Kapal melaju sekitar 24 knots. Atau setara 44 km per jam. Cukup cepat.
Santai, berbaring telentang di ranjang 90 cm, menatapi langit - langit kamar yang pendek. Merasakan getaran ombak laut yang tenang.
Sinyal internet telah putus. Kecuali kita membeli di reception lantai tujuh, seharga sekitar 16 Euro. Berfungsi selama pelayaran, sekitar 18 jam.
Saya tidak membeli wifi. Komunikasi hp terputus.
Menunggu makan malam. Baring melamun. Merasakan terapung - apung entah dimana, puluhan ribu kilometer dari tanah air. Berpikir, ngapain jauh - jauh di sini?
Terbebas dari komunikasi WA, dsb. Isteri juga tidur - tidur ayam di ranjang sebelah. Sunyi terasa sempurna, hanya debur ombak laut utara sayup menerobos kamar. Damai, nikmat terayun - ayun.
Saat makan malampun tiba. Lebih awal, pukul 5 sore.
Bergegas ke dek 7 di sisi haluan, sudah ramai. Makan malam prasmanan gratis, sudah termasuk dalam ongkos penyeberangan. Shift makan malam pertama diberi waktu 1,5 jam untuk menuntaskan santap. Akan disambung shift kedua, pukul 8.00 malam.
Mulai survey berbagai jenis gelaran makanan komplit. Kecuali nasi, tidak ada.
Melihat-lihat makanan terserak. Yang terlintas bukan apa yang akan dipilih, tetapi malah teringat budayawan Yogya. Almarhum prof Umar Kayam. Membayangkan bagaimana pak Kayam menghadapi situasi seperti yang saya hadapi saat ini. Menyeleksi makanan yang berlimpah.Tulisan - tulisan beliau banyak mengulas tentang kulineran.
Umar Kayam adalah profesor, dosen fakultas sastra UGM, juga penulis handal. Mengaku sebagai seorang hedonis kecil - kecilan, penikmat dan pengamat kehidupan.
Karya-karyanya yang terkenal. Seperti Seribu Kunang - Kunang di Manhattan, Sang Priyayi, Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpo Bondo, Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih, dsb. Bacaan enak kaya wawasan.