Bak peragawan dari Milan, Roberto Mancini pelatih Italia muncul rapi ber hem putih dasi hitam. Senyum misterius Monalisa tersungging tipis. Senyuman anomali, Â milik penggoda atau pembunuh berdarah dingin. Memang Mancini pelatih flamboyan, percaya diri tampil di setiap gelanggang.
Luis Enrique, pelatih Spanyol berbusana kasual pullover ala Steve Job melangkah pendek pendek. Dahi berkerut, menerawang. Ibarat Don Quixote dari La Manca, ksatria pengembara dalam sastra klasik Spanyol. Kan menguak rahasia kebenaran dan kemuliaan kehidupan. Namun hanya misteri misteri baru yang ditemukan. Keagungan terkadang harus dikawal sifat licik, tamak dan kejam. Quixote kecewa, dunia terus berputar mengikuti fitrahnya. Demikian juga manusia membutuhkan pertemanan dan pertengkaran setiap hari sesuai kodratnya.
Tim Gladiator kontra skuad Matador akan segera berlaga di Wembley London. Semi final pertama Euro 2020. Laga yang disebut sebagai derby Mediterania.
Pasaran prediksi di grup grup WA, para pengamat ataupun pasar taruhan Itali lebih diunggulkan. Namun tak mutlak. Itali hanya unggul tipis, Spanyol asor sedikit. Tidak ada apit 50 persen bagi underdog. Jadi bandar tetap memasang satu banding satu. Petaruh 100 rupiah akan menang mendapatkan 100 rupiah juga. Tidak dobel.
Kita semua tahu, sepanjang Euro Itali telah membukukan perjalanan sempurna. Lima kali bertarung, lima kali pula memetik kemenangan. Terakhir di perempat final, menjadi Giant Killer. Belgia timnas peringkat 1 versi FIFA dibabat, harus undur diri dari arena perebutan. Gagal menjemput impian memboyong piala internasional pertama.
Ditangan Mancini Italia berasa Manchester City, tim biru langit liga premier Inggris. Tim perang selalu menyerang. Karakter lama catenaccio disingkirkan. Gaya grendel, Man to man marking dibuang. Menang karena benteng yang kuat dianggap tidak efektif lagi. Selain juga tidak indah dan menyebalkan bagi penonton.
Itali mengalami Renaisan bola. Lahir Michael Angelo pemahat dan pelukis dari Florence yang baru. Menghasilkan karya karya mematikan di sepak bola.
Tim Italia adalah skuad reformasi, Renaisan sepak bola yang membuat luka dan rasa sakit musuh musuhnya. Namun apapun sekolah dan trainingnya, Catenaccio adalah sifat dasar. Tidak bisa hapus 100 persen.
Jadilah kini tim Italia pasukan biru armada serang berbahaya. Yang lebih enak dinikmati pemirsa.
Luis Enrique pelatih Spanyol pun merasa, Tiki taka karakter lama tim Flamenco tidak lagi menjadi gaya maut mematikan. Tiki taka yang mengandalkan penguasaan bola dengan tik tok operan operan pendek tidak selalu berbuah gol. Gaya mengandalkan penguasaan bola harus diubah menjadi cara bagaimana menggunakan bola yang tepat guna dan tepat sasaran.
Tiki taka ibarat orang kaya raya yang tidak bisa menikmati asetnya. Puas hanya karena bisa menimbun kekayaan. Tapi kurang memanfaatkan.
Generasi emas Tiki taka telah lewat. Walau telah menorehkan karya hebat. Piala Eropa 2008, 2012 dan piala dunia 2010 adalah berkat gaya unik itu. Periode gemilang Spanyol. Karena Tiki taka maut memerlukan master dan tukang khusus yang tak lagi ditemukan kini. Andre Iniesta, Xavi Hernandes adalah jantung gaya ini saat itu. Mereka tidak meninggalkan cukup kader yang bisa sepiawai mereka.
Tiki taka harus diperbaharui. Xavi, Iniesta, Puyol, Pique, Ramos, Fabregas, Villa, Torres tak lagi menyertai. Yang tersedia adalah generasi baru yang memerlukan gaya berbeda untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Namun Tiki taka tetap lah jiwa dasar tim Matador. Tak bisa punah seakar akarnya.
Kini, Spanyol memiliki pola berbeda dari generasi berikutnya. Akankah tim Merah yang didominasi para muda mengulang sukses di final Euro 2012, menggilas Gri Azurri? Tim yang kini dihuni para pemain senior.
All Juventus Goal. Laga dimulai. Spanyol langsung menggebrak dengan tempo cepat. Irama aliran bola medium distance saling silang menggedor armada biru. Para suporter Merah dan Biru berteriak teriak memberi semangat. Meriah histeria.
Spanyol menguasai dan mendikte permainan. Seolah dikejar waktu ingin cepat mencetak gol. Karena bagi mereka Italia memiliki Game Attitude yang kurang layak. Sebagaimana dipertontonkan saat mengalahkan Belgia.
Ketika telah memetik kemenangan, Italia dengan segala cara berusaha mengulur waktu. Berbaring meringis kesakitan yang lama ekspresinya tampak pura pura. Atau diving berbahaya untuk mendapat hadiah tendangan bebas. Immobil bomber Lazio melakukan diving di kotak pinalti Belgia. Namun segera bangkit cepat ketika wasit tak memberi perhatian. Aksi top skor seri A Itali 2018 - 2019 ini mendapat banyak kecaman dari Netizen.
Babak pertama berlalu. Spanyol belum berhasil menembus benteng pertahanan musuh. Cheillini dan Bonucci dua bek mirip kakak beradik itu sukses menahan gelombang gempuran tim Matador.
Babak kedua mulai. Spanyol tak menyurutkan serangan. Posession 65 persen Spanyol mengurung Itali. Itali bak Banteng terkurung formasi Matador matador beringas yang siap menghunjamkan pedang.
Namun apa mau dikata, kala terkurung serangan balik Itali sukses menangguk keberuntungan. Di menit 60 Chiesa, winger Juventus menerobos kawasan masuk kotak pinalti Spanyol. Tembakan cantik Chiesa sedikit melengkung ke sisi kiri gawang tak terjangkau kiper. Gool, 1 - 0 untuk Italia.
Paska kemasukan Spanyol semakin intens menggandakan serangan. Itali bak Banteng biru beringas tetap menyeruduk menyerang. Itali tetap bermain cantik walau telah unggul. Tradisi Cattenasio benar benar ditinggalkan.
Alvaroo Morata stiker Spanyol pemain Juventus diturunkan. Morata bersinar menjadi bintang. Di menit 80,menerima operan pendek dari Olson, Morata menerobos pertahanan Itali. Melesakan tembakan menyusur tanah ke sisi kanan gawang. Donnarumma kiper Itali asal klub AC Milan tak bisa menjangkau. Gool, 1 - 1. Kedudukan berimbang. Dua gol terjadi melalui kaki 2 pemain Juventus yang berseberangan.
Morata sangat excited, selebrasinya seperti orgasme kecepatan. Akan ada pembalasan.
Suporter merah pendukung Spanyol bersorak sorai di tribun. Genderang ditabuh keras keras. Suporter biru berkostum tentara Romawi terdiam. Perjalanan masih panjang.
90 menit plus 3 menit berlalu. Babak perpanjangan harus digelar.
Babak perpanjangan 2 kali 15 menit. Para pejuang yang kelelahan. Pada saat letih menguasai badan, seseorang cenderung merespon situasi kembali ke karakter dasar.
Tiga puluh menit perpanjangan tidak begitu menarik. Seolah menjadi anti klimak laga. Gaya permainan kedua kesebelasan tanpa sadar kembali ke sifat dasar mereka. Itali dengan Catenaccionya dan Spanyol kelelahan ber Tiki taka. Babak perpanjangan berlalu. Tak ada tusukan berbahaya berlaku.
Untuk pertama di ajang ini, Itali harus menjalani adu pinalti. Spanyol sebelumnya telah memenangkan adu kiper ini saat melawan Swiss di perempat final.
Pinalti, eksekutor dan kiper berhadapan satu lawan satu di 12 lepas. Sebagaimana hasil penelitian, 90 persen lebih eksekusi pinalti itu berhasil membuahkan gol. Di momen genting ini, beban psikis lebih banyak ditanggung oleh eksekutor. Kiper memanggul beban mental lebih rendah. Karena kalau gol itu terjadi merupakan hal yang wajar. Kiper tidak akan dipersalahkan.
Disinilah memilih eksekutor harus cermat. Pemain berpengalaman yang memiliki jam terbang tinggi telah merasakan asam garam laga lah yang mesti dipilih sebagai penembak. Terutama penembak yang ke 1,4 dan 5. Mereka itu harus bermental baja. Kebal dari provokasi dan intimidasi.
Itali mendapat giliran pertama. Penembak pertama gagal. Menata bola dengan wajah tegang, arah tendangannya terbaca Unai Simon kiper Spanyol dan berhasil ditepis. Eksekusi pertama itu krusial, bisa memberikan efek penularan kepada eksekutor selanjutnya.
Olson gelandang serang, play maker Spanyol pemberi umpan gol Morata ditunjuk sebagai eksekutor pertama Spanyol. Entah karena tegang atau terlalu semangat, tembakan pemain berwajah dingin itu terbang melayang diatas gawang Italia. Suporter dan punggawa Itali bersorak, bernafas lega.
Penembak Itali dan Spanyol tak tertular kegagalan eksekutor pertama. Mereka berhasil menjebloskan bola ke gawang. Kecuali Alvaro Morata.Â
Morata adalah eksekutor penentu. Morata goal maker Spanyol terpuruk lesu, ketika arah pinaltinya terbaca. Bola berhasil ditepis Donnarumma kiper Italia. Morata gagal.Â
Itali menang adu pinalti. Pertarungan panjang semi final pertama usai. Suporter, pemain, pelatih, crew Spanyol nglumpruk lesu. Kenyataan pahit harus diterima. Sejarah Euro 2012 tak terulang. Sang Matador harus pulang kandang.
Untuk keenam kalinya Itali memenangkan laga Euro 2020. Dendam kekalahan Euro 2012 tlah ditebus. Sentuhan Midas Mancini tak terelakan, kembali makan korban.Â
Akankah kemenangan ke tujuh akan kembali dipetik pangeran biru nanti di final. Itali menunggu, menyiapkan berbagai skenario. Menghadapi Inggris atau Denmark.
Siapapun musuhnya, Italia akan siaga. Untuk mati matian merebut supremasi jawara bola Eropa. Piala Eropa 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H