Hakikatnya sebuah novel adalah menghibur dan mendidik para readers. Banyak cerita novel yang secara tidak langsung mengajarkan moral-moral lewat kata demi kata yang tergubris. Hanya saja mungkin kita sebagai pembaca tak menyadarinya. Tetapi mengenang di kepala bukan?
Nah sama halnya ketika aku membaca novel “Bumi” yang dikarang oleh Tere Liye. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Buku ini launching pertama kali pada 16 Januari 2014. Tentu penulis satu ini tidak asing ditelinga bukan?
Novel ini berkisah tentang seorang gadis bernama Raib yang memiliki kekuatan dapat menghilang hanya dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia dibesarkan oleh orang tua angkatnya. Tetapi tak menjadi permasalahan oleh Raib. Meski hanya orang tua angkat, Raib sangat menyayangi dan menghormati mereka seperti orang tua kandung.
Seyogyanya kita sebagai anak memang meniru Raib yang sangat mencintai orang tuanya. Lihat saja Raib, meski ia hanya anak angkat, tetapi sayangnya kepada orang tua angkatnya tak terkira. Bagaimana dengan kita? Kita yang memiliki orang tua kandung harusnya bisa meniru Raib, bahkan lebih hendaknya.
Tidak hanya kasih sayangnya kepada orang tua angkatnya yang perlu kita contoh. Tetapi pertemanan luar biasanya juga. Di umurnya yang baru menginjak 16 tahun, Raib bertemu dua sahabat petualang sejatinya.
Panggil saja mereka Ali dan Seli. Tak disangka kedua sahabat Raib bukanlah orang biasa. Seli, seorang gadis keturunan Klan Matahari yang dapat mengeluarkan petir. Dan Ali, seorang pemuda blak-blakan yang hobinya meledakkan laboratorium.
Jangan remehkan, ia paling genius dan pemimpin petualangan ini. Tapi bukan itulah kekuatan sejati. Melainkan kekompakan dan kesetiakawanan merekalah yang patut diacungi jempol.
Sebenarnya sebesar apa sih kekuatan mereka? Sampai-sampai tiga remaja 16 tahun dapat menandingi kekuatan penguasa paling ditakuti di dunia paralel ini? Jawabannya bukanlah seorang Raib yang mewariskan genetik putri Bulan, seorang Seli keturunan matahari, dan si genius Ali.
Tetapi, kekuatan terbesar mereka berasal dari ketulusan hati. Ketulusan hati mereka dalam menjalani persahabatan, saling memikul di saat yang satu terjatuh. Saling mensuport di saat yang lain sedang butuh dukungan.
Memang diakui, persahabatan Raib, Ali dan Seli berhasil mengundang jiwa iri para pembaca. Sampai detik ini, sangat susah menemukan sahabat sejati sejatuh sebangun. Kekompakan dan kesetiakawanan mereka rasa ingin dimiliki para pembaca.
Kekompakan persahabatan mereka tentu tidak selalu berada di atas kesenangan. Pasti ada masanya keegoisan dikedepankan yang mengundang kerenggangan. Namun hal itu tak menjadi alasan terpecahnya persahabatan mereka.
Keegoisan yang berhasil dikesampingkan, solusi utamanya. Di antara Raib, Ali dan Seli selalu ada yang menjadi pencair suasana di saat mereka sedang berselisih paham.
Hendaknya kita dapat meniru kearifan sikap mereka. Memang di dalam hubungan pertemanan mesti ada kalanya kita tak seide sejalan. Namun kedewasaan kita dituntut dalam menghadapinya.
Jika semuanya mengotot dengan pembenarannya, bukan masalah yang akan selesai, tetapi hubunganlah yang akan berakhir. Jadi marilah, pandai-pandai dalam berteman dan jadilah seseorang yang mampu mengedepankan kesenangan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H