Mobil menyusur Cikini raya muncul disekitar Tugu Tani. Masuk jalan merdeka timur. Harus melewati stasiun Gambir dulu tidak bisa langsung belok kanan ke gedung tujuan yang berada di seberang.
Lewat stasiun disebelah kanan berdiri kukuh salah satu gedung heritage dan juga kenangan. Gedung tua megah peninggalan Belanda. Dulu adalah kantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Awal awal rantau di Jakarta, awak pernah blusukan di gedung itu mengunjungi senior kuliah yang telah menjadi pejabat disitu. Fasad gedung itu  tak berubah setelah hampir empat dasa warsa waktu berlalu. Barangkali memang sebaiknya jangan dirubah, termasuk heritage yang musti dipertahankan.
Di ujung jalan merdeka Timur mobil belok kanan, menyusur jalan samping masjid Istiqlal yang sedang di renovasi. Lurus mentok taman lapangan Banteng yang kini nampak rapi asri, hijau edum teduh. Taman yang menjadi oase kota.
Membayangkan tahun tujuh puluhan taman ini adalah terminal bis kota semrawut hiruk pikuk. Mengingat clingak clinguk disini menyimak kenek kenek meneriakkan masing masing tujuan bis kota PPD kuno berwarna biru. Memori pertama kali menginjak ibukota.
Tampak patung pria setinggi 35 meter di monumen pembebasan Irian Jaya masih tegak di plaza taman. Wajah berteriak dan rantai sangar yang terputus di kedua pergelangan tangan dan kaki masih ekspresif memberikan energi semangat kehidupan bagi siapapun yang menatapnya.
Konon patung perunggu itu di sket sendiri oleh presiden Soekarno tahun 1962. Dengan perancangan bidang oleh F Silaban arsitek masjid Istiqlal, serta pengerjaan oleh tim seni dari Yogya jadilah patung peringatan bergabungnya Irian Barat ke pangkuan RI itu eksis bergelora hingga kini.
Mobil belok ke kanan. Di pojokan kiri gerbang hotel Borobudur nampak serasa mengundang. Sudah lama sekali tidak ke hotel ini. Dulu waktu masih aktif betapa seringnya beracara disitu. Dari breakfast meeting, lunch, dinner dsb. Tentu saja yang langsung terkenang akan tempat itu adalah sop buntut legendaris andalan hotel ini. Memang empuk dan berasa.
Belum lama ini mas Jenderal teman sekolah di kampung mentraktir makan sop buntut di hotel baru samping mall Pondok Indah. Terjadi dialog serius, komparasi rasa antara sop buntut hotel Borobudur dan yang di hotel PIM mana yang lebih unggul. Menurut mas Jenderal, sop Borobudur lebih lembut empuk lekas hancur ketika dikunyah. Malah kurang menantang saat dikenyam, kurang memberi perlawanan. Sedangkan di hotel PIM sop buntutnya empuk, namun agak kenyal. Perlu sedikit perjuangan untuk menghancurkan nya di mulut. Mas Jenderal lebih suka yang ini, yang memerlukan perjuangan.
Bagi awak, sop buntut terenak se dunia adalah sop buntut goreng di club house golf Ancol puluhan tahun yang lalu. Dengan sawuran sambal cabe hijau yang digoreng setengah matang, menyantap sop Ancol yang hangat usai main golf 18 holes kepala klemun klemun merasakan mencecap sop buntut tak biasa. Dunia pun serasa kotak kotak tak lagi bulat. Sudah lama golf Ancol tutup dikonversi menjadi eco park, kehilangan jejak tak tahu lagi kemana koki sop buntut goreng Ancol yang luar biasa itu kini berlabuh.
Melewati hotel Borobudur mobil berada disamping gedung Pancasila, salah satu bangunan heritage yang lain. Dengan ikon gedung berkubah blenduk bergaya Eropa selatan. Klasik enak dipandang. Mobil belok kiri melewati gedung Timah, sampailah kami di tujuan.
Inilah gedung galeri nasional yang belum  pernah awak sambangi. Membayangkan segera akan menyusuri 3 gedung pameran lukisan dan seni instalasi. Pameran permanen maupun yang periodik bergantian sesuai temanya.
Namun apa mau dikata, sayang seribu sayang sekuriti gedung mengatakan ruang pamer belum dibuka. Sudah setahun lebih selama masa pandemi pameran ini tidak dibuka untuk umum. Yah kuciwa ...
Walaupun sudah mengecek di medsos yang mewartakan kalau museum museum di Jakarta sudah mulai dibuka kembali, ternyata belum tentu warta itu seluruhnya benar. Jangan jangan museum yang lain masih tutup juga... harap harap cemas..
Akhirnya hanya memotreti nampak luar gedung saja. Bangunan bangunan berpilar pilar putih gaya kolonial yang masih terlihat perkasa.
Meninggalkan merdeka timur, memutari Tugu Tani dan belok kiri masuk jalan medan merdeka selatan.
Melewati balai kota yang tidak begitu ramai. Melintasi gedung Kementerian BUMN yang telah berubah fasad menjadi berkotak kotak kebiruan, kantor penuh kenangan. Saat masih aktif, bisa setiap minggu sekali rapat disitu bahkan terkadang bisa berkali kali.
Disamping kantor kementerian yang dulu berdiri gedung Danareksa nan megah dan klasik, kini gedung itu lenyap tiada. Berubah berupa tanah kosong sahaja. Gedung cikal bakal terselenggaranya bursa efek di Indonesia itu sudah dirobohkan tak berbekas. Entah disitu mau dibuat apa. Dalam hati merasa gegetun, dulu sering juga bertandang ke gedung itu. Bangunan cantik klasik itu telah mendiang tak berwujud. Sayang sekali...Â
Mobil memutari air mancur BI yang bersusun dua. Air mancur sebagai pembatas pertemuan jalan Thamrin dan jalan Medan Merdeka. Air mancur cukup besar penyejuk kota yang deras memancarkan dan memercikan air tak putus putus. Di ujung sana tugu Monas menjulang ke langit memutih dengan puncak obor emasnya. Kawasan Monas yang dijaga patung perunggu hitam kehijauan Arjuna Wiwaha di gerbang selatan. Patung kereta sang ksatria perang Arjuna dihela delapan kuda kuda perkasa menuju medan laga Kurusetra menghadapi Karna saudara tua dalam kisah Mahabharata. Patung perunggu energik itu salah satu master piece karya Nyoman Nuarta.
Melewati gedung Sapta Pesona kantor Kemenpar dan melewati kantor Kemenhan sampailah kami di Museum Nasional. Alhamdulillah museum tidak tutup alias buka.
Museum nasional juga disebut museum Gajah, karena di depan gerbang museum yang berpilar gaya Yunani berdiri patung gajah pemberian raja Thailand atau Muangthai kala itu.
Patung gajah penjaga yang tidak begitu besar. Di sebelah kiri patung terdapat ikon baru yang belum begitu lama tahun 2012 mempercantik museum. Yakni patung perunggu yang juga karya sang maestro Nyoman Nuarta.
Patung surealis yang lebih eye catching, berupa pusaran pusaran badai runcing kelabu. Ada orang orang yang ikut terhanyut dalam pusaran itu. Patung dengan emblem  Ku Yakin Sampai Disana ini lebih pas untuk mewakili kisah kisah dari benda benda yang tersimpan di dalam museum.
Setelah membayar tiket masuk yang murah sekali lima ribu rupiah per pengunjung, kami masuk gedung megah peninggalan jaman Belanda ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H