Meski telah membanjiri hampir seluruh daerah di Indonesia dengan baliho besar dan atribut pencitraan lainnya, elektabilitas Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto malah jeblok. Seharusnya dengan begitu banyaknya media untuk memperkenalkan diri tersebut, popularitas dan elektabilitas Menko Perekonomian tersebut merangkak naik.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dari sekian banyak rilis lembaga survey, sosok Airlangga selalu diluar 5 besar. Dan mirisnya lagi tidak pernah melewati angka 2 persen. Jika dibandingkan dengan Ganjar, alat promosi diri Airlangga berkali kali lipat jumlahnya.
Jebloknya elektabilitas Airlangga ini tentu membuat internal Golkar menjadi was-was, karena itu akan berdampak kepada perolehan kursi mereka nanti di parlemen. Diakui atau tidaknya, keberadaan calon presiden sangat menentukan perolehan kursi dari partai tersebut di Pileg. Contohnya SBY 2009, Jokowi 2014 dan 2019. Prabowo juga mampu menaikkan perolehan suara partai Gerindra selama dua kali Pileg.
Yang membuat tepuk jidat adalah elektabilitas Airlangga kalah sama kadernya sendiri, Dedi Mulyadi yang kini menjadi anggota DPR RI.
Lalu apa kemungkinan yang membuat elektabilitas Airlangga jeblok?
- Kinerja Airlangga tidak mencolok
Airlangga sudah menjadi menteri dibawah kepemimpinan Jokowi selama dua periode, mulai dari menteri perindustrian sampai Menko Perekonomian. Tapi dari kacamata publik prestasi Airlangga tidaklah mencolok, dan boleh dikatakan biasa-biasa saja. Gebrakan luarbiasa yang mampu mengangkat namanya juga tidak ada.
"Susah (meningkatkan elektabilitas Airlangga) karena sekarang ini, kan, yang paling penting itu bagaimana mengeluarkan prestasi juga. Jadi kalau enggak ada prestasi, enggak ada sesuatu yang bisa dipercakapkan orang, apalagi yang bersangkutan ritmenya itu-itu saja," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/1/2022).
- Pola kampanyenya dianggap salah
Menurut pengamat politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, kegagalan Airlangga mengoptimalkan potensinya tersebut imbas dari caranya membangun pencitraan (branding) yang cenderung formal bak pejabat Orde Baru. Padahal, cara ini sudah tak dilirik publik dan tidak sesuai perkembangan zaman.
"Harusnya sebagai seorang pemimpin, dia itu harus menyesuaikan sesuai eranya. Era sekarang menginginkan pemimpin-pemimpin yang lebih cenderung informal, yang lebih dekat dengan publik. Jadi, dia tidak memasang jarak dengan masyarakat dan dia duduk santai duduk lesehan dengan masyarakat. Nah, hal-hal seperti itu tidak tergambar pada sosok Airlangga," tuturnya.
- Dikaitkan Dengan Kasus Rifa