dengan sepenuh hati, dia bertekad tidak mengulanginya.

Trauma dan keberhati-hatian lalu melahirkan kewasapadaan berlebih. Dan terucaplah dari mulutnya ‘sebuah daya saing’, ‘sebuah ekonomi’, ‘sebuah perhatian’ dan lain-lain. Ini dijelaskan oleh kerajinannya memeriksa pekerjaan dan kejadian satu per satu, rinci, juga cenderung mengharamkan keseragaman.

Kartu Indonesia Sehat dan Indonesia Cerdas yang malam itu dia pamerkan adalah wujud dari kepastian yang ingin dia rengkuh atas kekuatirannya terhadap nasib orang per orang. Dia berbicara tentang pasar, tentang PKL, tentang orang-orang miskin, tentang mereka yang terpinggirkan, dengan menggunakan istilah-istilah kecil. Tengoklah juga sodoran pertanyaannya: DAK, DAU, TPID –begitu rinci, begitu subtil. Juga, ketika berbicara tentang kesehatan perempuan, Jokowi mengucapkan satu istilah yang membumi, yang menyentuh pergumulan kaum perempuan: IVA test.

Kosmetik
Ketidakpanggahan Prabowo dalam membunyikan akhiran ‘kan,’ yang kadang ‘ken’ kadang  tak jelas antara ‘kan’ dan ‘ken’ dan kadang menegas dalam ‘kan’ yang cemerlAng, menerus ke sesi ke-2 sampai berakhirnya acara debat. Saya coba untuk menelusuri kemungkinan khusus: ‘kan’ dibunyikan ‘ken’ oleh Prabowo sebagai penekanan terhadap bagian-bagian tertentu. Nihil. Tak ada petunjuk maupun bukti sama sekali. Singkat kata, itu adalah ketidakpanggahan yang bugil. Mengapa?

Ada kesan, sebagaimana dia hadir bersama Titiek Soeharto, Prabowo ingin merangkul loyalis Soeharto –tafsir ini, karenanya, meluas hingga ke pendekatan ekstratekstual. Secara luas, patut diduga, ia ingin menarik simpati orang-orang bersuku Jawa. Tapi, itu malah menunjukkan kalau dia berkhianat kepada dirinya.

‘A’ cemerlAng memang dihindar oleh mereka yang mukim di daerah Jawa bagian tengah.  Itu kasar, telanjang, ngangkang dan menghadirkan jarak. ‘A’ mereka bunyikan å, cenderung melengkung. Mereka menghindar dari bunyi vokal yang ekstrim –ingatlah: ‘i’ tak pernah terbunyikan ekstrim oleh orang Jawa tengah sebagaimana orang Jerman membunyikannya untuk ‘ich’.

Tak demikian halnya dengan Prabowo Subianto. Dengarkan iklan-iklan capres kita ini di layar televisi: saya, Prabowo Subianto. A pada ‘saya’ dan ‘pra’ terbunyi cemerlAng. Juga perhatikan tampilan dia di sepanjang debat: seluruh A terbunyi mengangkang. Lalu bagaimana menghubungkan itu semua dengan 'ken'?

Karenanya, meski, katakanlah, kita tak menjumpai satupun ketidakpanggahan Prabowo ketika membunyikan ‘kan’ –katakanlah semua ‘kan’ itu berbunyi ‘ken,’ kita malah semakin menemukan terpecahnya kepribadian capres dengan nomor urut 1.

Keterpecahan itu menyediakan sebuah sudut pandang lain bagi saya dalam mengikuti presentasi Prabowo. Mari kita telusuri paparan Prabowo melalui data-data terukur yang dia sodor:

1.Kebocoran 7.200 trilyun. Perbincangan mengenai angka ini meluas di ruang publik. Banyak ekonomiman angkat bicara. Tapi, Prabowo hanya mengutipnya dari dua kali pidato Abraham Samad –salah satunya di rakernas PDI Perjuangan pada bulan September. Karena itu, yang berkewenangan bikin klarifikasi tentu saja sang ketua KPK. Namun catatan saya untuk hal ini adalah ketika Prabowo menggunakan istilah ‘kebocoran’. Padahal, bukan itu yang diungkap Samad melainkan hilangnya kesempatan bagi negara untuk mendapat tambahan pendapatan sebesar 7.200 trilyun dari sektor migas.

2.Padi 100 hari; jagung 120 hari. Banyak praktikawan pertanian menggeleng kepala ketika mendengar angka ini. Masa panen jagung adalah 72 hari sejak ia ditanam, kata seseorang. Ada yang bilang, 90 hari. Tak ada yang menyodor angka di atas 100 hari. Ini celaka bagi seorang ketua HKTI.

Bagaimana dengan Jokowi?
Dia tak menyodor angka telanjang, cuma Indonesia Sehat dan Indonesia Cerdas --dua kartu yang terukur. Meski beberapa kekurangan di sana-sini masih terjadi, dua kartu itu berjalan dan dimanfaatkan dengan baik di Jakarta. Pun ketika menyodor pertanyaan tentang TPID, dia, sebetulnya, sekaligus menyajikan angka: dinobatkan sebagai kepala daerah terbaik dalam pengendalian inflasi.

Penutup
Mudah disimpulkan, penampilan Jokowi pada malam debat capres 15 Juni 2014 tergolong otentik. Kekeliruan gramatikal yang tak disadari dalam paparan visi-misinya bisa dimaknai sebagai unconscius signal of the true feelings dalam Dramaturgical Theory Erving Goffman –sebuah perspektif sosiologikal yang menempatkan interaksi manusia ke panggung drama yang sepenuhnya bergantung kepada ruang, waktu dan siapa penontonnya. Diksi, petanda, dan penanda Jokowi yang menggunakan istilah-istilah kecil tidak hanya mengukuhkan integritasnya tapi juga sekaligus berkhianat kepada jargon Indonesia Hebat yang diusung PDI Perjuangan.

Tak ada Indonesia Hebat dalam paparan Jokowi. Yang mengemuka di sana adalah Indonesia Kecil melalui rakyatnya yang disebut satu per satu oleh capres nomor 2: orang-orang kecil di pasar tradisional, para PKL, mereka yang butuh pemeliharaan negara melalui Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar, ibu-ibu yang tak punya uang untuk menjalani IVA test atas ancaman penyakit mengerikan, petani, guru, nelayan, dan banyak lagi. Itulah sebuah Indonesia.

Tentu saja upaya memperbesar dukungan dan elektabilitas adalah pekerjaan wajib seorang capres. Namun, perlu diingat, dukungan tersebut hendaklah diraih dari kalangan yang seperjuangan dengan sang capres. Memperluas pasar dengan mengkhianati diri sungguh berisiko besar. Itu terlihat jelas pada ‘kan’ dan ‘ken’ Prabowo yang merupakan simbol keterpecahan, menjadikan penampilannya tidak otentik. Saya tak berani memastikan apakah keterpecahan itu juga memotret dengan sempurna koalisi merah-putih yang sebetulnya bertikaman.

Tapi, itulah. Ketika pertanyaan tentang ekonomi kreatif disodor, ketara betul kreativitas itu tak ada pada Prabowo. Di sana, unconscius signals hadir jelas.

Prabowo seharusnya tetap pada kursinya, menulis catatan di selembar kertas lalu berkata: terima kasih, saudara Jokowi, saya telah mencatat itu untuk dimasukkan ke dalam agenda kerja koalisi Merah-Putih manakala kami diberi mandat oleh rakyat nanti. Ingatkan saya agar tidak lupa mengerjakannya.

Tragis. Keterpecahan itu teragakan di panggung debat. Dia turun dari kursi, berjalan ke tengah panggung dan memeluk Jokowi. Suaranya yang parau berucap keras: saya abaikan pesan para penasehat politik saya. Saya dukung Jokowi.

Tak lagi cuma pecah, dia ambruk. Sang jenderal rubuh.

(Saya akan menulis kajian linguistika berikutnya terhadap debat capres yang berlangsung pada tangga 22 Juni 2014. Namun paparannya akan terdapat dalam episode ke-6 dari cerber bertajuk “Aku Antar Kamu Ke Sana” sebagai artikel yang diunggah Maria Tobing, karakter dalam cerber tersebut, ke jagad maya. Sila ikuti di laman ini.

twitter: @munaxp

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun