Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hembusan Angin Cemara Tujuh 14

19 Mei 2018   08:55 Diperbarui: 19 Mei 2018   08:59 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu setelah berjalan jalan di sawah yang terbentang di pinggiran desanya seperti lautan hijau mengombak subur, dengan saluran saluran irigasi berkelok ber air jernih deras mengalir, Sutopo pulang ke rumah. Di halaman telah duduk menunggu diatas dingklik kecil dibawah rindang Pohon Sawo mbok mbok dari desa wetan, penjual nasi gudangan.

Setiap pagi ibu penjual nasi ini lewat di depan rumahnya menuju ke pasar, dan selalu menawarkan nasi gudangnya untuk sarapan. Nasi ini kegemaran Sutopo, pasti ibunya telah memanggil mbok penjual itu untuk berhenti di rumahnya. Sutopo berbinar dan dengan lahap menghabiskan dua pincuk nasi gudang yang sangat bercita rasa dan sehat ini.

Nasi gudang ini adalah makanan desa yang disajikan dengan pincuk daun pisang dengan tusukan biting ( lidi ) di ujungnya. Gudangannya terdiri dari dedaunan mentah, kemangi yang disebari biji an buah mlanding ( petai Cina kecil ) dan diuwari sambal kelapa yang berwarna kemerahan menutup permukaan nasi putih hangat . Dan dilengkapi dengan karak beras yang ada gosong gosongnya kecoklatan. Enak sekali, menjadikan pagi Sutopo sempurna.

Matahari sudah sepenggalah, sore nanti Sutopo harus naik kereta api senja dari stasiun Balapan menuju Jakarta. Besok dirinya harus ngantor lagi. Adalah saatnya untuk menyampaikan permohonan restu ke orang tuanya rencana kepindahannya ke Yogya.

Duduk bertiga di selasar menghadap halaman dalam , Sutopo dan bapak ibunya mengelilingi meja bundar tua , di meja telah tersaji teh poci Nasgitel ( panas legi kentel ) dan sepiring juadah bakar. Sutopo pelan dan tersendat mengambil kesempatan untuk menyampaikan rencananya menjadi dosen di Yogya.

Kedua orang tuanya diam mendengarkan pen jelasannya. Bapaknya yang pertama menanggapi, dan menyatakan tidak keberatan serta merestui rencana itu, sepanjang memang Sutopo telah sungguh sungguh memikirkannya.

Ibunya masih diam, Sutopo mulai merasa Was Was, khawatir. Tiba tiba ibunya berkata pelan,

" Saya tidak setuju kalau kamu kembali ke Yogya" Suara ibunya lirih, namun mengandung kesungguhan dan kekuatan batu karang. Sutopo lemes, sembunyi sembunyi ekor matanya melirik wajah ibunya, Dan ekspresi wajah itu adalah cerminan kehendak yang tak tergoyahkan. Bahkan Yangkung pun tidak akan senggup menggeser kehendak itu. Sutopo lemes menunggu penjelasan ibunya.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun