Mohon tunggu...
Mulyoto M
Mulyoto M Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Staf di UPT Dinas Pendidikan Sooko, Mojokerto

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kreativitas dalam Kurikulum 2013

9 Desember 2013   02:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:09 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_307282" align="alignleft" width="150" caption="http://jakartaweekend.com"][/caption]

Kreativitas. Itulah kata kunci dari Kurikulum 2013. Menurut Mendikbud Mohammad Nuh saat menyosialisasikan kurikulum baru ini, kreativitas inilah modal dasar untuk melahirkan anak-anak yang inovatif, yang mampu mencari alternatif-alternatif dari persoalan atau tantangan di masa depan yang makin rumit.

Kreativitas adalah kemampuan melakukan atau menemukan hal baru. Yaitu untuk menjawab berbagai permasalahan yang kita hadapi.

Dalam konteks permasalahan kehidupan yang makin kompleks, kreativitas menjadi sangat relevan. Masalah pengangguran sebagai contoh. Para lulusan sekolah harus bisa menyesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja, bahkan mungkin menciptakan lapangan kerja baru. Mereka tidak bisa hanya pasrah pada kemampuan yang dimilikinya saat itu tanpa berusaha mengembangkan diri dan meng-update kemampuanya dengan belajar dan terus belajar.

Membludaknya informasi akibat teknologi internet juga menuntut lulusan sekolah untuk mereaksikan informasi-informasi itu dan mensintesis makna baru. Satu kuncinya: belajar tiada henti dengan mengembangkan kreativitas.

Tentu, tuntutan ini harus dijawab oleh para praktisi pendidikan karena merekalah yang dianggap paling bertanggung jawab dalam menyiapkan sumber daya manusia. Kurikulum 2013 sudah mengakomodasi hal itu. Tinggal dalam pelaksanaannya, guru sebagai ujung tombak pendidikan, kini beraksi.

Saya sangat apresiatif dengan pendekatan yang direkomendasikan dalam Kurikulum2013: tematik-integratif. Dengan pembelajaran secara tematik, anak didik akan belajar secara kontektual berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Topik pembelajaran adalah hal-hal yang secara riil ada di lingkungannya, bukan topik asing yang berada di luar dimensi keberadaan mereka.

Dengan pembelajaran secara integratif, anak didik bisa berpikir secara holistik dalam memaknai pengalaman-pengalaman mereka. Mereka menjadi terbiasa menyeselesaikan masalah dari sudut pandang keilmuan yang luas: matematika, sains, IPS, agama, dan lain-lain. Di samping itu, pembelajaran integratif di sini juga diartikan bahwa pembelajaran mengembangkan potensi anak didik dalam tiga ranah secara imbang: kognisi (pola pikir), afeksi (sikap), dan psikomotori (skill).

Di sini saya contohkan salah satu pembelajaran tematik-integratif pada kelas I SD tema peristiwa alam. Kita ambil subtema: pelangi. Kita bahas asal mula terbentuknya pelangi. Mula-mula air dari permukaan bumi –baik dari sungai maupun laut- menguap. Terbentuklah awan. Di udara, awan ini membentuk lapisan yang kerapatannya lebih besar daripada lapisan di atasnya. Sinar matahari yang menembus dua lapisan yang berbeda kerapatannya mengalami pembelokan atau pembiasan. Besarnya sudut pembiasan ditentukan dari panjang gelombang masing-masing penyusun sinar matahari. Akibatnya sinar matahari itu berpendar menjadi tujuh warna sinar penyusunnya: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Terbentuklah pelangi.

Apabila saat pembahasan peristiwa alam ini tengah terjadi pelangi di luar, siswa bisa diajak menyaksikan langsung pelangi itu. Mereka diminta menghitung ada berapa macam warna pelangi itu, dan apa saja warnanya.

Mereka lalu diajak kembali ke kelas. Mereka diminta membuat puisi dengan tema pelangi.

Jelas terjadi integrasi dari beberapa pelajaran: IPA, matematika, bahasa Indonesia, dan agama. Integrasi juga terjadi dari tiga ranah kemampuan siswa yang dikembangkan: kognisi, afeksi dan psikomotori.

Guru tentu dituntut untuk mencari bentuk-bentuk lain strategi pembelajaran. Ini harus didukung dengan kebijakan tentang sistem evaluasi. Sistem evaluasi yang menentukan kelulusan haruslah menyeluruh berupa transkrip nilai yang diambil dari rapor sejak kelas I. Bukan hanya nilai ujian nasional di ujung kegiatan pembelajaran yang berlangsung hanya dalam beberapa hari. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun