Reunian SMP TanPabrik
Delanggu kota kecamatan di kabupaten Klaten, dibelah jalan raya Yogya - Solo. Terletak sekitar 20 km barat daya dari kota Solo, kearah Yogya.
Kota kecil Delanggu masa lalu, ibarat pulau kecil di tengah lautan persawahan subur menghijau ke arah tenggara. Sampai cakrawala kaki gunung Sewu. Kini pulau kecil itu telah membesar. Dengan banyaknya bangunan rumah, ruko, sekolah, rumah sakit, mini market, mini mall baru, dsb.
Waktu lalu, ada dua produk yang menjadi trade mark kota kecamatan ini. Yakni beras Rojolele dan Karung Goni.
Beras Rojolele adalah salah satu kasta tertinggi dari semua jenis beras yang ada di Nusantara. Barangkali pesaing nya hanya beras Cianjur Jabar dan bareh Solok Sumbar.
Ketika orang menanak beras Rojolele, maka akan dihasilkan nasi yang putih, pulen dan wangi. Saking enaknya, nasi Rojolele ibaratnya adalah santapan yang hanya diperuntukkan bagi para ningrat, petinggi dan orang berada.
Di tlatah Delanggu lah beras Rojolele kampiun itu dulu menghampar subur. Sawah Delanggu yang subur berkat abu Gunung Merapi, juga irigasi yang efektif dan sumber air jernih dari umbul Cakra Tulung. Menjadikan Delanggu terberkati, sebagai rumah tinggal nyaman padi Rojolele.
Sedangkan trade mark ke dua adalah goni. Yaitu karung wadah beras atau padi yang terbuat dari proses pemintalan pohon Rami yang disebut juga pohon Rosela.
Konon pada jaman doorstoot atau penjajahan, goni juga terpaksa dipakai untuk bahan celana dan baju bagi masyarakat banyak, saking langka dan mahalnya kain pada waktu itu. Memakai baju klambi dan celana kathok berbahan karung goni dimasa susah itu adalah hal yang wajar dan biasa. Karena keadaan, gengsi yang biasanya mengikuti, harus ditinggalkan. Hanya karung goni, tak perlu gengsi lagi.
Jaman now, dua kebanggaan Delanggu itu memudar. Dikikis bahkan dilindas oleh kemajuan teknologi dan kepraktisan hitungan bisnis.
Saya akrab dengan ke dua trade mark kota kecil ini.
Delanggu adalah takdir kelahiran. Barangkali juga nantinya akan menjadi takdir pengakhiranku.
Tentu saya mengenal Rojolele sejak dari kecil. Orang tua adalah petani, pengolah dan juga pedagang padi dan beras. Masa kecil akrab dengan Rojolele dan berbagai jenis beras lainnya.
Karena sering mengikuti dan terlibat mengolah sawah dan produksi beras. Proses sejak dari ngluku dan nggaru yang sering harus dibantu alat bajak yang ditarik satu atau dua ekor Kerbau. Yaitu mengolah tanah persawahan sebelum ditanam bibit. Lalu proses Nandur, yaitu menanam benih padi. Ngileke banyu atau mengairi. Kemudian matun yaitu mengambil tanaman kecil, gulma seperti enceng gondok, suket teki dkk musuh - musuh tanaman padi.
Tahap Ngrabuk atau memupuk tanaman berupa campuran pupuk kandang dengan pupuk olahan kimia. Nunggu dan Medeni yaitu menakuti burung yang berdatangan saat padi mulai merunduk dan menguning. Dengan memedi, boneka - boneka besar yang diberi pakaian seperti petani. Memeden itu ditusuk bambu lentur dan ditanam berderet di sepanjang sawah. Masing - masing bambu dihubungkan dengan tali tampar panjang sampai di gubug. Gubug sendiri adalah gazebo kecil beratap ilalang temporer, yang dibangun di sawah.
Masih teringat saat ribuan burung emprit atau pipit berdatangan. Dari gubug, saya menarik tali memeden maju mundur. Boneka - boneka sawah itu akan bergerak ke kiri ke kanan. Ribuan emprit predator padi itu kaget dan akan terbang kembali ke udara. Pindah mencari sawah yang lemah penjagaannya.
Sensasi kelepak sayap hitam ribuan emprit yang terbang bersamaan itu tak kan terlupa. Seperti ribuan anak panah yang melayang diatas hamparan luas padi menguning.
Juga teringat saat hama Tikus menyerang. Ikut rame - rame dengan puluhan petani dan penggarap berburu. Meneliti dan mengorek setiap lobang. Dan menemukan goa di bawah sawah, tempat ratusan Tikus bersarang. Yah pagi itu, ratusan Tikus menjadi kurban. Bahkan menjadi lauk gorengan.
Kemudian wiwit, yaitu selamatan dengan tumpeng kecil disawah. Sebagai sesaji, ucapan terima kasih kepada dewi Sri sang pemberi kesuburan. Tumpeng lancip nasi putih kecil itu dilengkapi satu telor rebus ayam kampung, gudangan, gereh pethek dan bubuk kedelai sebagai topping dari setiap pincuk mini nasi komplit lauk yang dibagikan. Pincuk nasi porsi kecil yang sangat enak dibagi kepada anak - anak yang datang. Seusai doa bersama di pematang, galengan.
Dan terakhir proses panen. Berita panenan akan tersebar di seantero desa melalui gethok tular, berita dari mulut ke mulut. Besok pak A akan panen sawah yang disana. Maka di hari H, ibu - ibu di desa itu akan terjun di sawah sebagai penderep. Yaitu ikut memanen padi yang dipotong dengan ani - ani, yaitu sebutan untuk pisau tajam kecil yang dijepit kayu. Puluhan ibu - Ibu penderep itu akan menerima bagi hasil dengan persentase tertentu dari hasil derepannya. Saya sering ikut mengawasi disawah, dan menghitung bagi hasilnya di rumah.
Setelah panen, kemudian tahap pengolahan, dari padi menjadi beras. Setelah menghasilkan beras awal, kemudian pengolahan lanjutan. Memproses beras biasa menjadi beras putih. Yang akhirnya bulir - bulir tajam oval di kedua sisi beras putih itu berkilat - kilat bak timbunan ribuan mutiara menawan.
Kemudian komersialisasi produk. Yakni penjualan produk utama, berupa beras putih dan beras biasa. Dan produk sampingannyapun juga laku dijual. Yaitu menir, bekatul, dedak dan kulit padi atau sekam. Semuanya menjadi duit.
Jaman itu, hasil panenan sawah para petani  menjadi sumber utama pembiayaan rumah tangga. Termasuk biaya menyekolahkan anak sampai sarjana.
Hari ini, sekitar 50 tahun yang lalu, saya lulus dari SMPN 1 Delanggu. Gedung sekolah menengah ini berjejeran dengan lapangan Merdeka. Dan berseberangan dengan komplek luas pabrik karung goni Delanggu legendaris itu.
Setiap pagi, bersepeda ontel kuno ke sekolah selalu bertemu dan memandangi gedong dan rumah - rumah menawan, perumahan tempat tinggal para pejabat pabrik.
Saya paling menikmati dan kagum, saat menatap cerobong pembakaran pabrik yang bundar besar dan menjulang di tengah komplek. Cerobong raksasa yang persisi dan perkasa.
Satu yang saya sesali. Sampai pabrik itu berhenti berproduksi belum pernah masuk kesana. Untuk melihat jantung mesin besar pabrik mengolah ribuan ton pintalan rami menjadi karung goni.
Pabrik goni itu kini telah pensiun sebagai pabrik. Kini hanya berupa kumpulan bangunan merana tak terurus. Komplek yang renta, meranggas dan membuat takut bagi yang melewatinya, merinding.Â
Tak tahu bagaimana nasib ke depan pabrik ini. Apa yang akan menimpa komplek yang dulunya kebanggaan dan sumber penghidupan bagi banyak orang itu.
Hari ini, puluhan alumnus SMP Negeri tan Pabrik 50 tahun lalu itu akan bertemu, reunian. Di satu resto tradisional cantik, di tepian kali Pusur, dekat umbul Cakra Tulung.
berlanjut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H