Mohon tunggu...
MULYATI
MULYATI Mohon Tunggu... Guru - ASN

menulis adalah menciptakan ruang untuk mencurahkan segala ekspresi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Profesor Mandul Karya Ilmiah?

28 Februari 2018   11:07 Diperbarui: 28 Februari 2018   11:14 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh memprihatinkan mendengar kemandulan karya para profesor di tanah air. Betapa tidak dari 5.366 profesor yang ada hanya sekitar 3800 saja yang aktif menulis di jurnal internasional. Padahal menulis artikel dan hasil penelitian lainnya merupakan salah satu bentuk kewajiban bagi seorang profesor sesuai dengan tri darma perguruan tinggi yang ada.

Berbagai alasanpun turut mewarnai menurunnya daya produktivitas para guru besar kita. Mulai dari alasan kesibukan bahkan sampai pada sudah terlalu nyaman dengan gelar kehormatannya (Media Indonesia, 26-02-2018). Pepatah mengatakan guru kencing bediri maka murid kencing berlari. Ketidakproduktifan para profesor dalam menulis bukan saja mengurangi tingkat kredibilitas mereka akan tetapi bisa berdampak secara masif kepada para mahasiswa dan kaum intelektual lainnya. Mengapa demikian?

Karena sesuai dengan filsafat Jawa menyebutkan bahwa kita tidak boleh sekedar 'jarkoni, bisa ngajar tapi ora bisa nglakoni'. Artinya profesor tidak boleh hanya sekedar mengoyak-ngoyak para mahasiswa untuk menulis artikel maupun penelitian jika dirinya saja enggan melakukan. Sebenarnya apa yang salah dengan para profesor kita? Mungkin itu pertanyaan yang sering mengganggu para masyarakat akar rumput negeri ini.

Dari sekian banyak gelar yng diraih tentunya penelitian bukanlah hal yang sulit bagi seorang profesor. Mereka sudah terbukti mampu menyelesaikan skripsi, thesis maupun disertasinya tentu sudah banyak makan asam garam dunia kepenulisan. Kalaupun bermasalah di biaya, bukankah kemendikti pun tak pernah tutup mata? Alokasi riset dan penelitian selalu terkucur dengan royal bagi para kaum intelektual yang melakukan penelitian.

Logikanya sudah jelas, penelitian mahasiswa tingkat sarjana saja dibiayai oleh pemerintah, apalagi sekaliber profesor yang sudah terbukti kualitasnya. Jadi rasa-rasanya dana bukanlah menjadi akar dari permasalahan yang ada. Toh, artikel yang termuat dalam jurnal pun nantinya mendapatkan honor. Jika berbicara soal waktu, profesor mempunyai tiga tugas utama yaitu mengajar, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat. Ketiga tugas tersebut bukanlah tugas yang bertentangan.

Menurut hemat penulis ketiga tugas justru berjalan beriringan saling menyempurnakan. Atapun kalau pepatah bilang sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Betapa tidak, mengajar mahasiswa zaman sekarang bukanlah sebuah kegiatan kaku yang harus berada di dalam kelas. Akan tetapi bisa dilakukan dimana saja, termasuk diajak kelapangan bersama-sama sambil melakukan pengabian kepada masyarakat.

Tidak hanya materi kuliah yang tersampaikan lebih konkret namun dengan begitu dosen bisa menuangkan hasil kegiatannya dalam bentuk tulisan dan kegiatannya sebagai pengabdian kepada masyarakat. Begitu sederhana bukan? Terasa sederhana dan ringan dilaksanakan bagi para dosen yang berkompeten dalam tulis menulis. Karena daya intuisi dan kreatifitas yang dimiliki seorang penulis sangat kaya sekali.

Mereka terlalu peka terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Bahkan untuk hal yag bisa jadi dianggap biasa saja akan menjadi menarik ketika diulasnya. Kalau sudah begitu rasanya kita akan sampai pada akar permasalahan yang menyebabkan banyak profesor mandul karya ilmiah. Ya, barangkali mereka sebenarnya mempunyai semangat yang menggebu-gebu untuk menulis akan tetapi miskin ide dan kreatifitas.

Mereka merasa tidak ada sesuatu yang perlu diteliti di lingkungannya. Atau merasa enggan jika harus meneliti hal yang sepele dan kurang keren. Ketidakmampuannya untuk membaca lingkungan sekitar dari sudut pandang keilmiahan inilah yang sepertinya menjadi kendala terbesar bagi para profesor. Hal ini disebabkan karena menulis dan membaca banyak referensi belum menjadi budaya.

Seperti pepatah mengatakan 'alah bisa karena biasa' yang artinya kita akan mampu mengerjakan sesuatu keterampilan karena kita memang terbiasa melakukannya. Begitu pula para profesor, kebiasaan menulis akan semakin mengasah keterampilannya untuk menulis. Nah, untuk bisa menunjang kemampuan menulis maka lagi-lagi harus memperbanyak literasi. Baik berupa buku, artikel, jurnal, berita dan lain sebagainya.

Semakin banyak literasi yang dilakukan maka akan semakin baik dan mudah pula seorang untuk menulis dengan diksi yang tepat. Selain itu, secara tidak langsung akan mengasah intuisi dan kepekaan kita dalam membaca fenomena yang terjadi di lingkungan. Dampaknya, kita tidak akan pernah kehabisan ide segar untuk menulis.

Oleh karena itu, para profesor jangan hanya fokus dalam satu tugas saja. Ketiga tugas sudah menjadi keniscayaan dan wajib dilaksanakan sebagai bentuk amanah dalam mengemban jabatan. Jika hari ini belum mampu berkarya dengan baik maka tidak ada salahnya untuk belajar lagi dengan semakin memperbanyak target literasi. Karena kemampuan menulis tidak akan pernah berkembang tanpa dukungan literasi yang berkualitas. PURWOREJO 28-02-2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun