Hembusan Angin Cemara Tujuh 58
Tiba tiba Deni bangun dari duduknya. Memeluk Topo. Pertahanan emosinya jebol. Deni menangis sesenggukan di pelukan Sutopo. Pengunjung resto yang lain melirik lirik.
Topo membiarkan Deni menangis. Tangisan seringkali dapat menjadi katarsis, pembasuh kerisauan dan perasaan yang pepat. Membuat dada menjadi lega.
Tangisan Deni melirih. Pelukannya dilepaskan, lalu berbisik,
" Sori Po, Saya emosional"
Topo memaklumi. Mereka duduk kembali. Kebisuan Deni jebol. Deni bercerita panjang. Menceritakan rasa malunya harus pulang ke tanah air. Tidak bisa menyelesaikan program S2 Â biaya kantor ini.
Juga ke khawatirkan, konsekuensinya terhadap karirnya nanti di kantor.
Topo sabar dan takzim mendengarkan curahan kerisauan sahabatnya itu. Kemudian Sutopo menghibur dan menguatkan Deni. Memberikan argumentasi yang logis, bahwa ketidak lulusan ini , mestinya tidak akan berpengaruh dan menghambat perjalanan karir Deni di kantor. Tidak selalu signifikan, hubungan sukses sekolah dengan sukses di kantor.
Bahkan Sutopo berjanji, akan menjadi pembelanya yang pertama, kalau terjadi persoalan terhadap Deni menyangkut ketidak lulusan sekolah ini. Dan Sutopo membuktikannya, membela Deni ketika Direksi mempersoalkan kegagalan Deni meraih gelar master.
Deni mengangguk angguk, dan kelihatan lebih tenang. Usai makan malam di Meram, mereka langsung kembali ke Dormitori. Wajah Deni lebih cerah. Tidak begitu nelangsa dan tertekan lagi. Udara Rotterdam semakin dingin, ketika malam itu mereka kembali naik Tram Kuning di seberang resto Turki, Meram
Lamunan Sutopo terhenti, pelayan datang menawari tambahan Kopi. Sutopo mengangguk mengiyakan.