Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Reunian dan Pelancongan Yogya - Solo #11

5 September 2022   22:00 Diperbarui: 5 September 2022   23:00 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Lima puluh tahun berlalu. Pasti semuanya telah berubah. Pengalaman nyata adalah gerinda kehidupan. Mengasah setiap orang agar lebih bijaksana.

Satu hal yang pasti dan kasat mata, fisik kita semua telah berbeda.

Reunian di pendopo Joglo kayu Jati, tinggi magrong - magrong di tepi kali Pusur. Menjadi arena adu kisah, kenangan, kangenan, canda tawa, juga harapan ke depan. Tumpah ruah jadi satu.

Menyantap suguhan kulineran khas klangenan, berdendang ria dan jogetan bersama berlangsung setengah harian. Diselingi pula pembagian door prize, lucky Draw, siapa beruntung membawa bejo hari ini. Semua alumnus SMP TanPabrik yang hadir siang itu nampak semangat dan bergembira.

Terima kasih mas Jenderal Joko, teman seangkatan. Yang menginisiasi dan menjadi sponsor utama acara ini. Juga Mbun Yanti, ketua acara dan para panitia yang sibuk menyiapkan perhelatan. Tentu juga mas Dewo, pemain organ tunggal ciamik yang membuat acara ramai meriah.

Pertemuan sahabat masa remaja, saat para cah lanang masih bercelana pendek dan cah wedok ber rok sepan itu berlangsung penuh nostalgi. Kisah - kisah masa lampau kembali diungkap.

Di tengah acara, memandangi halaman resto yang asri memanjang seolah tak bertepi. Sampai ujung gunung Merapi, yang menjulang di barat sana. Terkenang masa sekolah SMP, setengah abad yang lalu.

Dokpri 
Dokpri 

Berangkat sekolah pagi - pagi dari rumah. Pulang bakda dzuhur. Sekolahan hanya 1,5 KM dari rumah, namun orang tua menyediakan kemudahan. Memberikan sepeda kumbang ontel milik bapak untuk digunakan. 

Teringat pula saat hujan turun kepagian. Prei bersepeda, lebih memilih berjalan kaki ke sekolah.  

Bersepatu sandal plastik Nilek coklat muda transparan, anti air. Masih ingat sandal Nilek? Hanya yang pernah memakainya saja, baru bisa membayangkan wujud sandal seribu umat yang sangat populer waktu itu.

Pagi normal adalah pagi yang cerah. Dari rumah mengontel sepeda tua ke barat. Menuju sekolah.

Bersepeda 15 menitan setiap pagi. Adegan bersepeda selama 3 tahun atau sekitar 1700 hari pergi pulang saat SMP itu masih teringat jelas.

Rute perjalanan menjadi algoritma baku pribadi. Hapal detilnya.

Usai sarapan lethok, gudeg atau brongkos dari jualan tetangga, menuntun sepeda melewati halaman cukup luas. Keluar dari regol yang diapit dua pohon lengkeng rimbun. Mengayuh si kumbang, belok kiri.

Melintas desa Ngabeyan wetan, Ngabeyan Kulon, Gentan, Wantilan. Tembus jalan raya Delanggu - Tanjung di desa Pacaran.

Menyusur rel Kereta Api Yogya - Solo dari selatan ke utara sepanjang 100 meter, memutari stasiun. Ke arah palang atau teteg sepur. Adakalanya saat waktunya mepet, takut telat sekolah, nekat sepeda diangkat dan menyeberang rel. Melewati pagar kawat dan mendaki tembok tak begitu tinggi. Hemat waktu 3 menitan daripada memutar. Namun sebenarnya sangat berisiko. Bisa langsung sampai di pasar Ngeseng. Pasar kaget pagi di kiri kanan, sepanjang jalan.

Terus mengontel ke barat. Melewati pasar Delanggu, melintasi lampu bang jo (abang ijo) atau traffic light perempatan jalan raya Yogya Solo.

Momen terepik dari ngontel setiap pagi adalah selepas bang jo perempatan pasar. Saat mengontel ke barat, di jalan pabrik karung.

Menuju sekolah tidak begitu jauh lagi. Di depan, masih terhampar sawah menghijau. Sampai mentog tembok masif komplek area pabrik.

Dokpri
Dokpri

Saat pagi cerah, di kulon sana, Merapi nampak melela utuh seluruh batang tubuhnya, dibawah naungan langit biru terang. Puncaknya yang botak keputihan menjulang anggun, sekaligus wingit. Menjadi sentral pertemuan, membelah simetris dua lereng dengan kemiringan nyaris sama. Miring ke utara, ke wilayah Salatiga - Boyolali. Sedangkan kemiringan Selatan, ke arah Sleman - Klaten - Blabak - Muntilan.

Saat pagi cerah, sisi timur Merapi bersulak keemasan, memantulkan sinar mentari pagi. Latar depan cerobong bulat pabrik, menjadi ornamen mempercantik jejeran panorama alam. 

Setiap pagi berdecak, mengagumi hebatnya Merapi, sang gunung berapi.

Kelak jalinan persuaan dengan Merapi selalu bertaut, dalam segala bentuk situasi dan intensitasnya.

berlanjut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun