5.4.2. Kota Tambang Masa Lalu
#keberanian yang mengubah kekacauan#
Di masa lalu Skagway adalah kota Tambang, juga kota Cowboy.
Siang itu program menjajal jalur kereta Tambang kuno, selama sekitar dua setengah jam telah usai. Rombongan kembali ke kota. Turun di stasiun yang sama pada saat berangkat.
Sebenarnya ada juga penawaran untuk mengikuti jajal Kereta durasi lebih lama. Sekitar 6 jam. Di program ini, setelah sampai di puncak White Pass Kereta akan turun Gunung di sisi lain. Menuruni lembah, menyusur Danau. Penumpang akan turun sejenak di suatu tempat. Berjalan jalan di alam yang asri. Alam liar pada jaman Gold rush. Juga mengunjungi kuburan luas, makam para korban masa demam emas.
Namun karena ingin berjalan jalan. Klintong klintong di kota Skagway yang antik, kami memilih program jelajah Kereta durasi singkat. Mengikuti Kereta, yang berputar balik  setelah sampai di puncak White Pass.
Gerimis kecil masih merintik, keluar dari stasiun kami berbelok ke kanan. Berlenggang kangkung berjalan kaki menuju down town. Melintasi Lokomotif Kereta Api model lama yang ditaruh nongkrong di taman. Di pojokan kota.
Lokomotif hitam legam berpelisir merah, dengan satu cerobong uap. Lokomotif ini salah satu dari Lokomotif pertama Kereta Api Tambang White Pass. Yang kini diabadikan, menjadi instalasi sejarah dan seni menghiasi sudut kota.
Menyusur sejajar Rel. Menyeberang jalan sampailah di toko cukup besar. Pusat jualan souvenir, oleh oleh dengan harga miring.
Topi, Kaos, Jaket, Sweater dan bermacam macam Souvenir made in China, Vietnam, India, Turkey, Bangladesh, Thailand, Honduras dan beberapa negara lain bersaing. Dijual di toko ini. Tentu produk produk khas dengan label Alaska.
Nyari nyari barang made in Indonesia, Â tidak ketemu.
Sebagian besar rombongan masih asyik membolak balik dagangan, Awak menyelinap keluar. Berbelok kiri.
Sendiri menyusur Boulevar utama kota dalam terpaan rintik hujan. Ramai para pejalan kaki di promenade luas. Bertopi, berpayung penangkis hujan. Awak menutup kepala dengan ponco Jaket.
Wilayah Skagway di musim dingin, saat tidak ada turis berkunjung konon sangat sepi. Hanya berpenduduk sekitar delapan ribu orang. Sebaliknya di musim turis, suasana kota  berubah drastis. Dua juta wisatawan berkunjung setiap tahun ke kota ini.
Skagway, sebagaimana sebagian besar kota kota di Alaska lainnya. Dipertahankan bangunan bangunan kunonya.
Boulevar utama membelah kota dipotong oleh perlintasan perlintasan. Membentuk blok blok persegi empat.
Kafe, toko, Bank, Saloon, Gedung kantor, Museum berjejer di kiri kanan di sepanjang Boulevar. Mobil dan Bus bus model kuno berlalu lalang siang itu.
Melihat bentuk Bus kuno itu, teringat  Bus Baker di masa SMA di Yogya tahun 70 an. Bus Baker, trayek Yogya - Kaliurang bentuknya persis. Warna catnya saja yang berbeda. Kini Bus model kuno seperti ini telah punah dari  Indonesia.
Ada patung kayu lelaki Indian tegak di depan toko Souvenir. Awak masuk toko itu.
Selain di bagian depan berjualan Cendera mata dan produk Alaska, separo ruangan di belakang ditata untuk Private Museum.
Museum tentang Alaska. Khususnya mengenai kota Skagway.
Terpampang foto foto, benda benda kuno, penjelasan penjelasan tertulis. Dan juga guntingan koran yang menarik. Sayang tidak boleh difoto.
Salah satu guntingan berita bulan Juli tahun 1897 dari Seattle Chronicle, telah merubah nasib kota Skagway selamanya.
Berita itu berjudul Gold! Gold! Gold!
Berita tentang 6 orang yang mendadak menjadi kaya raya karena menemukan emas, batu batu mulia berwarna kuning di Bonanza Creek, Klondike. Kawasan Klondike meliputi kawasan Kanada dan Alaska. Dan Skagway adalah kota kecil terdekat untuk menuju Klondike.
Berita penemuan emas itu ibarat api menggasak pepohonan di musim panas. Cepat menjalar, berkobar kemana mana.
Berita penemuan itu memicu Ribuan gelombang pendatang tiba di Skagway. Para pendatang untuk mencoba peruntungan. Mengadu nasib, ikut berburu emas pada masa Klondike Gold Rush.
Selain guntingan berita koran yang menghebohkan itu, ada satu lagi benda museum yang menarik perhatian. Sebuah patung kecil dengan penjelasan. Frank Reid, He gave his Life for the Honor of Skagway.
Frank Reid, Dia memberikan hidupnya untuk menjaga kehormatan Skagway.
Penasaran, mencoba membaca tulisan tulisan kecil yang menyertai penjelasan patung itu.
Ribuan pendatang di Skagway membawa berkah, sekaligus bencana.
Paro akhir tahun 1897 dan paro awal 1898 merubah Skagway menjadi kota preman, Â Bandidas. Kota Bandit.
Skagway as a little better than a Hell on Earth. Skagway sudah mirip Neraka dunia.
Kota ini dikuasai dan dikendalikan Soapy Smith. Kepala, komandan para penipu dan bandit. Bersama gangnya, dengan bebas menjalankan praktik Premanisme tanpa seorangpun berani menentang. Kesewenang wenangan dan penjarahan berlangsung.
Pemerintah pusat Amerika tengah masih sibuk dengan urusan konsolidasi perang saudara. Kebobrokan di Skagway Alaska luput dari perhatian.
Frank Reid adalah lelaki Indian paruh baya, warga setempat. Merasa prihatin dengan premanisme yang dijalankan gerombolan Soapy. Namun bandit beserta kelompoknya ini terlalu kuat untuk di lawan. Reid mencari cara melumpuhkan sang Kepala. Untuk menghancurkan sebuah barisan, harus dengan cara membujuk atau membunuh pimpinannya.
Kesempatan itu tiba. Ketika pertengahan tahun 1898, seorang penambang muda membawa bongkahan emas cukup berharga akan diperas Soapy di jalanan umum.
Reid tiba ditempat itu untuk mencegah pemerasan. Terjadi pertengkaran. Reid menantang Soapy untuk duel adu tembak, Gun Fight ala Cowboy. Satu lawan satu.
Rupanya Soapy tak mau dibilang pengecut. Tantangan Reid duel di depan umum diterima.
Terjadilah Gun Fight jalanan. Keduanya tertembak. Soapy tewas hari itu juga. Sedangkan Reid meninggal dunia setelah dirawat selama dua belas hari.
Skagway bebas dari premanisme. Gang Soapy kocar kacir, punah.
Frank Reid sang pemberani dikenang sebagai Pahlawan Skagway hingga kini. Keberanian Reid yang berisiko mengikis kekacauan di Skagway.
Awak menduga patung besar Indian di depan toko itu adalah patung Frank Reid. Awak action, berdiri berjejer selfie dengan patung itu.
Sore menjelang. Hujan rintik telah reda. Saatnya kembali ke Kapal.
Menyusuri Boulevar menuju dermaga. Tiba tiba terdengar suara suara familier di telinga.
Di promenade, bu Prof salah satu peserta pelancongan Nusantara bersama beberapa ibu yang lain menenteng bawaan tas merah putih menggelembung penuh cendera mata. Sedang bercanda dengan beberapa pemuda.
Bu Prof yang sering menyegarkan suasana dengan celetukan dan banyolan banyolan lucu, tengah ngobrol dengan para pemuda itu dengan logat dan dialek Suroboyoan.
Rupanya pemuda pemuda itu adalah Crew Kapal Carnival Legend. Salah satu Cruise yang sedang bersandar di Skagway.
Dunia memang sudah begitu terbuka. Tenaga terampil Indonesia bisa bekerja dimana saja. Termasuk di Kapal yang berlayar menyusuri ujung dunia ini.
Persaingan global, termasuk Talent War tengah berlangsung di seluruh bidang dan penjuru dunia. Orang bebas boleh bekerja di negara manapun. Tentu persaingan ini menjadi perhatian serius bagi para muda Indonesia. Untuk survival di dunia yang semakin tanpa batas, borderless.
Mendekati reriungan itu, semakin terdengar asyik dialog dialognya. Seolah nonton Ludrukan Madura Surabaya di bumi Alaska.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H