Chiangmai berada di Thailand utara. Berbatasan dengan Myanmar berdekatan negara Kamboja, Laos juga China. Berkontur pegunungan, udaranya sejuk.Akhir Januari 2020 hari masih pagi, rombongan golf senioren Nusantara berangkat menuju kota wisata terkenal itu. Untuk tiga hari berturut turut main golf. Perjalanan cukup mendebarkan, karena disertai rasa was was.
Berita virus Corona  merebak ramai di medsos dan media mainstream. Virus mematikan, yang konon bermula di kota Wuhan China menebar teror ke penjuru dunia.
Walaupun jeri namun apa daya jadwal telah dicanangkan, uang telah dikeluarkan. Keberangkatan tak bisa ditunda. Dengan setengah gagah berani perjalanan tetap dimulai.
Masih sangat dini, pukul 3.15 pagi. Mobil meninggalkan rumah. Diiringi kicauan burung burung oceh ocehan liar di perumahan. Mulai ramai menggugah hari.
Setengah jaga setengah lelap menyerahkan sepenuhnya kepada driver. Tunggangan menyusuri Jakarta sepi nyenyet. Masih dibuai mimpi. Tekad para golfer memang tak tertandingi kalau mau bermain golf. Entah kalau mau yang lain, apakah masih sementrong.
Jam 4 kurang. Bandara telah ramai. Bertemu bro Aldy dan mbak Dwi komandan Allyandi friendship. Dibagi masker dan vitacimin. Untuk berjaga jaga dari virus. Wah radak ngeri juga.
Baru kali ini perjalanan seperti ini. Hampir semua orang di bandara bermasker. Menutup masing masing mulut dan hidung. Komunikasi hanya suara, tidak lihat ekspresi wajah. Tak tahu orang itu tersenyum, menyeringai atau marah. Okelah itulah keadaannya, not so worry lah. Teror menjalar cepat lewat WA.
Thai Lion mengangkasa diatas teluk Jakarta menuju Bangkok. Selama perjalanan, penerbangan murah ini tidak disaji makanan atau minuman. Harus membeli tersendiri. Bagasipun dibatasi. Hanya 25 kg termasuk stick golf. Tentengan di kabin maksimum 7 kg. Okelah bisa diakali dengan tas tas ringan.
Langit pagi cerah. Lembayung jingga melukis langit. Jakarta dibawah sana pucat kelabu. Singa bersayap ini melesat mulus di angkasa raya Asean.
Tujuh puluh menit terbang tanpa gangguan cuaca, turbulensi pun tak ada. Mendarat di Chiangmai airport. Sophie, nona comel comel blasteran Melayu Arab sang pemandu menyambut ceria. Tanpa masker, hidung arabnya mancung di wajah manisnya.
Bandara hanya sekitar 5 km dari kota. Sekitar 25 menit meluncur, bus rombongan telah sampai di Star hotel. Hotel bintang 3 di pusat keramaian. Cukup nyaman dengan lokasi strategis. Chek in.
Sayang tidak ketemu restoran Indonesia.Usai makan siang, naik Tuk Tuk  kendaraan umum  khas Thai yang terbuka disamping. Dengan tarif tanpa tawar tawaran 100 Bath, sekitar empat puluh lima ribu rupiah kami menuju pusat benteng kota tua. Kendaraan berkapasitas tiga penumpang berderum meliuk liuk di keramaian.Â
Para penumpang sembribit, dielus langsung angin sejuk kota pegunungan.Chiangmai dibangun pada abad 13 sebagai ibukota. Kota dengan benteng persegi empat dengan bahan batubata merah. Di depan benteng sepanjang tembok adalah parit air pertahanan, dengan lebar sekitar 10 meter.
Benteng 10 kali 10 kilometer itu kini tidak utuh lagi. Berupa reruntuhan dan gerbang gerbang.
Tuk tuk melaju, belok kanan masuk reruntuhan gerbang merah. Menuju pusat wisata, Wat Chedi  Luang. Wat artinya kuil. Chedi Luang adalah kuil kuno, besar dan antik destinasi utama wisata Chiangmai.
Kuil asli tidak utuh lagi berada di belakang. Kuil baru berada di depan, boleh disambangi.
Meskipun ketinggiannya telah berkurang 30 meter, runtuh terkena gempa tahun 1451. Pengunjung tidak boleh masuk ke hall tempat doa. Menikmati legacy megah dan indah dari luar saja.
Hari cerah namun sejuk. Suhu 15 derajat Celcius. Chiangmai begitu mempesona, meskipun masker dimana mana.Besok pagi kami akan main di North Hill course. Berikutnya di Chiangmai Highland. Dan hari terakhir main di course indah, Alpine Chiangmai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H